Share

Chapter 5

Ervin mengendarai mobilnya dengan cepat. Ia baru saja mendapat telpon dari Om Irman jika Rena pulang dalam keadaan kacau dan menangis. Bukannya Rena tadi di rumah? Bahkan Rena berjanji padanya untuk tak keluar rumah selagi dirinya diluar.

Apa Rena membohonginya? Jika benar, sungguh seberapa kecewanya hatinya saat ini.

Mobil yang Ervin kendarai akhirnya sampai di rumah Rena. Dengan cepat ia turun dan berlari ke dalam. Sesampainya di dalam, ia bisa melihat Rena terdiam terduduk bersimpung di lantai dengan Om Irman berdiri di hadapan Rena.

"Kamu bisa tidak diurus Rena? JANGAN DIAM!!!" Bentak Irman penuh emosi. Bahkan kali ini Mirna tak bisa meredakan amarah suaminya.

"Om..."

Suara Ervin yang muncul sedikit melegakan Mirna. "Om, Ervin..." Ervin langsung menatap tajam Rena, dan tatapan itu terlihat oleh Irman. Melihat kemarahan Ervin, Irman yakin jika di sini memang anaknya yang salah.

"Papa kecewa sama kamu Rena.." setelah meluapkan semua kekecewaannya pada sang anak, Irman berjalan kembali ke kamar, begitupun Mirna meninggalkan Ervin dan Reva berdua di ruang keluarga.

Ervin berjalan mendekat pada Rena, berdiri tepat di hadapan Rena, "Lo pembohong Rena. Mana janji lo tadi sama gue. Padahal gue hanya minta izin pergi sebentar, tapi apa ini? lo ucah bikin papi lo ikut kecewa sama gue.."ucap Ervin meluapkan kekecewaannya.

"Lo janji sama gue nggak bakal keluar. Lo janji sama gue lo nggak bakalan macam-macam. Tapi apa ini? lo justru bikin gue kecewa sama lo Rena.." Rena masih terdiam. Ia tak mau bicara saat ini. hatinya hancur, orang-orang menyalahkannya. Dunianya serasa mati. Ia tak percaya lagi dengan yang namanya perhatian. Semuanya jahat dan ia merasa benci dengan dirinya sendiri karena membuat orang tuanya dan juga Ervin kecewa padanya.

"Maaf.." ucap Rena pelan.

"Maaf? Lo bilang maaf? Setelah lo lakuin ini lo bilang maaf? APA SALAHNYA DI RUMAH RENA!!" teriak Evin di akhir ucapannya, bahkan teriakan Ervin terdengar sampai kamar orang tua Rena. Namun Irman tak terlalu merespon. Ia membiarkan Ervin menatar anaknya. Tak apa, karena kekecewaanya pada Rena sudah dalam.

"Pi.."

"Papi capek mi. Biarkan papi istirahat sebentar.." ucap Irman yang langsung berbaring dan memejamkan matanya.

Sementara di luar, Rena masih berusaha menahan air matanya. Sedangkan Ervin tak pernah berhenti berbicara untuk melampiaskan emosi pria itu.

"Apa setelah ini gue harus percaya sama lo Ren. Bahkan buat meyakini saja gue nggak bisa sekarang.." ucap Ervin. Ia memutuskan untuk keluar dari rumah Rena. Meninggalkan Rena sendirian.

Sunyi. Itulah yang Rena rasakan saat ini. hatinya, disekitarnya, pikirannya, semuanya sunyi. Dengan tertatih Rena berdiri dan berjalan menuju kamarnya. Saat ia sampai di kamarnya, kesunyian semakin ia rasakan. Seolah alam saat ini menertawakan kebodohannya. Rena tersandar pada pintu kamar yang baru saja ia tutup. Sembari menangis, ia meluruh terduduk. Ia membekap mulutnya sendiri agar isakan lirihnya tak terdengar siapapun.

Di kecewakan cinta, di tinggalkan semua. Bahkan ia pangling jika Ervin masih mau menemuinya. Ervin akan jijik padanya ia yakin itu.

Rena meraih ponsel yang ada di dalam tasnya, mencari kontak Gilang dan menekan tombol panggil, berharap mendengar suara Gilang mampu meredakan rasa sakitnya.

"Hai adikku tersayaaaang.." terdegar teriakan sapaan dari Gilang dari seberang sana. Namun bukannya tenang, Rena justru semakin terisak membuat Gilang terdiam dan mulai cemas.

"Rena? Kamu kenapa dek?" tanya Gilang dengan nada suara cemas.

