Wirya belum pernah menginginkan sesuatu sampai harus mengorbankan harga dirinya yang tinggi. Akan tetapi, ia bahkan sangat rela untuk berlutut di hadapan ibunya semata-mata demi mengetahui keberadaan Latri yang tak kunjung ditemukannya.
Wirya sudah berupaya melakukan pencarian, namun sama sekali tidak membuahkan hasil. Kefrustrasian kian menggeroti diri pria itu.
"Tolong, Bu. Tolong katakan kemana Latri pergi sebenarnya. Aku mohon, Bu," pinta Wirya sungguh-sungguh. Ia telah kehabisan cara mendapatkan informasi dimana istrinya berada kini.
Dan Wirya sangat yakin jika sang ibu tahu tentang semua ini tanpa sedikit pun menaruh curiga bahwa ibunyalah yang ternyata merencanakan secara matang perpisahan mereka. Wirya tak berpikir sejauh itu. Kepercayaan pada ibunya masih begitu ada. Ia tidak berburuk sangka.
"Bangun, Nak."
Wirya bergeming saja saat sang ibu membantu dirinya berdiri, kemudian dibimbing duduk di atas sofa ruang tamu. Pria itu tak berdaya dan seperti kehilangan semangat hidup. Rasa hampa turut membelenggunya.
Tatapan mata Wirya semakin kosong seakan-akan tidak memiliki harapan atau cahaya di dalamnya. Ia sudah merasakan hal ini sejak Latri tak lagi di sisinya. Dan entah berada dimana. Wirya benar-benar merindukan sosok istrinya.
"Ibu tidak tahu, Nak. Bukankah Latri sendiri berpamitan ke kamu kalau dia akan pergi ke Amerika mengunjungi Pamannya? Kenapa malah bertanya balik ke Ibu?"
"Tapi, Latri sudah enam bulan tidak menghubungiku. Dia tidak memberi kabar padaku, Bu. Nomornya ikut tidak aktif. Emailku juga tidak satu pun dibalas oleh Latri!" Wirya tanpa sadar malah meninggikan suaranya.
"Sudah hubungi Paman dia?" Ibu Ratna bertanya dengan sikap tenang. Tetap menunjukkan ketidaktahuan.
"Komunikasi terakhir dua minggu lalu, Pamannya bilang Latri baik-baik saja. Tapi, aku tidak bisa percaya, Bu. Apalagi aku belum pernah bertemu langsung dengan Paman itu."
Wirya lalu memandang cukup tajam ibunya. "Apa Ibu sungguh tidak tahu Latri ada dimana sekarang? Tolong jangan berbohong padaku, Bu."
Tatapan Ibu Ratna terlihat ikut lebih menajam dari sebelumnya. "Kamu ingin menuduh Ibu? Lagipula untuk apa Ibu mengirim istrimu jauh-jauh ke Amerika?"
"Meski Ibu tidak menyukai Latri, Ibu tidak mungkin mau membuang uang hanya demi menyingkirkan wanita itu." Ibu Ratna menambahkan dengan gaya sarkasme beliau.
"Kalaupun Ibu benar-benar tidak tahu. Setidaknya Ibu melarang Latri pergi. Dia sedang hamil. Apa Ibu juga tidak tahu jika Latri mengandung anakku? Cucu Ayah dan Ibu?"
Raut keterkejutan tampak cukup jelas diperlihatkan Ibu Ratna. "Dari mana kamu tahu jika Latri hamil, Nak?"
"Aku menemukan sebuah amplop berisi hasil pemeriksaan kehamilan di laci meja rias Latri, Bu."Wirya pun menjawab dalam suara beratnya yang terdengar begitu pelan. Tiba-tiba saja sosok Latri membayangi benaknya, menimbulkan rasa sesak.
"Apa kamu yakin jika anak di rahim Latri memang benar merupakan darah dagingmu, Nak?"
Rahang wajah Wirya mengeras pasca memperoleh pertanyaan negatif dari ibunya. Ia tidak bisa terima. "Kenapa Ibu dapat berasumsi seperti itu?"
================================
Arsa berjalan mondar-mandir sambil memegang telepon genggam di sekitar areal kedatangan internasional Bandara I Gusti Ngurah Rai, untuk menunggu kepulangan seseorang dari luar negeri. Ya, benar. Orang yang dimaksud Arsa adalah mantan istrinya.
