Wirya sudah mencoba menghubungi adik laki-lakinya beberapa kali lewat sambungan telepon, menanyakan perihal kontak salah satu rekan bisnis perusahaan. Akan tetapi, Wira tidak sekalipun menjawab.
Jadi, Wirya pun memutuskan untuk mendatangi kediaman adiknya itu. Beruntung, si pemilik rumah sedang tak ada acara keluar di hari kerja yang terbilang begitu padat sebagai pembisnis muda.
Dan hampir tiga bulan belakangan, Wirya tidak suka dengan kinerja Wira di kantor yang kerap bolos dan bahkan tak datang bekerja seenaknya. Bukan semata-mata berpatokan pada masalah tanggung jawab pekerjaan.
Wirya sedikit merasa jika terjadi perubahan dengan sikap adiknya. Ia menaruh curiga, namun tidak segera meminta penjelasan. Terlebih lagi, mereka memiliki riwayat hubungan yang tak terlalu akrab. Meski, mereka adalah saudara kandung.
"Kenapa lo nggak kerja hari ini, Wir? Apa jabatan lo mau gue turunkan?"
Wira memasang ekspresi datar saat menerima ucapan yang terkesan mengancam dari kakaknya. Ia tidak merasa takut atau terganggu, tetapi sedang malas menanggapi hal yang sama. Tak hanya sekali, namun sudah berulang kali.
"Wira?"
"Besok gue mulai ngantor dan kerja. Kemarin gue baru aja datang dari Singapura. Masih capek," sahut Wira pada akhirnya. Jika ia tak menjawab, maka sang kakak tak akan puas.
"Buat apa lo ke Singapura? Setahu gue, perusahaan nggak punya jadwal perjalanan bisnis dengan mitra di sana bulan ini."
"Ada urusan pribadi." Wira lantas membalas singkat.
"Urusan pribadi apa?" Wirya lantas bertanya karena tiba-tiba saja ingin tahu.
"Sejak kapan lo tertarik bahas urusan pribadi gue, Kak?" Wira seolah-olah tak menanggapi dengan positif.
Sementara itu, Wirya memilih untuk diam. Tidak melanjutkan topik yang baru mereka bincangkan. Tak berniat memperdebatkan hal tidak penting. Kehidupannya sendiri sudah cukup rumit saat ini. Masalah rumah tangga belum juga mampu diselesaikannya.
"Gimana kabar kakak ipar dan calon keponakan gue?"
Wirya menggeleng pelan. Tatapannya terlihat sayu. "Gue belum tahu Latri dimana. Ibu juga bilang nggak tahu apa-apa."
"Lo mau menyerah, Kak?" Wira pun memancing dengan pertanyaannya.
"Gue nggak mungkin akan nyerah sebelum benar-benar mastiin dimana Latri dan calon anak gue berada."
Tanpa Wirya ketahui, sang adik lalu tersenyum penuh arti selepas dirinya selesai dengan kata-kata sarat akan keyakinan tinggi. Harapan besar juga terselip di dalamnya. Sementara itu, atensi Wirya cukup tersita ke layar ponsel Wira yang sedang menyala dan Terdapat gambar bayi perempuan.
"Anak siapa yang lo jadiin sebagai wallpaper, Wir? Bukan darah daging lo dari pacar 'kan?"
Wira tertawa pelan. Tak seharusnya ia menertawakan pertanyaan konyol dari sang kakak. Tapi, ia juga tidak dapat menahannya. "Gue bakalan mikir panjang kalau mau punya anak sebelum menikah."
"Lo mau nggak gue kenalin sama bayi cantik itu dan ibunya, Kak?"
"Apa gue kenal mereka?" tanya Wirya balik. Mendadak, dirinya pun diselimuti rasa penasaran.
Sementara, Wira menatap sang kakak begitu serius. "Tentu saja. Kalau gue bilang bayi itu adalah anak lo dan Kak Latri. Apa lo akan dapat percaya, Kak?"
Keterkejutan tak mampu Wirya sembunyikan. "Lo... Lo tahu dimana Latri dan anak gue berada?"
"Anak gue udah lahir? Dia cewek? Kapan, Wir? Kenapa lo nggak bilang sama gue?"
Wira masih menatap cukup lekat sang kakak. Jika sudah melihat sorot kefrustrasian di mata kakaknya, Wira tak akan pernah tega. "Ceritanya panjang. Tapi, gue akan jawab satu-satu."
"Lo bisa jelasin nanti. Sekarang, gue mau ketemu Latri dan anak gue."
"Gue bukannya nggak mau ngajak lo ketemu Kak Latri. Tapi, Kak Latri pesan ke gue. Kalau dia belum bisa ketemu sama lo sampai beberapa hari kedepan."