Rena menggeleng, "Kak.. aku..."

"Renata?"

"Rena kangen Abang.." isaknya membuat Gilang di seberang sana lega. Pria itu terkekeh pelan.

"Oooo, Kangen toh. Kenapa pake nangis segala?"

Rena lagi-lagi menggeleng, "Nggak tahu. Denger suara abang jadi bikin Rena nangis. Mungkin saking kangennya sama abang.."

"Ciieeee.. adek abang so sweet bangett.." goda Gilang membuat Rena tersenyum.

"Rena serius abang.."

"ya udah kita ViCall ya.." panggilan pun mati dan beberapa detik kemudian panggilan video dari Gilang pun masuk. Dengan cepat Rena mengangkatnya,

"Waduh... itu matanya kenapa dek?"

Melihat wajah Gilang diikuti pertanyaan Gilang, membuat Rena semakin terisak, "Aku.. aku udah bikin papi kecewa bang.." Akhirnya Rena mau bercerita. Ia ingin membagi kesedihannya dengan sang kakak.

"Kecewa? Kecewa kenapa?"

"Semalam, Rena pergi ke klub malam karena Dinar mutusin Rena. Rena minum sampai nggak sadarkan diri, sampai papi minta Ervin buat cariin aku.." Rena menghentikan sebentar ucapannya. Sedangkan Gilang setia menanti kelanjutan cerita sang adik.

"Papa tahan kunci mobil Rena dan meminta Ervin buat jaga kemanapun Rena pergi. Tapi hari ini, Rena udah bikin papi, mami dan Ervin kecewa." Rena terisak membuat Gilang tertohok melihat isakan Rena. Baru kali ini ia melihat adiknya itu menangis sampai seperti itu.

"Lalu, hari ini apa yang terjadi?" tanya Gilang.

"Ervin tadi pamit sebentar dan minta aku untuk tak keluar rumah. Tapi aku melanggar. Aku keluar menemui Dinar dan mendapati cowok itu baru saja selesai tidur dengan pacar barunya, bahkan wanita itu masih belum mengenakan pakaian sedikitpun." Rena terisak kuat. Air matanya tak berhenti sedari tadi. "saat aku pulang, semua orang sudah kembali dan papi marah besar sama Rena, Ervin pun ikut kecewa.."

Suara helaan nafas terdengar dari balik sana. Gilang tak tahu harus berbuat apa. Jika ia ada di sana, ia pasti juga akan kecewa dengan Rena.

"Abang nggak tahu lagi harus ngapain sekarang. Bahkan abang bingung harus kasih saran apa ke kamu dek. Di sini posisinya kamu yang salah. Abang nggak mau membela kamu saat ini."

Rena mengangguk, "Rena tahu bang, Rena sadar Rena salah. Rena nggak minta abang bela Rena, tapi Rena hanya ingin berbagi cerita sama abang."

"Ya udah, kamu jangan nangis lagi. Kasihan matanya itu makin bengkak.."

Biarin abang. Biar buta sekalian. Dengan ini Rena akan tahu siapa yang tulus pada Rena dan siapa yang tidak. Ucap Rena dalam hatinya.

Ia merasa tak ada yang tulus padanya selama ini.

"Kamu istirahat ya. Abang harus siap-siap pergi kuliah." Ucap Gilang. Rena mengangguk lalu panggilan pun terputus.

Rena berdiri perlahan dan berjalan menuju ranjangnya, membaringkan tubuhnya yang lelah di atas ranjang lalu menarik selimut untuk menutupi seluruh tubuhnya.

Lelah menangis Rena pun tertidur.

*◊*◊*◊*◊*

Rena mengeliat. Ia terjaga dan mendapati kamarnya gelap.

"Haah. Sudah malam." Gumamnya. Gorden jendelanya masih terbuka, membuat cahaya bulan ikut masuk ke dalam dari kaca jendelanya.

Rena melirik jam dinding di kamarnya, sudah hampir pukul sembilan malam dan itu artinya, makan malam pun sudah selesai. Biasanya mami nya akan mencarinya ke kamar dan mengajak makan malam, tapi saat ini ia tak mendapati itu.

Rena merasakan perih pada ulu hatinya, perutnya terasa kosong. Rasa nyeri terasa begitu mengganggu.

Namun ia tak punya keinginan untuk turun ke bawah hanya untuk mengambil makanan. Rena melirik cemilan yang ia beli tadi pagi.

