Pak Indra menikmati secangkir kopi hitam hangat yang beberapa menit lalu baru disajikan oleh asisten rumah tangga di kediaman putra sulung beliau. Raut ketenangan terlihat nyata di wajah Pak Indra, meski tidak ada senyuman terbentuk di sana.
Hari ini, beliau memang sengaja mempersiapkan waktu khusus untuk bertandang, selepas tiba dari Jepang kemarin malam. Pak Indra ingin tahu mengenai kondisi calon cucu pertama beliau yang sedang dikandung sang menantu.
"Bagaimana kabar kalian berdua dan calon cucu Ayah? Kalian sudah tahu jenis kelaminnya?" tanya Pak Indra dengan menyelipkan keantusiasan cukup tinggi dalam suara beliau.
Latri dan Wirya yang sedang duduk berdampingan pun lantas sama-sama menampakkan ekspesi ketegangan di wajah, selepas mendengar pertanyaan dari Pak Indra. Terutamanya Wirya yang mulai dilanda sekelumit rasa bersalah akibat kebohongannya sendiri. Dan pria itu telah bertekad akan mengatakan kejujuran.
"Kabar kami baik, Pam-"
"Aku ingin minta maaf Ayah," ujar Wirya memotong cepat ucapan Latri yang membuat wanita itu hanya bisa diam kini.
Sementara, kebingungan dirasakan Pak Indra karena tidak mengerti akan apa yang putranya katakan. "Kenapa meminta maaf? Apa terjadi kesalahan di perusahaan?"
"Tidak. Ini tentang calon cucu, Ayah. Sebenarnya, Latri tidak pernah hamil. Aku berbohong."
"Aku merencanakan kebohongan ini semua supaya bisa menikahi Latri secepatnya dari waktu yang sudah Ayah tentukan untukku."
Pengakuan terus Wirya ungkapkan secara gamblang. Tanpa terlihat takut. Wirya pun masih berani menatap mata ayahnya yang sekarang ini telah sedang menunjukkan jelas pancaran kemarahan. Sedangkan, Pak Indra segera beranjak bangun dari sofa empuk yang beliau duduki. Dan....
PLAK!
Tamparan keras dilayangkan Pak Indra hanya dalam hitungan tak lebih dari lima detik, setelah menyadari putra beliau telah mengungkap fakta yang ada. Tatapan Pak Indra tajam dan memerlihatkan hebatnya gejolak amarah dalam diri beliau. Sedangkan, Wirya tak melawan.
"Berani sekali kamu membohongi Ayah, Nak!"
PLAK!
Satu tamparan kembali Pak Indra berikan di bagian pipi kiri putra tertuanya itu. Beliau tak akan segan bermain tangat. Kobaran api amarah Pak Indra tidak dapat mudah begitu saja dipadamkan.
"Wirya tidak sepenuhnya salah di sini, Paman. Saya ikut ambil andil dalam kebohongan yang kami sudah lakukan."
Latri langsung berhasil disergap oleh rasa takut tatkala memperoleh sorot tajam yang sama seperti sang suami dari ayah mertuanya. Napas Latri pun terasa tercekat di tenggorokan ketika melihat tangan Pak Indra melayang di udara. Wanita itu menduga jika ia akan ditampar, Latri lantas memilih memejamkan mata. Pasrah dengan perlakuan kasar yang akan diterima.
Dan kesigapan ditunjukkan Wirya dengan menepis tangan ayahnya secara cepat. "Jangan pernah coba untuk menyakiti istriku Ayah! Aku tidak akan tinggal diam jika Ayah berniat menampar Latri!"
Rahang wajah Pak Indra mengeras dan emosi beliau bertambah. "Berani sekali kamu melawan Ayah demi seorang wanita tidak tahu diuntung seperti dia!" Pak Indra menunjuk-menunjuk menantunya dengan jari.
"Latri istriku. Jadi, aku memiliki kewajiban melindunginya. Apalagi saat Ayah ingin menyakitinya. Latri tidak bersalah, Yah." Wirya berusaha meminta pengertian dari sang ayah dan tidak menyalahkan istrinya.
"Bela saja terus wanita yang tidak tahu diuntung ini!" Pak Indra berseru marah. Beliau tak suka akan sikap yang ditunjukkan putranya.