================================
"Siapa namanya?" tanya Arsa guna mencoba memulai obrolan ringan bersama Latri. Ia juga merasa cukup penasaran akan nama sosok mungil yang kini sedang terlelap damai dalam gendongan mantan istrinya.
"Laksmi Pudja Devi, Sa," balas Latri cepat. Perhatian wanita itu teralihkan sejenak dari putri kecilnya dan lantas memandang ke arah Arsa yang duduk di salah satu single sofa, tepat di sisi kanannya.
"Nama yang bagus dan cantik. Aku akan memanggil anak kamu dengan nama Laksmi saja. Boleh, Latri?"
"Iya, boleh-boleh saja, Sa."
Arsa mengembangkan senyumannya di bibir secara tulus. "Apa aku boleh menggendong Laksmi sebentar?"
Latri menganggukkan kepala kecil, mengiyakan saja permintaan mantan suaminya. Ia kemudian bersiap-siap guna memindahkan tubuh kecil sang putri untuk diserahkan kepada Arsa. Latri pun lalu mengulum senyuman simpul saat melihat kegugupan pria itu menggendong putrinya.
"Rileks aja, Sa. Laksmi nggak akan bangun."
"Aku agak gugup, Latri. Ini pertama kali gendong bayi yang usianya tidak genap tiga bulan," ujar Arsa seraya mencoba meraih ketenangan kembali dalam menggendong tubuh mungil Laksmi. Sementara, putri kecil dari mantan istrinya itu masih terlihat terlelap dengan damai dan nyenyak.
"Aku pikir Laksmi adalah anakku."
Kali ini, senyum Latri tidak mampu ditunjukkan selebar tadi. Dirinya kurang merasa nyaman akibat ucapan dari sang mantan suami. "Tidak, Sa. Latri adalah anakku dan Wirya."
"Aku baru tahu kalau lagi hamil empat bulan waktu pernikahan kami memasuki usia lima bulan," jelas Latri lebih lanjut supaya tak tercipta kesalahpahaman tentang status putri kecilnya.
"Maaf soal perkataanku barusan jika menyinggung," ujar Arsa meminta maaf sungguh-sungguh sebab merasa tidak enak serta sedikit bersalah.
"Nggak apa-apa, Sa." Latri mengukir senyuman tulusnya lagi. Ia tidak terlalu ingin mempermasalahkan hal tersebut.
Arsa menatap sepasang mata milik mantan istrinya dengan lekat. Sorot luka serta kerapuhan begitu terpancar sangat jelas di dalam sana. "Kamu harus segera sembuh dan bisa jalan kembali, Latri. Demi Laksmi sama mendiang anak kita."
"Aku yakin kamu dapat menjadi wanita yang lebih kuat dari dulu. Aku akan siap membantumu kapan saja, Latri." Arsa menambahkan. Ia selalu bersedia memberi bantuan dan juga dukungan penuh kepada mantan istrinya itu.
"Astungkara, Sa."
"Apa Wirya sudah mengetahui jika Laksmi lahir?" Arsa bertanya. Jujur saja, ia sangat berkeinginan untuk mendapatkan informasi mengenai masalah ini.
Seandainya Wirya tidak mendengar kabar kelahiran Laksmi, maka Arsa akan menemui pria itu sesegera mungkin. Menceritakan semuanya. Termasuk perbuatan jahat yang telah dilakukan Ibu Wirya.
Latri menggeleng pelan. "Aku be-"
"Gue sudah tahu."
Keterkejutan seketika menghinggapi diri Latri mendengar suara dari sang suami yang sangat familier baginya menggema di ruang tamu. Dan tak berapa lama-hanya berselang lima detik-kemunculan sosok Wirya di depan matanya membuat rasa kaget wanita itu semakin bertambah.
"Wi ...," Latri pun lantas menyebut nama suaminya dengan lirih. Ia benar-benar tak menyangka bahwa Wirya akan datang ke rumahnya begitu cepat.
"Kenapa kamu bisa ada di sini, Wi?"
Dan tatkala mata Wirya serta Latri saling bersinggungan untuk yang pertama kali, setelah sekian lama tak berjumpa, pria itu dilanda kesesakan yang menyakitkan bahkan rasa perih di bagian dada. Wirya tidak sanggup melihat kepedihan pada sepasang manik cokelat istrinya yang terus saja ia rindukan.
"Apa aku tidak boleh datang ke sini menemui kamu dan anak kita, Latri?"
Latri kehilangan kemampuan bicara ketika sosok sang suami yang kini tengah berada dalam posisi berlutut di hadapannya. "Bu...bukan seperti itu, Wi. Apa Wira yang memberi tahu kamu kalau aku sudah pulang dari luar negeri?"
