Share

PART 3

“Idan, kamu mau kemana? Kan Tante Tyas sama Julia mau ke sini. Kok malah pergi, sih?” tanya Stella, ketika melihat putranya turun dari lantai dua rumahnya.

Helm di tangan kanan pria itu semakin membenarkan dugaan sang ibu, hingga mau tak mau ia pun segera melontarkan satu kebohongan yang sudah sejak tadi ada di isi kepalanya, “Nggak ke mana-mana, Ma. Idan cuma mau pergi beli rokok aja sebentar kok di Mang Badrun. Nggak lama kok. Tunggu sebentar ya, Ma?”

Akan tetapi Stella bukanlah sosok ibu kolot yang mudah dibohongi oleh kedua anaknya, “Beli rokok di kiosnya Mang Badrun kok pakai helm segala? Kan dari sini deket. Kamu mau ke mana lagi memangnya? Tante Tyas jangan-jangan sudah di jalan lagi, Nak. Kamu nggak ada niatan kabur apa gimana kan?”

“Ck, Mama ini. Idan cuma mau mampir ke Distro deket-deket gang rumah kita ini aja kok, Ma. Mau kepoin apa gitu kek yang kerenan dikit daripada ini. Mama nggak liat ini kemeja udah bulukan gini. Malu dong sama calon istri, Ma. Jadi ya ke sana harus pakai helm kalo nggak mau ditilang sama polisi. Mama ih, kepo aja jadi orang.” Sehingga Saidan pun dengan cepat harus menciptakan satu kebohongan baru lagi, untuk meyakinkan ibunya itu.

Alhasil karena memang kemeja yang berada di balik jaket denim milik Saidan itu sudah tampak sedikit memudar, Stella pun pada akhirnya memercayai apa yang dikatakan putranya, “Ya ampun, Idanku sayanggg... Kirain Mama kamu mau apa. Ya udah gih cepetan sana pergi. Nggak usah pake beli rokok-rokok dulu deh. Ntar tuh mulut bau asap lagi. Kita belum tahu anaknya Tante Tyas itu suka apa enggak sama cowok yang suka ngerokok kayak kamu. Ya nggak, sih? Jangan lama-lama ya, Nak. Kasihan lho mereka ntar nungguin kamu kelamaan.”

Mereka bercakap-cakap lebih kurang tiga menit sembari sesekali berseloroh, “Beres, Ma. Tungguin ya? Kalo mereka datang cepetan suruh Nasha telepon aku aja, Ma.”

“Nggak usah. Biar Mama suruh Papamu aja yang telepon kamu. Biar cepetan nurut kamunya. Tahu kan Papamu gimana galaknya?”

“Idih jangan gitu dong, Mama. Papa kan suka bikin ciut. Ya udah Idan cabut dulu deh. Bye, Mamaaa...”

“Astaga, anak itu. Bukannya salam malah bye kayak orang bule. Udah ah, mendingan aku ikutan ganti baju juga. Tunik yang ini kayaknya udah pernah aku pakai pas nggak sengaja ketemu sama Mba Tyas. Malu dong. Cus deh, Guys. Hahaha...” Lalu terputus seiring perginya Saidan dari rumahnya.

Sementara itu di tempat lain, Julia terus saja mencoba menghubungi nomor ponsel Saidan sembari menggerutu panjang, karena entah mengapa tiba-tiba ia merasa ada yang salah dengan perkataannya beberapa saat lalu, “Ih, kok jadi gini nada sambungnya Mas Idan? Bukannya tadi pas gue miscall ada NSP-nya ya? Apa nomornya nggak aktif? Em, ini WA-nya juga kok jadi centang satu melulu ya? Foto profilnya juga jadi nggak ada kayak pertama dia chat gue siang tadi. Apa jangan-jangan nomorku diblokir sama Mas Idan? Kok dia gitu?”

Isi kepalanya berputar tak jelas ke sana kemari bersamaan dengan gerakkan tangannya di layar ponsel, “Lika, udah siap belum, Sayang? Mama tunggu di depan ya?”

“Waduh, gimana dong? Mama udah tungguin aja nih. Mas Idan kok nggak aktif-aktif, sih, nomornya? Kayak anak kecil banget deh dia kalo sampai nomor gue beneran diblokir. Kan gue realistis aja gitu ngomongnya. Hidup ini apa emangnya yang dicari kalo bukan kebahagiaan. Ck, nyebelin. Gimana dong ini? Perasaan gue jadi nggak enak jadinya kannn...” Namun sekali lagi yang ia hanya bisa memperbanyak gerutuannya, akibat rasa bersalah di dalam dirinya pada seorang Saidan Pratama Putra.