"Aku sungguh-sungguh ingin minta maaf karena kebohongan yang aku perbuat. Aku terpaksa melakukannya. Aku tahu jika Ayah sama sekali tidak mau menikahkanku dengan Latri. Ayah hanya mengincar saham milik Om Yoga di perusahaan supaya bisa Ayah kuasai."
"Saham-saham itu wajar untuk keluarga kita ambil kembali sebagai ganti atas penghianatan Ayah dari istri tak tahu diuntungmu ini, Wirya!"
=======================
"Ayah akan menugasimu mengikuti perjalanan bisnis bersama rombongan di Jepang selama 2 bulan dan juga di Tiongkok sekitaran 1 bulan. Anggap saja ini sebagai hukuman karena kamu sudah berani melawan Ayah."
"Jika sampai tidak ada satu pun kerja sama yang bisa dicapai dengan mitra kita di sana, Nak. Posisi dan jabatan kamu di perusahaan akan siap-siap digantikan oleh Wira."
Pemberitahuan sekaligus ancaman dari sang ayah di kantor pagi tadi membuat Wirya tidak berkutik dan harus mengikuti segala perintah yang telah diberikan, suka ataupun tak suka. Ia tidak bisa membantah dalam urusan pekerjaan serta tanggung jawab di perusahaan. Wirya pun akan mengedepankan sikap profesionalnya.
"Ada apa, Wi? Kenapa bengong?"
Pertanyaan yang dialunkan dengan nada lembut oleh sang istri, seketika sukses membuyarkan lamunan Wirya. Pria itu mengukir senyum manakala memperoleh sorot kekhawatiran pada sepasang mata indah milik istrinya.
Sejak pertengkaran dengan sang ayah beberapa waktu lalu, Wirya merasa bahwa Latri mulai kembali menaruh perhatian yang kepadanya seperti dulu, saat mereka masih bertunangan. Wirya tentu senang akan hal tersebut. Sekecil apa pun bentuk perhatian dan sikap lembut istrinya, ia menghargai.
"Aku akan ikut dalam perjalanan bisnis perusahaan mungkin kurang lebih empat bulan ke luar negeri." Wirya memberi tahu perihal rencananya.
"Pergilah. Aku tidak akan apa-apa. Aku bisa menjaga diriku sendiri di sini dengan baik," balas Latri serius guna meyakinkan suaminya.
Wanita itu bisa melihat secara jelas pancaran keraguan pada sepasang manik cokelat sang suami. Latri tahu jika Wirya tak tega meninggalkannya ditengah konflik yang masih terus memanas di dalam keluarga mereka. Namun, ia tidak ingin banyak lagi menyusahkan suaminya.
"Aku akan berangkat ke Jepang dan Tiongkok." Wirya memutuskan pada akhirnya. "Selama di luar negeri, aku akan minta Wira ikut menjaga kamu di sini, Latri. Jika Ayah dan Ibu berani menyakiti atau macam-macam, adukan padaku."
"Iya, Wi," balas Latri dengan cepat sembari mengukir senyuman terbaik yang mampu ditunjukkan.
Wirya kemudian memeluk erat tubuh istrinya seolah tak sekalipun pernah menginginkan wanita itu untuk pergi dari sisinya. "Aku pasti akan sering merindukanmu di sana, Sayang."
"Tidak. Kita masih bisa tetap saling berkomunikasi. Aku setiap hari akan menghubungimu, Wi."
Selepas mendengar ucapan Latri yang dapat menyejukkan hati, maka Wirya pun kian memperkuat dekapan pada tubuh istrinya itu. "Jangan pernah meninggalkanku, Latri. Aku sangat mencintaimu."
"Tidak akan, Wi. Perpisahan ini hanya sementara."