Tanpa menjawab pertanyaan Latri terlebih dahulu, Wirya langsung mendekap erat istrinya. "Aku rindu kamu, Sayang. Aku merindukanmu."
================================ Arsa sudah pamit pulang sekitar 20 menit lalu, dan sejak saat itu pulalah keheningan mulai tercipta di antara Wirya serta Latri. Mereka berdua masih berada di ruang tamu, duduk saling berdampingan dalam satu sofa panjang yang sama. Tentu putri kecil mereka juga ikut di sana, tetap dapat terlelap damai dan nyaman dalam gendongan hangat sang ayah walau untuk yang pertama kali malam ini. Wirya pun tidak ingin memindahkan pandangan dari sosok mungil buah hatinya. Kehangatan memenuhi dada pria itu manakala memerhatikan mata dan hidung sang putri yang sangat mirip dengannya. Wirya merasa bersyukur serta bahagia akan pertemuan yang telah memisahkan mereka hampir tujuh bulan lamanya. Tidak mampu dipungkiri juga bahwa sekelumit penyesalan membelenggu Wirya. Terutama tentang dirinya yang tak mampu menemani dan ada di sisi sang istri melewati masa-masa kehamilan. Peranan sebagai seorang suami gagal. "Aku minta maaf, Latri
Semenjak semalam hingga dini hari, Wirya lebih banyak terjaga. Pria itu cenderung tidak dapat tidur dengan nyenyak. Bukan karena beban pikiran yang mengganggunya. Melainkan oleh sosok mungil sang putri. Ia seakan tak bisa lama-lama memejamkan mata atau terlelap, manakala Laksmi yang baru berusia 50 hari itu selalu berada dekat di sisinya. Wirya tidak pernah merasakan lelah ketika harus menggendong putrinya itu dalam durasi waktu lama, misal seperti malam tadi. Dimana, Laksmi rewel serta sedikit merepotkan sang istri. Wirya pun berupaya semaksimal mungkin membantu istrinya untuk menenangkan putri semata wayang mereka. Dan ia mempersilakan Latri beristirahat, sementara dirinya sabar menemani Laksmi yang sedang ingin begadang. "Belum mengantuk, Nak?" Kuluman senyuman bahagia di bibir Wirya belum memudar. Tatapan pria itu juga senantiasa masih tertuju pada wajah cantik putri kecilnya. Terdapat tarikan magnet yang seolah mem
Cuaca pagi ini mendung, cahaya dari matahari pun tidak sepenuhnya bisa menyinari bumi seperti kemarin. Air hujan yang deras juga belum turun membasahi tanah, hanya rintik-rintik ringan. Namun, semilir angin cukup kencang berembus lalu menciptakan nuansa dingin yang dapat menusuk kulit. Dan untuk menjaga kehangatan bagi putri mereka, Latri membalut tubuh Laksmi dengan selimut tebal serta memberi dekapan lebih erat tatkala putri mereka itu terlelap nyenyak dalam gendongannya sejak 10 menit lalu. Latri berharap jika perubahan cuaca tidak berdampak untuk kesehatan Laksmi yang belum mempunyai daya tahan dan sistem kekebalan tinggi. Ia pun tak lupa berdoa disetiap waktu supaya putri kecil mereka senantiasa kuat. Kemudian, senyuman Latri dengan segera dilebarkan karena melihat buah hatinya tiba-tiba saja terbangun. Tak terdengar adanya rengekan. Bayi perempuan itu malah memandangi ibunya lekat dan sorot keluguan yang terpancar jelas. "Laksmi gimana boboknya?
Latri bukannya merasa senang untuk mengambil tidak acuh atas keributan yang terjadi di rumahnya pagi ini. Ia hanya tak berkeinginan menambah runcingan masalah menjadi rumit. Terlebih, orangtua Wirya belum bisa menerimanya sebagai menantu dan menaruh rasa benci yang sangat. Mengenai keputusan dibuat oleh sang suami, Latri sungguh tidak berpikir jika Wirya akan mengundurkan diri dari perusahaan dalam hitungan hari saja. Latri bahkan tak tahu-menahu. Semua diluar prediksinya. Andai ia tidak meminta pada Wirya. Apakah masalah seperti ini akan jauh dari kehidupan mereka? Latri terus bertanya-tanya di dalam hati. Dan, berbagai macam jawaban saling bersahutan di kepala sampai menimbulkan kepeningan yang kian menjadi. Rasa pusing tidak mampu dihindari. "Laksmi sudah tenang?" Tatkala suara berat milik suaminya menyapa gendang telinga, yang bisa dipamerkan Latri yakni senyuman tipis di bibir. Dadanya terasa cukup sesak melihat sorot redup pada kedua mata Wirya.