Latri memang tidak sendirian. Wanita itu ditemani Wira dan Adisti. Tak hanya mereka, sosok bayi perempuan berusia satu bulan pun juga ikut serta dalam perjalanan hari ini. Putri kecil dari Wirya yang berhasil Latri pertahankan.
Setelah menetap sementara hampir 4 bulan mengikuti fisioterapi lanjutan di Amerika. Dan memilih salah satu rumah sakit terbaik yang ada di Singapura sebagai tempat melahirkan, Latri kemudian memutuskan kembali ke Indonesia.
"Teleponnya belum aktif," gumam Arsa dengan begitu pelan ketika tidak kunjung bisa menghubungi sang adik, Adisti. Komunikasi lewat telepon ia terus coba sejak 30 menit lalu. Sorot kecemasan cukup terlihat jelas di sepasang mata Arsa jika diperhatikan secara saksama.
Rasa penasaran kian mendekap pria itu sejak tadi, terutama mengenai kondisi Latri yang sudah lebih dari 10 bulan tak pernah sekalipun ia bisa jumpai. Apalagi, ketika mengetahui mantan istrinya mengalami masalah yang terbilang rumit, maka kesabaran dirinya untuk segera bertemu wanita itu tak mampu terbendung lagi.
"Kak ...,"
Sesaat setelah suara yang Arsa yakini milik sang adik menyapa gendang telinganya, pria itu segera menengok ke belakang. Tidak butuh waktu lama bagi Arsa untuk dapat menangkap melalui indera penglihatan tiga sosok orang dewasa berbeda gender tak jauh dari tempatnya berpijak.
"Latri ...," Tanpa sadar Arsa malahan menyebut nama sang mantan istri. Ia tertegun sejenak.
Arsa bahkan tampak cukup syok dikala menyaksikan perubahan Latri. Wanita itu tidak lagi duduk di atas kursi. Akan tetapi, sudah mampu berjalan secara perlahan, meskipun masih dengan bantuan tongkat yang menyangka di masing-masing sisi tubuhnya.
"Kak Arsa sampai di sini kapan?"
Pertanyaan singkat Adisti membuat konsentrasi Arsa berhasil terpecah. Namun, belum berniat menyudahi kontak mata yang sedang terjadi di antara dirinya dan Latri. Ia tahu jika wanita itu terkejut melihatnya, seolah tak menyangka sama sekali.
"Arsa, kenapa kamu bisa ada di sini?"
"Maaf, Kak Latri. Aku yang memberi tahu, Kak Arsa." Adisti cepat-cepat menyahut supaya tidak menimbulkan kesalahpahaman.
Pegangan Latri pada kedua tongkat kian mengencang tatkala merasakan tatapan yang diperolehnya dari Arsa juga semakin intens. "Apa kamu juga tahu tentang masalahku, Sa? Adisti menceritakannya?"
"Ya, Latri. Apa aku tidak boleh tahu kamu ada masalah dan kesusahan? Sedangkan, kamu sudah selalu mencoba membantu selama ini saat aku berada dalam masa sulit?" Arsa menanggapi kemudian.
"Seharusnya kamu memberi tahu dan tidak menyembunyikan semua ini dariku, Latri," imbuh pria itu dengan lirih.
"Tenang, Kak Arsa. Jangan terlalu khawatir. Bagaimanapun Kak Latri masih menjadi kakak ipar saya. Jadi, saya pasti akan membantunya dalam kondisi apa pun juga. Saya lebih berhak daripada Anda." balas Wira sedikit sinis karena tidak suka akan sikap mantan suami kakak iparnya kini tunjukkan.
Arsa merasakan hal sama. Ia lantas melayangkan tatapan dingin sembari berucap, "Termasuk masalah yang disebabkan oleh keluargamu sendiri, Wira? Kemana perginya kakakmu si Wirya itu? Kenapa dia membiarkan Latri menderita?!"
"Sudah, Kak. Sabarlah," ujar Adisti berupaya menenangkan sang kakak yang tersulut emosi. Sementara, bayi perempuan dalam gendongannya tampak tetap terlelap dengan nyaman dan nyenyak.
"Biar saya yang akan mengurus masalah ini, Kak Arsa. Saya tahu apa yang harus dilakukan bersama Kak Latri," jawab Wira serius.
"Benar, Arsa. Aku akan selesaikan masalah ini dibantu Wira. Aku tidak mau merepotkanmu," tambah Latri seraya mengulum senyum tipis pada mantan suaminya.