================================
Ketidakpercayaan masih sangat Latri rasakan, ia bahkan ingin menyangkal hasil dari pemeriksaan dokter yang menyebutkan jika dirinya sedang hamil empat bulan. Latri pun jarang memerhatikan siklus menstruasi yang kerap tak menentu. Ia enggan memusingkan. Dan seingatnya, terakhir datang bulan memang sudah lama. Sungguh semua ini diluar prediksi yang pernah Latri pikirkan. Andai tadi ia tidak pingsan dan dilarikan ke rumah sakit, mungkin keberadaan calon anak mereka tak akan diketahui secara cepat. Latri tentu bersyukur dan merasa bahagia akan menjadi ibu lagi setelah keguguran yang sempat ia dialami beberapa tahun lalu. Latri juga ingin segera memberi tahu Wirya perihal kehamilannya, namun hampir lima hari belakangan pria itu tak menghubunginya. Latri mengira suaminya sedang cukup sibuk dengan sejumlah agenda dalam perjalanan bisnis di luar negeri. Sudah selama dua bulan lima hari lamanya Wirya tidak pulang, menyisakan 25 hari hingga akhirnya pria itu bisa kemba
Wirya belum pernah menginginkan sesuatu sampai harus mengorbankan harga dirinya yang tinggi. Akan tetapi, ia bahkan sangat rela untuk berlutut di hadapan ibunya semata-mata demi mengetahui keberadaan Latri yang tak kunjung ditemukannya. Wirya sudah berupaya melakukan pencarian, namun sama sekali tidak membuahkan hasil. Kefrustrasian kian menggeroti diri pria itu. "Tolong, Bu. Tolong katakan kemana Latri pergi sebenarnya. Aku mohon, Bu," pinta Wirya sungguh-sungguh. Ia telah kehabisan cara mendapatkan informasi dimana istrinya berada kini. Dan Wirya sangat yakin jika sang ibu tahu tentang semua ini tanpa sedikit pun menaruh curiga bahwa ibunyalah yang ternyata merencanakan secara matang perpisahan mereka. Wirya tak berpikir sejauh itu. Kepercayaan pada ibunya masih begitu ada. Ia tidak berburuk sangka. "Bangun, Nak." Wirya bergeming saja saat sang ibu membantu dirinya berdiri, kemudian dibimbing duduk di atas sofa ruang tamu. Pria itu tak berda
Wirya sudah mencoba menghubungi adik laki-lakinya beberapa kali lewat sambungan telepon, menanyakan perihal kontak salah satu rekan bisnis perusahaan. Akan tetapi, Wira tidak sekalipun menjawab. Jadi, Wirya pun memutuskan untuk mendatangi kediaman adiknya itu. Beruntung, si pemilik rumah sedang tak ada acara keluar di hari kerja yang terbilang begitu padat sebagai pembisnis muda. Dan hampir tiga bulan belakangan, Wirya tidak suka dengan kinerja Wira di kantor yang kerap bolos dan bahkan tak datang bekerja seenaknya. Bukan semata-mata berpatokan pada masalah tanggung jawab pekerjaan. Wirya sedikit merasa jika terjadi perubahan dengan sikap adiknya. Ia menaruh curiga, namun tidak segera meminta penjelasan. Terlebih lagi, mereka memiliki riwayat hubungan yang tak terlalu akrab. Meski, mereka adalah saudara kandung. "Kenapa lo nggak kerja hari ini, Wir? Apa jabatan lo mau gue turunkan?" W
================================ Arsa sudah pamit pulang sekitar 20 menit lalu, dan sejak saat itu pulalah keheningan mulai tercipta di antara Wirya serta Latri. Mereka berdua masih berada di ruang tamu, duduk saling berdampingan dalam satu sofa panjang yang sama. Tentu putri kecil mereka juga ikut di sana, tetap dapat terlelap damai dan nyaman dalam gendongan hangat sang ayah walau untuk yang pertama kali malam ini. Wirya pun tidak ingin memindahkan pandangan dari sosok mungil buah hatinya. Kehangatan memenuhi dada pria itu manakala memerhatikan mata dan hidung sang putri yang sangat mirip dengannya. Wirya merasa bersyukur serta bahagia akan pertemuan yang telah memisahkan mereka hampir tujuh bulan lamanya. Tidak mampu dipungkiri juga bahwa sekelumit penyesalan membelenggu Wirya. Terutama tentang dirinya yang tak mampu menemani dan ada di sisi sang istri melewati masa-masa kehamilan. Peranan sebagai seorang suami gagal. "Aku minta maaf, Latri