Ia meraih satu coklat dan mencoba mengganjal perutnya dengan coklat tersebut. Berharap akan tahan sampai esok pagi. Berharap rasa sakit ini akan hilang. Saat gigitan demi gigitan masuk ke dalam mulut Rena, tak terasa air mata gadis itu terjatuh. Rasa sakit begitu kentara di tubuhnya, hati, perut, dan kepalanya. Tiga titik yang membuatnya harus menangis untuk bertahan.

Setelah gigitan terakhir masuk, Rena kembali berbaring tanpa minum. Karena memang tak ada stok air minum di kamarnya. Bahkan saat coklat itu membuatnya tersedak, ia tetap terus bertahan di kamarnya. Rena kembali mencoba memejamkan mata berharap gelapnya malam ini membuatnya tertidur, namun ia salah, justru rasa perih diperutnya semakin membuat Rena terjaga. Bahkan sampai pagi menyapa, ia tak bisa memejamkan matanya. Wajahnya memucat, bibirnya tak cerah seperti biasanya, yang ada hanya warna putih pucat.

Tubuhnya panas, keringat dingin menghiasi keningnya bahkan tubuh Rena menggigil hebat. "Bang Gilang..." gumamnya menyebut nama Gilang.

Rena mencoba untuk bangun, rasa sakit di kepalanya menghantam kuat. Melepaskan rasa takutnya pada papinya, Rena mencoba keluar dari kamar dan meminta papinya untuk membawanya kerumah sakit.

Perjuangan yang cukup sulit dilakukan Rena, dan akhirnya gadis itu bisa sampai di ujung tangga. Secara perlahan Rena mencoba turun ke bawah. Namun rasa sakit ditubuh dan kepalanya membuat Rena menyerah. Gelap langsung menyapa dan setelahnya ia tak sadarkan diri, membuat tubuh lemah Rena berguling turun menghantam satu persatu anak tangga sampai ia terbaring di lantai bawah.

Darah segar mengalir dari kepala Rena. Bahkan Mirna yang tengah memasak langsung dibuat histeris melihat tubuh anaknya tergeletak dengan darah mengalir di kepala. Wanita itu seperti kehilangan separuh nyawanya, ia berteriak sekencang mungkin membuat Irman yang saat itu tengah berada di luar bersama Ervin langsung berlari ke dalam.

Sama seperti reaksi yang Mirna munculkan, Baik Irman maupun Ervin juga tak kalah kagetnya.

"Rena!" teriak Ervin. Dengan cepat pria itu menggendong tubuh Rena dan membawanya masuk ke dalam mobil Ervin.

Irman bahkan masih shock dengan apa yang terjadi pada anaknya, sampai teriakan Ervin membuyarkan keterkejutan Irman.

"Kita bawa Rena kerumah sakit Om." Ucap Ervin. Mirna langsung berlari ke dalam. Mematikan kompor gas dan segera berlari mengikuti Ervin ke luar. Irman langsung mengunci pintu dan langsung masuk ke dalam mobil Ervin.

Rena dibaringkan di belakang ditemani Mirna. Wanita itu tak berhenti menangis sedari tadi, bahkan Irman juga ikut menangis melihat kondisi anaknya. Ervin melirik dari kaca spionnya, bahkan ia bisa melihat tangan tante Mirna dipenuhi darah kepala Rena.

Ya Tuhan, lo kenapa Na..Ucap Ervin lirih.

Ervin melajukan mobilnya begitu kencang, ia bahkan tak pernah menghentikan klakson mobilnya dan berteriak ada darurat. Beruntung ada seorang pengendara yang sadar dengan Ervin yang butuh bantuan. Ia segera membantu Ervin membuka jalan agar bisa mudah menuju rumah sakit.

Sesampainya di rumah sakit, Ervin langsung menggendong Rena kembali dan berteriak pada perawat. Bantuanpun akhirnya datang, Rena sudah dibawa menuju ruang ICU. Karena Rena yang tak sadarkan diri dan darah segar yang tak kunjung berhenti.

Kecemasan orang tua Rena maupun Ervin semakin menjadi saat para perawat belarian keluar masuk ruang ICU. "Suster Ane, Dokter Ferdian meminta siapkan ruang operasi."

Mendengar teriakan salah satu suster, Ervin yang saat itu tengah duduk langsung berdiri dan menghampiri sang perawat tersebut.

"Suster, Rena kenapa sus?" tanya Ervin cemas.

"Pasien mengalami pendarahan hebat dikepalanya mas. Kami harus mengoperasi bagian kepalanya yang robek agar tak terus mengeluarkan darah."

