Share

PART 7

Julia sedang mengajar Matematika di hadapan para murid Sekolah Dasar kelas 4A. Saat ini sang ibu guru cantik sementara menulis soal tentang KPK dan FPB, “Eh, maaf. Siapa ya?” Akan tetapi ingatannya penuh dengan nama Saidan dan juga bagaimana tutur kata pria itu, ketika mereka bertemu secara tidak sengaja tadi pagi.

Secepat kilat Julia mempercepat laju tangannya di depan white board, namun dari kedua bibirnya, sejumlah gerutuan mengalir begitu saja di sana, “Sialan emang tuh laki! Bisa-bisanya dia pura-pura nggak kenal gue? Padahal kan kemarin sempat video call. Dasar! Awas aja dia ntar. Gue harus cepat-cepat blokir nomor hape, WA sama akun FB-nya sebelum terlambat nih. Soalnya feeling gue, kayaknya dia bakalan coba buat kepo deh tuh. Secara kan hari ini gue pake rok pensil sama kemeja. Rambut gue tadi sempat diurai juga sebelum dicepol kayak gini. Jadi pagi tadi kayaknya dia pasti terkesima dong sama penampilan gue. Ya nggak, sih? Heh, mampus!”

Julia bahkan berhenti menulis sejenak di soal nomor tujuh, lalu bergerak menuju ke arah mejanya untuk mengambil ponsel.

Dalam pikirannya, ia ingin segera membatasi komunikasinya dengan Saidan, tetapi sepertinya pria tersebut sudah selangkah lebih dulu darinya, “Tuh, kan benar! Gue bilang juga apa. Pasti nomor hape gue udah nggak diblokir lagi sama dia. Cih, emang dasar nggak tahu malu. Pake segala ngirim chat di WA lagi. Dia pikir bisa semudah itu baikan sama gue Nggak akan! Udah ilfil duluan kali! Lihat aja ntar apa yang bakal gue perbuat. Jangan sebut nama gue Julia Malika Kuncoro, kalo sampai dia nggak datang ke rumah terus mohon-mohon sama Mama!”

Saidan berkali-kali mencoba menghubungi nomor ponsel Julia, lalu mengiriminya banyak chat. Akan tetapi semua itu menjadikan sang ibu guru cantik semakin kesal, karena memang Saidan sendiri yang lebih dulu membuat ulah.

“Rasain! Udah gue blokir nomor hape sama WA lo sekarang,” gumam Julia sembari terkekeh sendiri di mejanya.

Hal tersebut tentu saja tak luput dari penglihatan murid-muridnya, sehingga selain menggelengkan kepala dan tersenyum mengejek, ada empat orang dari mereka yang berdiskusi di barisan paling belakang.

Keempatnya lantas saling merundingkan siapa orang yang akan berdiri dan bertanya pada ibu guru mereka, lalu hasilnya pun telah disepakati.

Sang ketua kelas adalah orang yang kalah ketika mereka mengundi dengan cara bermain hompimpah.

Jadi anak laki-laki itulah yang kini berdiri, sembari mengajukan pertanyaan pada ibu gurunya, “Permisi, Bu. Soalnya memang sampai tujuh nih? Kami sudah mau cari jawabannya, Bu.”

“Eh, iya. Sampai tujuh aj— Nggak jadi deh. Ibu tambahin tiga lagi ya? Sebentar.” Lalu Julia segera berdiri dari kursi yang ia duduki, mengambil kembali buku dan spidol, sebelum akhirnya ia kembali menuliskan sisa soal di white board.

Alhasil, sebagian besar murid kelas 4A kini terlihat kembali mencatat soal tersebut, termasuk sang ibu guru cantik pun berusaha untuk bisa fokus pada pekerjaannya.

Akan tetapi semakin Julia berusaha bersikap profesional pada pekerjaannya, entah mengapa bayangan Saidan terus saja berputar dalam isi kepalanya seperti hantu, “Ck! Sialan bener. Kenapa, sih, susah banget otak gue diperintah buat nggak mikirin si kunyuk Saidan itu? Bete deh ah jadinya!”