Kedua kakinya bahkan terasa berat untuk beranjak dari tempat tidur ketika ibunya kembali bersuara dari balik pintu kamar, “Malika Kuncorooo... Kamu ngapain aja, sih, di dalam? Lama sekali berdandannyaaa... Kita udah telat sepuluh menitan iniii... Kamu emangnya pakai baju apa, Lika? Jangan yang aneh-aneh deh ya? Mama nggak suka!”

“Astaga, Tuhannn...! Gimana dong gue?! Aduhhh... Bilang apa sama Mama biar nggak jadi aja ketemuannya ini?! Ribet amat! Ampunnn...!” Dan semua itu jelas karena kebodohannya sendiri.

Dengan sejumlah keberanian yang ia kumpulkan setelah beberapa kali mengisi oksigen ke paru-parunya, kini Julia pun memberanikan diri untuk membuka pintu kamarnya.

Benar saja, di balik sana Tyas sudah memasang wajah juteknya untuk sang anak, dan sepersekian detik berikutnya, wanita paruh baya itu mengubahnya wajahnya menjadi semakin tak enak dilihat, “Astaga, Lika Sayanggg... Kamu belum sisiran juga ya ini? Kok masih dicepol asal-asalan aja, sih, rambutnya? Dari tadi kamu dalam kamar itu ngapain, hem? Ya ampun anak iniii...! Ayo sini Mama bantu rapikan rambutnya biar kita nggak semakin telat! Ckckckkk...!”

Nada repetannya pun kian detik semakin membuat kepala Julia mau pecah, “Ma, kita nggak usah pergi aja ke rumahnya Mas Idan ya? Lika—”

“APA? Kamu udah gila apa gimana, sih, Malika Kuncorooo...?! Kamu lupa ini juga ada hubungannya sama Almarhum Papamu? Ya Tuhan ampunilah segala dosa-dosa hambamu iniii...! Udah, stop. Sini cepetan duduk biar Mama bantuin ikat rambutnya. Atau mau dicatok aja? Apa gimana?” Dan puncaknya adalah ketika gadis itu mengatakan jika mereka sebaiknya membatalkan rencana kunjungan mereka ke rumah keluarga Pratama Putra.

Untung saja dari balik pintu yang masih terbuka lebar, Satria Hadi Kuncoro segera bersuara mengeluarkan isi kepalanya di sana, “Bener kali yang Kak Lika bilang itu, Ma. Harusnya keluarga cowok yang datang berkunjung ke rumah keluarga cewek. Masa ini malah keluarga cewek, sih, yang kebelet pergi ke tempat mereka. Aku aja paham aturannya. Masa Mama yang katanya ada darah Kejawen malah nggak tahu aturan. Malu-maluin tahu, Ma! Aku nggak mau ikutan deh. Aneh aja dari tadi mikir Mba Lika sama Mama gini. Nggak papa kan, Ma?”

“Tuh kan, Ma. Hadi aja bilang kayak gitu. Aku juga dari tadi tuh mikir kayak gitu kali, Ma. Maluuu...” Sehingga Julia mulai sedikit lega akibat mendapat dukungan dari sang adik yang kini masih menjadi mahasiswa kedokteran itu.

Akan tetapi Tyas dengan begitu berang kembali melepaskan emosinya di depan kedua anaknya di sana, “Kalian berdua sekongkol ya mau ngebully Mama? Kan dari kemarin sudah Mama bilang kalo dulu itu Almarhum Papamu yang maksain anaknya Om Angga buat dijadikan calon mantu. Tiap tahun pas masih hidup juga Papa selalu ingetin Mama sama keluarga Pratama soal ini. Jadi ya karena Mama menghormati permintaan Papa, sekarang inilah menurut Mama waktu yang tepat. Karena apa? Karena Papamu udah hampir satu tahun lebih ninggalin kita semua! Kurang jelas? Kurang puas? Nyebelin aja kalian berdua ini ya?! Jengkel deh Mama dari kemarin dibully terusss... Capek tahu nggak, sih, capekkk...!”

BLAM!

“Astagaaa...!” Bahkan kini ia pun dengan keras membanting pintu kamar Julia sebagai bagian tambahan dari rasa kesalnya.

Hadi yang merasa terkejut, dengan spontan kembali berbicara saat melihat dua titik air mata lolos begitu saja dari mata kakak perempuannya, “Mba Lika, maafin Mama ya?”

“Mama nggak salah, Diii... Mba yang salah. Hiksss... Mba yang harus disalahkannn... Mba beneran keceplosan tadi, Diii... Hiksss...”

