Share

7 - Kefrustrasian Wirya

Wirya belum pernah menginginkan sesuatu sampai harus mengorbankan harga dirinya yang tinggi. Akan tetapi, ia bahkan sangat rela untuk berlutut di hadapan ibunya semata-mata demi mengetahui keberadaan Latri yang tak kunjung ditemukannya.

Wirya sudah berupaya melakukan pencarian, namun sama sekali tidak membuahkan hasil. Kefrustrasian kian menggeroti diri pria itu.

"Tolong, Bu. Tolong katakan kemana Latri pergi sebenarnya. Aku mohon, Bu," pinta Wirya sungguh-sungguh. Ia telah kehabisan cara mendapatkan informasi dimana istrinya berada kini.

Dan Wirya sangat yakin jika sang ibu tahu tentang semua ini tanpa sedikit pun menaruh curiga bahwa ibunyalah yang ternyata merencanakan secara matang perpisahan mereka. Wirya tak berpikir sejauh itu. Kepercayaan pada ibunya masih begitu ada. Ia tidak berburuk sangka.

"Bangun, Nak."

Wirya bergeming saja saat sang ibu membantu dirinya berdiri, kemudian dibimbing duduk di atas sofa ruang tamu. Pria itu tak berdaya dan seperti kehilangan semangat hidup. Rasa hampa turut membelenggunya.

Tatapan mata Wirya semakin kosong seakan-akan tidak memiliki harapan atau cahaya di dalamnya. Ia sudah merasakan hal ini sejak Latri tak lagi di sisinya. Dan entah berada dimana. Wirya benar-benar merindukan sosok istrinya.

"Ibu tidak tahu, Nak. Bukankah Latri sendiri berpamitan ke kamu kalau dia akan pergi ke Amerika mengunjungi Pamannya? Kenapa malah bertanya balik ke Ibu?"

"Tapi, Latri sudah enam bulan tidak menghubungiku. Dia tidak memberi kabar padaku, Bu. Nomornya ikut tidak aktif. Emailku juga tidak satu pun dibalas oleh Latri!" Wirya tanpa sadar malah meninggikan suaranya.

"Sudah hubungi Paman dia?" Ibu Ratna bertanya dengan sikap tenang. Tetap menunjukkan ketidaktahuan.

"Komunikasi terakhir dua minggu lalu, Pamannya bilang Latri baik-baik saja. Tapi, aku tidak bisa percaya, Bu. Apalagi aku belum pernah bertemu langsung dengan Paman itu."

Wirya lalu memandang cukup tajam ibunya. "Apa Ibu sungguh tidak tahu Latri ada dimana sekarang? Tolong jangan berbohong padaku, Bu."

Tatapan Ibu Ratna terlihat ikut lebih menajam dari sebelumnya. "Kamu ingin menuduh Ibu? Lagipula untuk apa Ibu mengirim istrimu jauh-jauh ke Amerika?"

"Meski Ibu tidak menyukai Latri, Ibu tidak mungkin mau membuang uang hanya demi menyingkirkan wanita itu." Ibu Ratna menambahkan dengan gaya sarkasme beliau.

"Kalaupun Ibu benar-benar tidak tahu. Setidaknya Ibu melarang Latri pergi. Dia sedang hamil. Apa Ibu juga tidak tahu jika Latri mengandung anakku? Cucu Ayah dan Ibu?"

Raut keterkejutan tampak cukup jelas diperlihatkan Ibu Ratna. "Dari mana kamu tahu jika Latri hamil, Nak?"

"Aku menemukan sebuah amplop berisi hasil pemeriksaan kehamilan di laci meja rias Latri, Bu."Wirya pun menjawab dalam suara beratnya yang terdengar begitu pelan. Tiba-tiba saja sosok Latri membayangi benaknya, menimbulkan rasa sesak.

"Apa kamu yakin jika anak di rahim Latri memang benar merupakan darah dagingmu, Nak?"

Rahang wajah Wirya mengeras pasca memperoleh pertanyaan negatif dari ibunya. Ia tidak bisa terima. "Kenapa Ibu dapat berasumsi seperti itu?"

================================

Arsa berjalan mondar-mandir sambil memegang telepon genggam di sekitar areal kedatangan internasional Bandara I Gusti Ngurah Rai, untuk menunggu kepulangan seseorang dari luar negeri. Ya, benar. Orang yang dimaksud Arsa adalah mantan istrinya.