Semenjak semalam hingga dini hari, Wirya lebih banyak terjaga. Pria itu cenderung tidak dapat tidur dengan nyenyak. Bukan karena beban pikiran yang mengganggunya. Melainkan oleh sosok mungil sang putri. Ia seakan tak bisa lama-lama memejamkan mata atau terlelap, manakala Laksmi yang baru berusia 50 hari itu selalu berada dekat di sisinya. Wirya tidak pernah merasakan lelah ketika harus menggendong putrinya itu dalam durasi waktu lama, misal seperti malam tadi. Dimana, Laksmi rewel serta sedikit merepotkan sang istri. Wirya pun berupaya semaksimal mungkin membantu istrinya untuk menenangkan putri semata wayang mereka. Dan ia mempersilakan Latri beristirahat, sementara dirinya sabar menemani Laksmi yang sedang ingin begadang. "Belum mengantuk, Nak?" Kuluman senyuman bahagia di bibir Wirya belum memudar. Tatapan pria itu juga senantiasa masih tertuju pada wajah cantik putri kecilnya. Terdapat tarikan magnet yang seolah mem
Cuaca pagi ini mendung, cahaya dari matahari pun tidak sepenuhnya bisa menyinari bumi seperti kemarin. Air hujan yang deras juga belum turun membasahi tanah, hanya rintik-rintik ringan. Namun, semilir angin cukup kencang berembus lalu menciptakan nuansa dingin yang dapat menusuk kulit. Dan untuk menjaga kehangatan bagi putri mereka, Latri membalut tubuh Laksmi dengan selimut tebal serta memberi dekapan lebih erat tatkala putri mereka itu terlelap nyenyak dalam gendongannya sejak 10 menit lalu. Latri berharap jika perubahan cuaca tidak berdampak untuk kesehatan Laksmi yang belum mempunyai daya tahan dan sistem kekebalan tinggi. Ia pun tak lupa berdoa disetiap waktu supaya putri kecil mereka senantiasa kuat. Kemudian, senyuman Latri dengan segera dilebarkan karena melihat buah hatinya tiba-tiba saja terbangun. Tak terdengar adanya rengekan. Bayi perempuan itu malah memandangi ibunya lekat dan sorot keluguan yang terpancar jelas. "Laksmi gimana boboknya?
Latri bukannya merasa senang untuk mengambil tidak acuh atas keributan yang terjadi di rumahnya pagi ini. Ia hanya tak berkeinginan menambah runcingan masalah menjadi rumit. Terlebih, orangtua Wirya belum bisa menerimanya sebagai menantu dan menaruh rasa benci yang sangat. Mengenai keputusan dibuat oleh sang suami, Latri sungguh tidak berpikir jika Wirya akan mengundurkan diri dari perusahaan dalam hitungan hari saja. Latri bahkan tak tahu-menahu. Semua diluar prediksinya. Andai ia tidak meminta pada Wirya. Apakah masalah seperti ini akan jauh dari kehidupan mereka? Latri terus bertanya-tanya di dalam hati. Dan, berbagai macam jawaban saling bersahutan di kepala sampai menimbulkan kepeningan yang kian menjadi. Rasa pusing tidak mampu dihindari. "Laksmi sudah tenang?" Tatkala suara berat milik suaminya menyapa gendang telinga, yang bisa dipamerkan Latri yakni senyuman tipis di bibir. Dadanya terasa cukup sesak melihat sorot redup pada kedua mata Wirya.
Sama seperti kebanyakan kepala rumah tangga yang lain, Wirya pun mesti cepat pergi ke kantor karena banyak pekerjaan tengah menumpuk dan harus segera pula diselesaikan. Namun, keberangkatannya tertunda disebabkan aksi putri kecilnya yang tak mau turun dari gendongan sejak 10 menit lalu. Laksmi memerlihatkan sikap manja ke sang ayah karena jarang bisa habiskan waktu bermain bersama di rumah, sibuk dengan pekerjaan yang padat. Jadi, batita itu bertingkah banyak guna mencari perhatian lebih dari sang ayah jika ada kesempatan, misalkan sekarang ini. "Papa ...," Laksmi bergumam kecil, lalu menaruh kepalanya dengan rasa nyaman yang besar di bahu kiri sang ayah. "Papa...Papaa...," ulang batita itu dalam nada lucu. "Laksmi sama Mama sini, Nak. Papa mau ke kantor." Wirya cepat mengulas senyum tipis, kala istrinya yang duduk di tepian tempat tidur mengeluarkan beberapa kata gu