================================
Wirya sudah mencoba menghubungi adik laki-lakinya beberapa kali lewat sambungan telepon, menanyakan perihal kontak salah satu rekan bisnis perusahaan. Akan tetapi, Wira tidak sekalipun menjawab. Jadi, Wirya pun memutuskan untuk mendatangi kediaman adiknya itu. Beruntung, si pemilik rumah sedang tak ada acara keluar di hari kerja yang terbilang begitu padat sebagai pembisnis muda. Dan hampir tiga bulan belakangan, Wirya tidak suka dengan kinerja Wira di kantor yang kerap bolos dan bahkan tak datang bekerja seenaknya. Bukan semata-mata berpatokan pada masalah tanggung jawab pekerjaan. Wirya sedikit merasa jika terjadi perubahan dengan sikap adiknya. Ia menaruh curiga, namun tidak segera meminta penjelasan. Terlebih lagi, mereka memiliki riwayat hubungan yang tak terlalu akrab. Meski, mereka adalah saudara kandung. "Kenapa lo nggak kerja hari ini, Wir? Apa jabatan lo mau gue turunkan?" W
================================ Arsa sudah pamit pulang sekitar 20 menit lalu, dan sejak saat itu pulalah keheningan mulai tercipta di antara Wirya serta Latri. Mereka berdua masih berada di ruang tamu, duduk saling berdampingan dalam satu sofa panjang yang sama. Tentu putri kecil mereka juga ikut di sana, tetap dapat terlelap damai dan nyaman dalam gendongan hangat sang ayah walau untuk yang pertama kali malam ini. Wirya pun tidak ingin memindahkan pandangan dari sosok mungil buah hatinya. Kehangatan memenuhi dada pria itu manakala memerhatikan mata dan hidung sang putri yang sangat mirip dengannya. Wirya merasa bersyukur serta bahagia akan pertemuan yang telah memisahkan mereka hampir tujuh bulan lamanya. Tidak mampu dipungkiri juga bahwa sekelumit penyesalan membelenggu Wirya. Terutama tentang dirinya yang tak mampu menemani dan ada di sisi sang istri melewati masa-masa kehamilan. Peranan sebagai seorang suami gagal. "Aku minta maaf, Latri
Semenjak semalam hingga dini hari, Wirya lebih banyak terjaga. Pria itu cenderung tidak dapat tidur dengan nyenyak. Bukan karena beban pikiran yang mengganggunya. Melainkan oleh sosok mungil sang putri. Ia seakan tak bisa lama-lama memejamkan mata atau terlelap, manakala Laksmi yang baru berusia 50 hari itu selalu berada dekat di sisinya. Wirya tidak pernah merasakan lelah ketika harus menggendong putrinya itu dalam durasi waktu lama, misal seperti malam tadi. Dimana, Laksmi rewel serta sedikit merepotkan sang istri. Wirya pun berupaya semaksimal mungkin membantu istrinya untuk menenangkan putri semata wayang mereka. Dan ia mempersilakan Latri beristirahat, sementara dirinya sabar menemani Laksmi yang sedang ingin begadang. "Belum mengantuk, Nak?" Kuluman senyuman bahagia di bibir Wirya belum memudar. Tatapan pria itu juga senantiasa masih tertuju pada wajah cantik putri kecilnya. Terdapat tarikan magnet yang seolah mem
Cuaca pagi ini mendung, cahaya dari matahari pun tidak sepenuhnya bisa menyinari bumi seperti kemarin. Air hujan yang deras juga belum turun membasahi tanah, hanya rintik-rintik ringan. Namun, semilir angin cukup kencang berembus lalu menciptakan nuansa dingin yang dapat menusuk kulit. Dan untuk menjaga kehangatan bagi putri mereka, Latri membalut tubuh Laksmi dengan selimut tebal serta memberi dekapan lebih erat tatkala putri mereka itu terlelap nyenyak dalam gendongannya sejak 10 menit lalu. Latri berharap jika perubahan cuaca tidak berdampak untuk kesehatan Laksmi yang belum mempunyai daya tahan dan sistem kekebalan tinggi. Ia pun tak lupa berdoa disetiap waktu supaya putri kecil mereka senantiasa kuat. Kemudian, senyuman Latri dengan segera dilebarkan karena melihat buah hatinya tiba-tiba saja terbangun. Tak terdengar adanya rengekan. Bayi perempuan itu malah memandangi ibunya lekat dan sorot keluguan yang terpancar jelas. "Laksmi gimana boboknya?
