================================
Arsa sudah pamit pulang sekitar 20 menit lalu, dan sejak saat itu pulalah keheningan mulai tercipta di antara Wirya serta Latri. Mereka berdua masih berada di ruang tamu, duduk saling berdampingan dalam satu sofa panjang yang sama.
Tentu putri kecil mereka juga ikut di sana, tetap dapat terlelap damai dan nyaman dalam gendongan hangat sang ayah walau untuk yang pertama kali malam ini. Wirya pun tidak ingin memindahkan pandangan dari sosok mungil buah hatinya.
Kehangatan memenuhi dada pria itu manakala memerhatikan mata dan hidung sang putri yang sangat mirip dengannya. Wirya merasa bersyukur serta bahagia akan pertemuan yang telah memisahkan mereka hampir tujuh bulan lamanya.
Tidak mampu dipungkiri juga bahwa sekelumit penyesalan membelenggu Wirya. Terutama tentang dirinya yang tak mampu menemani dan ada di sisi sang istri melewati masa-masa kehamilan. Peranan sebagai seorang suami gagal.
"Aku minta maaf, Latri," ujar Wirya lirih sembari menatap lekat istrinya. Namun, Latri tak menyadari. Sebab, wanita itu sedang mengalihkan atensi ke sudut lain ruangan.
"Kamu tidak bersalah, Wi. Mungkin ini sudah menjadi jalan yang harus kita lalui."
Tatapan lekat terus mengarah pada wajah istrinya yang kini kian tampak tirus. "Aku sudah selalu mencoba menghubungi kamu setiap hari, Latri. Tapi, sama sekali tidak mendapat balasan. Apa kamu menghindariku dengan sengaja?"
"Kamu bahkan tidak mengatakan apa pun mengenai rencana terapi di Amerika atau kehamilanmu padaku? Apa arti sebenarnya diriku bagimu setelah kita menikah?" Wirya terus meluncurkan tambahan pertanyaan.
"Kenapa kamu menyembunyikan hal penting seperti ini dariku, Latri? Apa kamu tahu kalau aku frustrasi dengan semua ini?"
Dan sedetik setelah suaminya selesai berbicara, maka Latri lalu melakukan kontak mata. Sorot kekecewaan pada sepasang manik cokelat milik Wirya yang redup tak dapat Latri hindari. Ia seakan mampu turut merasakan. Latri belum bisa berbuat apa-apa. Ia tidak ingin mengutarakan kejujuran saat ini. Terlalu riskan bagi putrinya.
"Menurutmu jalan keluar apa yang tertepat untuk menyelesaikan semua masalah kita, Wi?"
Kerutan bermunculan di dahi Wirya. Ia tak dapat memahami akan maksud dari pertanyaan Latri. Atau dirinya sedang kehilangan kemampuan berpikir secara cepat karena peristiwa malam ini. Sungguh, Wirya begitu penasaran dengan makna dibalik apa yang istrinya tanyakan.
"Aku tidak mengerti, Latri." Pria itu mengecilkan suara ketika berbicara agar tidak membangunkan putri kecilnya.
"Apa menurutmu kita masih tetap bisa menjadi orangtua untuk Laksmi, kalau kita ti-"
"Kamu memberi nama anak kita ini Laksmi ya, Latri?" Wirya bertanya dengan cukup antusias. Senyum pria itu mengembang. Terlihat bahagia melihat wajah polos putrinya tatkala tertidur.
"Ya, Wi. Nama lengkap anak kita adalah Putu Laksmi Pudja Devi. Apa kamu ingin menambahkan?" Latri menanyakan pendapat suaminya.
Wirya lalu menggeleng pelan. "Tidak. Nama yang kamu pilih sudah indah, Latri. Aku menyukainya."
Pria itu kembali menatap lekat wajah cantik sang istri. "Lanjutkan ucapan kamu barusan, Sayang. Maaf aku tadi menyela."
Latri pun memilih membuang napas panjang sebelum meneruskan kata-kata yang hendak dikeluarkannya. Ia harus yakin, tidak boleh ragu. "Aku rasa kita tidak bisa mempertahankan status sebagai suami-istri lagi, Wi."
"Tapi, kita masih tetap bisa menjadi orangtua bagi Laksmi," lanjut Latri dalam nada yang mantap.
Dan keterkejutan tidak mampu Wirya sembunyikan. Tubuh pria itu tampak langsung menegang. Sorot matanya sedikit lebih menajam. "Kamu ingin kita bercerai, Latri?"
"Ya, Wi. Sejak awal Pak Indra dan Bu Ratna tidak pernah sudi merestui pernikahan ini. Mungkin kita harus bercerai supaya mereka tidak benci padaku lagi."
Giliran Latri yang memandang lekat kedua mata suaminya. "Aku tidak mau mereka menyakiti Laksmi nanti. Apalagi, orangtua kamu ingin cucu laki-laki bukan perempuan. Laksmi tidak pernah Ayah dan Ibu kamu harapkan kehadirannya, Wi."