Sama seperti kebanyakan kepala rumah tangga yang lain, Wirya pun mesti cepat pergi ke kantor karena banyak pekerjaan tengah menumpuk dan harus segera pula diselesaikan. Namun, keberangkatannya tertunda disebabkan aksi putri kecilnya yang tak mau turun dari gendongan sejak 10 menit lalu. Laksmi memerlihatkan sikap manja ke sang ayah karena jarang bisa habiskan waktu bermain bersama di rumah, sibuk dengan pekerjaan yang padat. Jadi, batita itu bertingkah banyak guna mencari perhatian lebih dari sang ayah jika ada kesempatan, misalkan sekarang ini. "Papa ...," Laksmi bergumam kecil, lalu menaruh kepalanya dengan rasa nyaman yang besar di bahu kiri sang ayah. "Papa...Papaa...," ulang batita itu dalam nada lucu. "Laksmi sama Mama sini, Nak. Papa mau ke kantor." Wirya cepat mengulas senyum tipis, kala istrinya yang duduk di tepian tempat tidur mengeluarkan beberapa kata gu
"Mama...Mama...," Laksmi antusias memanggil-manggil sembari terus memandangi wajah cantik ibunya yang masih tertidur, sudah dimulai batita perempuan itu sejak beberapa menit lalu.Dan, kala tak mendapat tanggapan sama sekali. Laksmi lantas memanyun-manyunkan bibir, menjadi tanda jika batita itu tengah sedikit merasa sebal.Laksmi ingin melanjutkan aksi agar ibunya segera bangun dan menjawab panggilannya. Batita itu lalu menaruh tangan kanannya yang kecil di atas pipi kiri sang ibu.Sorot lugu pada sepasang mata hitam Laksmi dengan melekat jelas. Walau, kejahilan sekarang ini sedang coba dilakukan batita perempuan itu pada ibunya."Mamaa ...," Batita perempuan itu pun sedikit meninggikan suara, kembali memanggil sang ibu yang berbaring lelap di samping kirinya.Tak ada balasan diperoleh batita itu."Laksmi udah bangun, Nak?"Menangkap pertanyaan yang ayahnya lontarkan dalam nada begitu pelan, Laksmi secepatnya coba mengalihkan perhatian serta
"Pemeriksaan hari ini sudah selesai. Calon bayi Bu Latri tidak mengalami masalah. Sejauh ini masih tumbuh normal.""Makasih, Dokter Fifi," balas Latri sopan. Senyum wanita itu mengembang cukup lebar di wajahnya.Latri tentu bersyukur serta merasa senang akan kabar baik yang baru saja diterima. Wanita itu pun juga sempat menyaksikan mimik wajah kelegaan suaminya. Entah kenapa, ekspresi Wirya yang demikian membuat dirinya ingin tersenyum lebih lebar lagi."Iya, Bu Latri. Sama-sama. Kalau begitu saya tinggal dulu menemui Dokter Hani. Bapak dan Ibu silakan tunggu di sini sebentar. Saya akan segera kembali.""Baik, Dokter Fifi." Latri menjawab segera. Tidak lupa menganggukkan kepalanya dengan gerakan yang sopan.Hanya sunggingan senyuman ramah dan juga bersahabat yang Dokter Fifi tunjukkan sebagai balasan, sebelum berjalan guna melenggang pergi dari ruang periksa. Tinggalkan pasangan suami-istri yang butuh saling berbicara.Kemudian, kekagetan me
Semula, Laksmi sedang asyik menonton kartun kesukaannya yang sedang terputar di layar televisi seraya mengemil biskuit. Akan tetapi kemudian, batita itu merasa sedikit kaget karena tiba-tiba tubuhnya yang mungil diangkat sang ayah guna digendong."Papa ...," Laksmi mengeluarkan gumaman dalan nada lucu dan raut keceriaan menghias wajah imut batita itu."Nontonnya dilanjutkan besok, ya, Nak? Laksmi sekarang bobok sama Mama. Oke, Sayang?"Laksmi segera menganggukkan kepala semangat dan mengerti akan perkataan yang dilontarkan oleh sang ayah. Senyuman menggemaskan batita itu masih dipamerkan, saat memandangi ayahnya dalam tatapan yang polos, juga lugu."Sini, Sayang."Sepasang mata dengan iris warna hitam Laksmi lantas terarah ke asal suara ibunya terdengar. Lebaran senyum lucu batita perempuan itu semakin bertambah, tatkala menangkap botol susunya berada di tangan sang ibu. Laksmi terlihat kian girang dan senang kala sudah turun dari gendongan ayahnya