"Rena Ya Tuhaaannn.." Mirna kembali histeris saat mendengar bagaimana kondisi anaknya. Irman langsung memeluk istrinya tersebut. Jujur ia sendiri juga panik dan cemas. Otaknya langsung mengingat kejadian kemaren, dimana ya memarahi Rena habis-habisan.

Dibalik rasa menyesal Irman, Ervin jauh memiliki rasa bersalah. Ia merasa tak becus menjaga gadis itu.

Maafin gue Na, maafin gue..lirihnya membatin.

*◊*◊*◊*◊*

Langit sudah berubah gelap. Namun Rena masih belum sadarkan diri. Walaupun sudah dipindahkan ke ruang rawat.

Malam itu, Ervin menawarkan diri menjaga Rena karena Irman dan Mirna terlihat sangat lelah. Suara ventilator menjadi melodi yang menyakitkan telinga Ervin. Ia meraih jemari Rena, menggenggamnya lembut dan mengusap punggung tangan Rena dengan tangan kirinya.

"Na, nggak capek lo tidur terus.. bangun Na!" Ervin mencoba mengajak gadis itu bicara, namun tak ada respon apapun. "Gue kangen lo balas ucapan gue lagi, gue kangen kita berantem lagi Na.." lirih Ervin.

Saat Ervin mencoba menahan sesak di hatinya, suara getaran ponsel Rena membuyarkan Ervin. Ervin melirik ke arah nakas, dan mendapati nama Gilang tertera di sana. Dan ini adalah panggilan video.

Ervin langsung mengangkat panggilan tersebut. "Halo Lang.." sapa Ervin lebih dulu.

"Ervin? Kok lo yang angkat?" tanya Gilang bingung."Mana Rena?" lanjutnya.

"Lang, gini. Sebelumnya gue minta maaf..gue.."

"Kok lo kayak di rumah sakit?"

Jantung Ervin semakin berdegub kencang. Ia tak mau berbohong, "Rena masuk rumah sakit.." ucap Ervin cepat.

"Apa?"

"Gue juga kaget. Rena tiba-tiba jatuh dari tangga rumah dan sekarang belum sadarkan diri." Ervin bercerita dengan wajah penuh penyesalan.

"Brengsek!" geram Gilang tiba-tiba. Membuat Ervin menatap sahabatnya itu tajam.

"Bukan gue pelakunya.." geram Ervin.

"Gue nggak nyalahin lo. Kemaren Rena cerita semua sama gue. Dia bilang papi mami sama lo marah sama dia." Mendengar ucapan Gilang, Ervin tertunduk menyesal.

"maafin gue.."

"Bukan lo yang harusnya minta maaf, tapi cowok brengsek itu.."

Ervin langsung menegakkan kepalanya kembali, menatap Gilang dengan tatapan meminta penjelasan.

"Rena cerita sama gue kalau kemaren dia pergi menemui mantan pacarnya. Namun yang ia dapati justru si cowok brengsek itu tidur dengan wanita lain. Ia bahkan sempat menarik Rena kebelakang sampai Rena terpental sekitar tiga meter."

Mendengar cerita dari Gilang, Ervin merasakan darahnya naik sampai ke ubun-ubun. Emosinya meningkat dan keinginannya untuk menghajar mantan pacar Rena sangat ingin ia lakukan. Ia tahu siapa pacar Rena dulu.

"Dinar.." geram Ervin penuh amarah.

"Dinar mutusin Rena hanya karena Rena menolak ditiduri sama cowok bajingan itu." Lanjut Gilang.

Ervin yang semakin emosi langsung memotong ucapan Gilang setelahnya, "Lo tenang aja di sana. Urusan Rena dan cowok itu biar gue yang atur di sini." Setelahnya, Ervin langsung mematikan panggilan Gilang.

"Bajingan lo Dinar." Kali ini Ervin sungguh murka. Ia tak terima Rena diperlakukan seperti itu. Terlebih dari siapa yang salah, kasar pada perempuan bukanlah seorang lelaki sejati. Besok, ia berjanji akan mengurus semuanya. Memberi pelajaran pada cowok brengsek bernama Dinar itu.

*◊*◊*◊*◊*

JANGAN LUPA KOMEN DAN KASIH RATINGNYA YAAA.. JANGAN PELIT RATING YA TEMAN2..HEHEHEHE

Komen (4)
goodnovel comment avatar
hardo_joddy
mantap bener
goodnovel comment avatar
kalsih sukaesih
ceritanya seruuuu juga nich...
goodnovel comment avatar
Dwi Septya Kurniawan
baru part awaL lho ini tapi udah bikin air mata w g berhenti keLuar. 😭😭😭
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status