“Bukan, Mba. Emang harusnya kayak gitu kan aturan sopan santunnya? Masa kita yang dari pihak cewek harus—”

“Bukan itu, Di. Tadi Mba sama Mas Idan udah komunikasi baik-baik walaupun baru lewat telepon sama chat di handphone. Cuma mulutnya ini yang keceplosan nyuruh dia berhenti kerja jadi Customer Service di Provider gitu. Mba bilang mendingan dia ikut bantuin bisnis truk Bokapnya aja. Eh dia malah marah sama Mba, terus nomornya nggak bisa ditelepon. Chat WA-nya juga udah centang satu aja sama fotonya tiba-tiba hilang. Itu tandanya nomor Mba diblokir sama dia kan, Diii... Hiks... Gimana sama Mama ini? Mba malu berat, Di. Malu cowoknya udah ilfil tapi masih tetap nyamperin.” Namun mereka lantas terlibat adu argumen, sampai pada puncaknya Julia pun meloloskan sejumlah isi hatinya di sana.

Lima detik lamanya Satria Hadi Kuncoro terdiam mencermati apa yang baru kakaknya ceritakan, namun kemudian ia pun berpikiran lain tentang hubungan Julia dan Saidan, “Lho, kemarin pagi katanya Mba belum kenal sama Mas Saidan ini. Kok yang kalian omongin udah sampai ke masalah masa depan segala, sih? Hahaha... Aduh Hadi jadi pengen ngakak keras-keras deh, Mba. Romantis banget lho padahal ini. Lihat coba sekarang. Mba Lika aja sampai nangis gara-gara orang yang namanya Saidan Pratama Putra. Kayak apa, sih, orangnya? Ganteng ya dia? Kirimin Hadi fotonya calon kakak ipar dong di WA, Mba?”

Hadi merasa lucu ketika melihat Julia menangis karena seorang lelaki, dan itu tentu saja membuat kakaknya berubah dari melow menjadi frontal seketika, “SATRIA HADIII...! Astagaaa...! Keluar lo dari kamar gue sekarang juga! Cepetannn...!”

“Hahaha... Galak amat, Mba. Ciye ciye Mba Lika lagi kasmaran sama calon suaminya. Ciye ciye...!” Hadi bahkan terus saja membully tanpa berniat untuk berhenti.

“Kampret lo, Diii...! Keluar dari sini cepetannn...! Ugh!”

“Auwww...! Sakit, Mba!”

“Makanya jangan ngebully gue! Sana lo cepet keluar! Gue mau tidur!”

“Gue gue. Lebay amat lo ikutan kayak anak Jakarta aja, Mba. Biasa juga dari dulu tinggal sama Eyang ngomongnya aku kam—”

“DIAM!” Sampai pada ujungnya Julia pun dengan begitu kesal mendorong adiknya keluar dari kamarnya.

BLAM!

“Eh, buset! Kaget aku, Mba! Hahaha...” Sebelum pada akhirnya ia juga ikut-ikutan membanting pintu kamarnya seperti sang ibu, beberapa saat lalu dan membuat Hadi sedikit kaget namun sekaligus merasa semakin lucu.

Dalam isi kepala Hadi, entah mengapa ia tiba-tiba ingin berkenalan dengan lelaki yang dijodohkan untuk kakaknya untuk membantunya meluruskan kesalahpahaman di antara mereka berdua, namun ia masih bingung harus memulai hal tersebut dari mana.

Sejujurnya Hadi bisa saja meminta pertolongan dari ibunya, tapi mungkin saat ini bukan waktu yang tepat, mengingat tadi ia lebih dulu membuat wanita paruh baya itu kesal setengah mati sebelum Julia pun tidak sengaja menjadi sasaran keduanya.

Maka itu yang bisa ia lakukan hanyalah ikut menggerutu dan mengumpati Saidan, “Besok aja deh kalo hati Mama udah adem baru kucoba minta nomor handphone si cowok aneh yang namanya Saidan Pratama Putra itu. Jengkel juga aku gara-gara dia Mama sama Mba Lika jadi marah-marah kayak orang kena PMS gini. Kan ini rumah jadi sepi efek mereka berdua pada diam-diam aja di kamar. Sialan bener tuh orang! Awas ya tuh orang. Kukasih dia pelajaran yang bikin dia nggak bakalan bisa ngelupain aku! Lihat aja nanti! Huh!” Karena menurutnya menjadi biang onar dari semua masalah yang malam ini terjadi dalam keluarganya. 

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status