Latri memang tidak sendirian. Wanita itu ditemani Wira dan Adisti. Tak hanya mereka, sosok bayi perempuan berusia satu bulan pun juga ikut serta dalam perjalanan hari ini. Putri kecil dari Wirya yang berhasil Latri pertahankan.

Setelah menetap sementara hampir 4 bulan mengikuti fisioterapi lanjutan di Amerika. Dan memilih salah satu rumah sakit terbaik yang ada di Singapura sebagai tempat melahirkan, Latri kemudian memutuskan kembali ke Indonesia.

"Teleponnya belum aktif," gumam Arsa dengan begitu pelan ketika tidak kunjung bisa menghubungi sang adik, Adisti. Komunikasi lewat telepon ia terus coba sejak 30 menit lalu. Sorot kecemasan cukup terlihat jelas di sepasang mata Arsa jika diperhatikan secara saksama.

Rasa penasaran kian mendekap pria itu sejak tadi, terutama mengenai kondisi Latri yang sudah lebih dari 10 bulan tak pernah sekalipun ia bisa jumpai. Apalagi, ketika mengetahui mantan istrinya mengalami masalah yang terbilang rumit, maka kesabaran dirinya untuk segera bertemu wanita itu tak mampu terbendung lagi.

"Kak ...,"

Sesaat setelah suara yang Arsa yakini milik sang adik menyapa gendang telinganya, pria itu segera menengok ke belakang. Tidak butuh waktu lama bagi Arsa untuk dapat menangkap melalui indera penglihatan tiga sosok orang dewasa berbeda gender tak jauh dari tempatnya berpijak.

"Latri ...," Tanpa sadar Arsa malahan menyebut nama sang mantan istri. Ia tertegun sejenak.

Arsa bahkan tampak cukup syok dikala menyaksikan perubahan Latri. Wanita itu tidak lagi duduk di atas kursi. Akan tetapi, sudah mampu berjalan secara perlahan, meskipun masih dengan bantuan tongkat yang menyangka di masing-masing sisi tubuhnya.

"Kak Arsa sampai di sini kapan?"

Pertanyaan singkat Adisti membuat konsentrasi Arsa berhasil terpecah. Namun, belum berniat menyudahi kontak mata yang sedang terjadi di antara dirinya dan Latri. Ia tahu jika wanita itu terkejut melihatnya, seolah tak menyangka sama sekali.

"Arsa, kenapa kamu bisa ada di sini?"

"Maaf, Kak Latri. Aku yang memberi tahu, Kak Arsa." Adisti cepat-cepat menyahut supaya tidak menimbulkan kesalahpahaman.

Pegangan Latri pada kedua tongkat kian mengencang tatkala merasakan tatapan yang diperolehnya dari Arsa juga semakin intens. "Apa kamu juga tahu tentang masalahku, Sa? Adisti menceritakannya?"

"Ya, Latri. Apa aku tidak boleh tahu kamu ada masalah dan kesusahan? Sedangkan, kamu sudah selalu mencoba membantu selama ini saat aku berada dalam masa sulit?" Arsa menanggapi kemudian.

"Seharusnya kamu memberi tahu dan tidak menyembunyikan semua ini dariku, Latri," imbuh pria itu dengan lirih.

"Tenang, Kak Arsa. Jangan terlalu khawatir. Bagaimanapun Kak Latri masih menjadi kakak ipar saya. Jadi, saya pasti akan membantunya dalam kondisi apa pun juga. Saya lebih berhak daripada Anda." balas Wira sedikit sinis karena tidak suka akan sikap mantan suami kakak iparnya kini tunjukkan.

Arsa merasakan hal sama. Ia lantas melayangkan tatapan dingin sembari berucap, "Termasuk masalah yang disebabkan oleh keluargamu sendiri, Wira? Kemana perginya kakakmu si Wirya itu? Kenapa dia membiarkan Latri menderita?!"

"Sudah, Kak. Sabarlah," ujar Adisti berupaya menenangkan sang kakak yang tersulut emosi. Sementara, bayi perempuan dalam gendongannya tampak tetap terlelap dengan nyaman dan nyenyak.

"Biar saya yang akan mengurus masalah ini, Kak Arsa. Saya tahu apa yang harus dilakukan bersama Kak Latri," jawab Wira serius.

"Benar, Arsa. Aku akan selesaikan masalah ini dibantu Wira. Aku tidak mau merepotkanmu," tambah Latri seraya mengulum senyum tipis pada mantan suaminya.

================================


Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status