Latri bukannya merasa senang untuk mengambil tidak acuh atas keributan yang terjadi di rumahnya pagi ini. Ia hanya tak berkeinginan menambah runcingan masalah menjadi rumit. Terlebih, orangtua Wirya belum bisa menerimanya sebagai menantu dan menaruh rasa benci yang sangat. Mengenai keputusan dibuat oleh sang suami, Latri sungguh tidak berpikir jika Wirya akan mengundurkan diri dari perusahaan dalam hitungan hari saja. Latri bahkan tak tahu-menahu. Semua diluar prediksinya. Andai ia tidak meminta pada Wirya. Apakah masalah seperti ini akan jauh dari kehidupan mereka? Latri terus bertanya-tanya di dalam hati. Dan, berbagai macam jawaban saling bersahutan di kepala sampai menimbulkan kepeningan yang kian menjadi. Rasa pusing tidak mampu dihindari. "Laksmi sudah tenang?" Tatkala suara berat milik suaminya menyapa gendang telinga, yang bisa dipamerkan Latri yakni senyuman tipis di bibir. Dadanya terasa cukup sesak melihat sorot redup pada kedua mata Wirya.
Sama seperti kebanyakan kepala rumah tangga yang lain, Wirya pun mesti cepat pergi ke kantor karena banyak pekerjaan tengah menumpuk dan harus segera pula diselesaikan. Namun, keberangkatannya tertunda disebabkan aksi putri kecilnya yang tak mau turun dari gendongan sejak 10 menit lalu. Laksmi memerlihatkan sikap manja ke sang ayah karena jarang bisa habiskan waktu bermain bersama di rumah, sibuk dengan pekerjaan yang padat. Jadi, batita itu bertingkah banyak guna mencari perhatian lebih dari sang ayah jika ada kesempatan, misalkan sekarang ini. "Papa ...," Laksmi bergumam kecil, lalu menaruh kepalanya dengan rasa nyaman yang besar di bahu kiri sang ayah. "Papa...Papaa...," ulang batita itu dalam nada lucu. "Laksmi sama Mama sini, Nak. Papa mau ke kantor." Wirya cepat mengulas senyum tipis, kala istrinya yang duduk di tepian tempat tidur mengeluarkan beberapa kata gu
"Mama...Mama...," Laksmi antusias memanggil-manggil sembari terus memandangi wajah cantik ibunya yang masih tertidur, sudah dimulai batita perempuan itu sejak beberapa menit lalu.Dan, kala tak mendapat tanggapan sama sekali. Laksmi lantas memanyun-manyunkan bibir, menjadi tanda jika batita itu tengah sedikit merasa sebal.Laksmi ingin melanjutkan aksi agar ibunya segera bangun dan menjawab panggilannya. Batita itu lalu menaruh tangan kanannya yang kecil di atas pipi kiri sang ibu.Sorot lugu pada sepasang mata hitam Laksmi dengan melekat jelas. Walau, kejahilan sekarang ini sedang coba dilakukan batita perempuan itu pada ibunya."Mamaa ...," Batita perempuan itu pun sedikit meninggikan suara, kembali memanggil sang ibu yang berbaring lelap di samping kirinya.Tak ada balasan diperoleh batita itu."Laksmi udah bangun, Nak?"Menangkap pertanyaan yang ayahnya lontarkan dalam nada begitu pelan, Laksmi secepatnya coba mengalihkan perhatian serta
"Pemeriksaan hari ini sudah selesai. Calon bayi Bu Latri tidak mengalami masalah. Sejauh ini masih tumbuh normal.""Makasih, Dokter Fifi," balas Latri sopan. Senyum wanita itu mengembang cukup lebar di wajahnya.Latri tentu bersyukur serta merasa senang akan kabar baik yang baru saja diterima. Wanita itu pun juga sempat menyaksikan mimik wajah kelegaan suaminya. Entah kenapa, ekspresi Wirya yang demikian membuat dirinya ingin tersenyum lebih lebar lagi."Iya, Bu Latri. Sama-sama. Kalau begitu saya tinggal dulu menemui Dokter Hani. Bapak dan Ibu silakan tunggu di sini sebentar. Saya akan segera kembali.""Baik, Dokter Fifi." Latri menjawab segera. Tidak lupa menganggukkan kepalanya dengan gerakan yang sopan.Hanya sunggingan senyuman ramah dan juga bersahabat yang Dokter Fifi tunjukkan sebagai balasan, sebelum berjalan guna melenggang pergi dari ruang periksa. Tinggalkan pasangan suami-istri yang butuh saling berbicara.Kemudian, kekagetan me