Share

9 - Tekad Mempertahankan Pernikahan

================================

Arsa sudah pamit pulang sekitar 20 menit lalu, dan sejak saat itu pulalah keheningan mulai tercipta di antara Wirya serta Latri. Mereka berdua masih berada di ruang tamu, duduk saling berdampingan dalam satu sofa panjang yang sama.

Tentu putri kecil mereka juga ikut di sana, tetap dapat terlelap damai dan nyaman dalam gendongan hangat sang ayah walau untuk yang pertama kali malam ini. Wirya pun tidak ingin memindahkan pandangan dari sosok mungil buah hatinya.

Kehangatan memenuhi dada pria itu manakala memerhatikan mata dan hidung sang putri yang sangat mirip dengannya. Wirya merasa bersyukur serta bahagia akan pertemuan yang telah memisahkan mereka hampir tujuh bulan lamanya.

Tidak mampu dipungkiri juga bahwa sekelumit penyesalan membelenggu Wirya. Terutama tentang dirinya yang tak mampu menemani dan ada di sisi sang istri melewati masa-masa kehamilan. Peranan sebagai seorang suami gagal.

"Aku minta maaf, Latri," ujar Wirya lirih sembari menatap lekat istrinya. Namun, Latri tak menyadari. Sebab, wanita itu sedang mengalihkan atensi ke sudut lain ruangan.

"Kamu tidak bersalah, Wi. Mungkin ini sudah menjadi jalan yang harus kita lalui."

Tatapan lekat terus mengarah pada wajah istrinya yang kini kian tampak tirus. "Aku sudah selalu mencoba menghubungi kamu setiap hari, Latri. Tapi, sama sekali tidak mendapat balasan. Apa kamu menghindariku dengan sengaja?"

"Kamu bahkan tidak mengatakan apa pun mengenai rencana terapi di Amerika atau kehamilanmu padaku? Apa arti sebenarnya diriku bagimu setelah kita menikah?" Wirya terus meluncurkan tambahan pertanyaan.

"Kenapa kamu menyembunyikan hal penting seperti ini dariku, Latri? Apa kamu tahu kalau aku frustrasi dengan semua ini?"

Dan sedetik setelah suaminya selesai berbicara, maka Latri lalu melakukan kontak mata. Sorot kekecewaan pada sepasang manik cokelat milik Wirya yang redup tak dapat Latri hindari. Ia seakan mampu turut merasakan. Latri belum bisa berbuat apa-apa. Ia tidak ingin mengutarakan kejujuran saat ini. Terlalu riskan bagi putrinya.

"Menurutmu jalan keluar apa yang tertepat untuk menyelesaikan semua masalah kita, Wi?"

Kerutan bermunculan di dahi Wirya. Ia tak dapat memahami akan maksud dari pertanyaan Latri. Atau dirinya sedang kehilangan kemampuan berpikir secara cepat karena peristiwa malam ini. Sungguh, Wirya begitu penasaran dengan makna dibalik apa yang istrinya tanyakan.

"Aku tidak mengerti, Latri." Pria itu mengecilkan suara ketika berbicara agar tidak membangunkan putri kecilnya.

"Apa menurutmu kita masih tetap bisa menjadi orangtua untuk Laksmi, kalau kita ti-"

"Kamu memberi nama anak kita ini Laksmi ya, Latri?" Wirya bertanya dengan cukup antusias. Senyum pria itu mengembang. Terlihat bahagia melihat wajah polos putrinya tatkala tertidur.

"Ya, Wi. Nama lengkap anak kita adalah Putu Laksmi Pudja Devi. Apa kamu ingin menambahkan?" Latri menanyakan pendapat suaminya.

Wirya lalu menggeleng pelan. "Tidak. Nama yang kamu pilih sudah indah, Latri. Aku menyukainya."

Pria itu kembali menatap lekat wajah cantik sang istri. "Lanjutkan ucapan kamu barusan, Sayang. Maaf aku tadi menyela."

Latri pun memilih membuang napas panjang sebelum meneruskan kata-kata yang hendak dikeluarkannya. Ia harus yakin, tidak boleh ragu. "Aku rasa kita tidak bisa mempertahankan status sebagai suami-istri lagi, Wi."

"Tapi, kita masih tetap bisa menjadi orangtua bagi Laksmi," lanjut Latri dalam nada yang mantap.

Dan keterkejutan tidak mampu Wirya sembunyikan. Tubuh pria itu tampak langsung menegang. Sorot matanya sedikit lebih menajam. "Kamu ingin kita bercerai, Latri?"

"Ya, Wi. Sejak awal Pak Indra dan Bu Ratna tidak pernah sudi merestui pernikahan ini. Mungkin kita harus bercerai supaya mereka tidak benci padaku lagi."

Giliran Latri yang memandang lekat kedua mata suaminya. "Aku tidak mau mereka menyakiti Laksmi nanti. Apalagi, orangtua kamu ingin cucu laki-laki bukan perempuan. Laksmi tidak pernah Ayah dan Ibu kamu harapkan kehadirannya, Wi."

"Kita tidak akan bercerai, Latri. Aku tidak ingin berpisah dengan kalian. Aku tidak sanggup," putus Wirya.

"Jika kamu memang tidak ingin kita bercerai. Apa kamu bisa menerima dan menyanggupi satu syarat dariku, Wi?" tanya Latri dengan nada tegas. Negoisasi dikeluarkan. Semua demi putri mereka. Wanita itu berniat memberi arti sebuah kehilangan bagi kedua mertuanya yang tak memiliki hati nurani.

"Apa yang kamu inginkan, Latri? Aku akan melakukannya."

"Tinggalkan perusahaan orangtua kamu, Wi. Kitaberdua akan memulai bisnis baru tanpa melibatkan campur tangan Ayah dan Ibu.Kita harus bisa membuktikan jika bisa mandiri.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status