"Kita tidak akan bercerai, Latri. Aku tidak ingin berpisah dengan kalian. Aku tidak sanggup," putus Wirya.
"Jika kamu memang tidak ingin kita bercerai. Apa kamu bisa menerima dan menyanggupi satu syarat dariku, Wi?" tanya Latri dengan nada tegas. Negoisasi dikeluarkan. Semua demi putri mereka. Wanita itu berniat memberi arti sebuah kehilangan bagi kedua mertuanya yang tak memiliki hati nurani.
"Apa yang kamu inginkan, Latri? Aku akan melakukannya."
"Tinggalkan perusahaan orangtua kamu, Wi. Kitaberdua akan memulai bisnis baru tanpa melibatkan campur tangan Ayah dan Ibu.Kita harus bisa membuktikan jika bisa mandiri.
Semenjak semalam hingga dini hari, Wirya lebih banyak terjaga. Pria itu cenderung tidak dapat tidur dengan nyenyak. Bukan karena beban pikiran yang mengganggunya. Melainkan oleh sosok mungil sang putri. Ia seakan tak bisa lama-lama memejamkan mata atau terlelap, manakala Laksmi yang baru berusia 50 hari itu selalu berada dekat di sisinya. Wirya tidak pernah merasakan lelah ketika harus menggendong putrinya itu dalam durasi waktu lama, misal seperti malam tadi. Dimana, Laksmi rewel serta sedikit merepotkan sang istri. Wirya pun berupaya semaksimal mungkin membantu istrinya untuk menenangkan putri semata wayang mereka. Dan ia mempersilakan Latri beristirahat, sementara dirinya sabar menemani Laksmi yang sedang ingin begadang. "Belum mengantuk, Nak?" Kuluman senyuman bahagia di bibir Wirya belum memudar. Tatapan pria itu juga senantiasa masih tertuju pada wajah cantik putri kecilnya. Terdapat tarikan magnet yang seolah mem
Cuaca pagi ini mendung, cahaya dari matahari pun tidak sepenuhnya bisa menyinari bumi seperti kemarin. Air hujan yang deras juga belum turun membasahi tanah, hanya rintik-rintik ringan. Namun, semilir angin cukup kencang berembus lalu menciptakan nuansa dingin yang dapat menusuk kulit. Dan untuk menjaga kehangatan bagi putri mereka, Latri membalut tubuh Laksmi dengan selimut tebal serta memberi dekapan lebih erat tatkala putri mereka itu terlelap nyenyak dalam gendongannya sejak 10 menit lalu. Latri berharap jika perubahan cuaca tidak berdampak untuk kesehatan Laksmi yang belum mempunyai daya tahan dan sistem kekebalan tinggi. Ia pun tak lupa berdoa disetiap waktu supaya putri kecil mereka senantiasa kuat. Kemudian, senyuman Latri dengan segera dilebarkan karena melihat buah hatinya tiba-tiba saja terbangun. Tak terdengar adanya rengekan. Bayi perempuan itu malah memandangi ibunya lekat dan sorot keluguan yang terpancar jelas. "Laksmi gimana boboknya?
Latri bukannya merasa senang untuk mengambil tidak acuh atas keributan yang terjadi di rumahnya pagi ini. Ia hanya tak berkeinginan menambah runcingan masalah menjadi rumit. Terlebih, orangtua Wirya belum bisa menerimanya sebagai menantu dan menaruh rasa benci yang sangat. Mengenai keputusan dibuat oleh sang suami, Latri sungguh tidak berpikir jika Wirya akan mengundurkan diri dari perusahaan dalam hitungan hari saja. Latri bahkan tak tahu-menahu. Semua diluar prediksinya. Andai ia tidak meminta pada Wirya. Apakah masalah seperti ini akan jauh dari kehidupan mereka? Latri terus bertanya-tanya di dalam hati. Dan, berbagai macam jawaban saling bersahutan di kepala sampai menimbulkan kepeningan yang kian menjadi. Rasa pusing tidak mampu dihindari. "Laksmi sudah tenang?" Tatkala suara berat milik suaminya menyapa gendang telinga, yang bisa dipamerkan Latri yakni senyuman tipis di bibir. Dadanya terasa cukup sesak melihat sorot redup pada kedua mata Wirya.
Sama seperti kebanyakan kepala rumah tangga yang lain, Wirya pun mesti cepat pergi ke kantor karena banyak pekerjaan tengah menumpuk dan harus segera pula diselesaikan. Namun, keberangkatannya tertunda disebabkan aksi putri kecilnya yang tak mau turun dari gendongan sejak 10 menit lalu. Laksmi memerlihatkan sikap manja ke sang ayah karena jarang bisa habiskan waktu bermain bersama di rumah, sibuk dengan pekerjaan yang padat. Jadi, batita itu bertingkah banyak guna mencari perhatian lebih dari sang ayah jika ada kesempatan, misalkan sekarang ini. "Papa ...," Laksmi bergumam kecil, lalu menaruh kepalanya dengan rasa nyaman yang besar di bahu kiri sang ayah. "Papa...Papaa...," ulang batita itu dalam nada lucu. "Laksmi sama Mama sini, Nak. Papa mau ke kantor." Wirya cepat mengulas senyum tipis, kala istrinya yang duduk di tepian tempat tidur mengeluarkan beberapa kata gu
"Mama...Mama...," Laksmi antusias memanggil-manggil sembari terus memandangi wajah cantik ibunya yang masih tertidur, sudah dimulai batita perempuan itu sejak beberapa menit lalu.Dan, kala tak mendapat tanggapan sama sekali. Laksmi lantas memanyun-manyunkan bibir, menjadi tanda jika batita itu tengah sedikit merasa sebal.Laksmi ingin melanjutkan aksi agar ibunya segera bangun dan menjawab panggilannya. Batita itu lalu menaruh tangan kanannya yang kecil di atas pipi kiri sang ibu.Sorot lugu pada sepasang mata hitam Laksmi dengan melekat jelas. Walau, kejahilan sekarang ini sedang coba dilakukan batita perempuan itu pada ibunya."Mamaa ...," Batita perempuan itu pun sedikit meninggikan suara, kembali memanggil sang ibu yang berbaring lelap di samping kirinya.Tak ada balasan diperoleh batita itu."Laksmi udah bangun, Nak?"Menangkap pertanyaan yang ayahnya lontarkan dalam nada begitu pelan, Laksmi secepatnya coba mengalihkan perhatian serta
"Pemeriksaan hari ini sudah selesai. Calon bayi Bu Latri tidak mengalami masalah. Sejauh ini masih tumbuh normal.""Makasih, Dokter Fifi," balas Latri sopan. Senyum wanita itu mengembang cukup lebar di wajahnya.Latri tentu bersyukur serta merasa senang akan kabar baik yang baru saja diterima. Wanita itu pun juga sempat menyaksikan mimik wajah kelegaan suaminya. Entah kenapa, ekspresi Wirya yang demikian membuat dirinya ingin tersenyum lebih lebar lagi."Iya, Bu Latri. Sama-sama. Kalau begitu saya tinggal dulu menemui Dokter Hani. Bapak dan Ibu silakan tunggu di sini sebentar. Saya akan segera kembali.""Baik, Dokter Fifi." Latri menjawab segera. Tidak lupa menganggukkan kepalanya dengan gerakan yang sopan.Hanya sunggingan senyuman ramah dan juga bersahabat yang Dokter Fifi tunjukkan sebagai balasan, sebelum berjalan guna melenggang pergi dari ruang periksa. Tinggalkan pasangan suami-istri yang butuh saling berbicara.Kemudian, kekagetan me
Semula, Laksmi sedang asyik menonton kartun kesukaannya yang sedang terputar di layar televisi seraya mengemil biskuit. Akan tetapi kemudian, batita itu merasa sedikit kaget karena tiba-tiba tubuhnya yang mungil diangkat sang ayah guna digendong."Papa ...," Laksmi mengeluarkan gumaman dalan nada lucu dan raut keceriaan menghias wajah imut batita itu."Nontonnya dilanjutkan besok, ya, Nak? Laksmi sekarang bobok sama Mama. Oke, Sayang?"Laksmi segera menganggukkan kepala semangat dan mengerti akan perkataan yang dilontarkan oleh sang ayah. Senyuman menggemaskan batita itu masih dipamerkan, saat memandangi ayahnya dalam tatapan yang polos, juga lugu."Sini, Sayang."Sepasang mata dengan iris warna hitam Laksmi lantas terarah ke asal suara ibunya terdengar. Lebaran senyum lucu batita perempuan itu semakin bertambah, tatkala menangkap botol susunya berada di tangan sang ibu. Laksmi terlihat kian girang dan senang kala sudah turun dari gendongan ayahnya
Sudah hampir satu jam lebih, Wirya berdiam diri di dalam mobil, tidak sedikit pun berniat keluar. Bahkan, tak ada keinginan darinya bergabung di acara makan, malam ini. Wirya hendak pulang. Namun, tidak mungkin baginya meninggalkan Laksmi. Dan, sangat enggan juga menyusul ke restoran. Terlebih, sang ibu ada di sana.Wirya sama sekali tak menduga jika adik bungsunya akan memiliki rencana ataupun mengadakan pertemuan yang paling ia dihindari sekarang ini.Sebenarnya, Wirya tak mau bersikap durhaka kepada ibu atau ayahnya. Dan, tatkala pria itu teringat kembali akan semua perlakuan buruk ibunya.Amarah Wirya pasti tak mudah dibendung. Daripada mengulang perdebatan sengit, lebih baik dirinya dan sang ibu tak saling bertatap muka sementara waktu. Jalan terbaik menurutnya."Bli, kenapa belum masuk juga? Aku sudah pesankan steak dan pasta favorit Kakak di dalam ruang VIP."Pandangan Wirya yang awalnya hanya lurus terarah ke depan, langsung dipindahkan. Me