Untung saja hal tersebut bertepatan dengan tinta dalam spidol Julia yang sudah tidak terang lagi di white board, “Habis ya, Bu? Sini biar aku isikan tintanya, Bu.”

“Ah, nggak usah, Don. Biar ibu sendiri aja yang isi tintanya di ruang guru, soalnya tinta refill punya ibu ada di sana. Hari ini kan kalian pakai seragam putih merah. Jadi ya ibu takut aja kalo tintanya kena di baju. Tunggu di sini dulu dan jangan pake ribut, oke? Nanti ibu yang dimarahin sama Pak Kepala Sekolah.”

“Siap, Bu. Nanti saya catat namanya di kertas kalau pada ribut dan jalan ke sana sini.”

“Oke-oke. Tunggu sebentar.”

Julia pun kini memiliki sedikit alasan untuk bisa menghindar dari murid-muridnya, dan toilet adalah tempat yang menurutnya paling ampuh untuk menetralkan diri.

Ia pun bergegas menuju ke sayap kiri gedung Sekolah Dasar itu, lalu kemudian masuk ke dalam toilet yang dikhususkan hanya untuk para guru-guru di sana saja.

Sejujurnya kandung kemihnya memang sudah terasa penuh sejak beberapa menit yang lalu, jadi Julia memang tak sepenuhnya membohongi murid-muridnya.

Hanya saja saat sudah menurunkan celana dalamnya, suara ponsel yang ia letakkan di atas ventilasi pintu toilet pun berbunyi nyaring, dan hal itu sangat membuatnya terganggu.

📲📞Bila nanti saatnya telah tibaaa... Kuingin kau menjadi milikkuuu...📲📞

Julia bahkan tak sengaja melatah sebelum ia melontarkan sejumlah repetan berserta umpatannya, “Eh, kodok! Astagaaa... Hampir celana dalam gue jatuh ke bawah gara-gara suara hape. Kan lantainya basah ini. Ck! Siapa yang nelepon jam segini, sih? Sial— Nomor baru? Siapa nih? Apa ini nomornya si Saidan kunyuk itu? Ck! Nyebelin banget deh ah. Kenapa juga dia jadi heboh gangguin gue dari tadi pagi, sih?! Apa belum cukup dia ngeblokir nomor hape sama WA gue? Kenapa, sih, tuh or—”

Tok tok tok

“Halo, siapa di dalam? Ini saya, Pak Faisal. Masih lama ya? Di sebelah closet duduknya rusak. Saya sakit perut jadi lagi butuh toilet, Pak Bu.” Namun omelan Julia harus terhenti, tatkala ia mendengar ketukan pintu diikuti dengan suara guru olahraga bernama Faisal.

Pak guru tersebut mengatakan jika saat ini ia sangat membutuhkan toilet yang sedang Julia gunakan, karena memang hanya tempat itulah yang masih berfungsi dengan baik.

Alhasil dengan sedikit terbata, Julia pun memilih untuk cepat-cepat menuntaskan kebutuhannya di sana, “Eh? Iy..iya-iya. Tunggu sebentar saya siram dulu, Pak Fais. Astagaaa...!”

“Iya, Bu. Maaf mengganggu.”

“Nggak papah, Pak. Nggak papah. Tunggu sebentar.” Lalu keluar setelah ia membenarkan rok pensil dan juga kemejanya.

Ceklek

Sang guru olahraga pun sempat terkejut ketika mengetahui jika yang berada di dalam toilet tersebut adalah guru matematika incarannya, “Eh, Bu Julia ternyata. Maaf banget ya, Bu? Perut saya sakit ini soalnya.”

Pria tiga puluh tahun itu pun dengan cepat memasang senyum manisnya, “Nggak papah kok, Pak Fais. Saya juga cuma kencing doang ini. Mari silahkan, Pak. Saya permisi dulu.”

“Ah, ya. Makasih, Bu.” Tetapi Julia memilih untuk melenggang pergi tanpa memedulikannya, karena memang pikiran si ibu guru saat ini sedang tidak berada pada tempatnya.

Julia memilih untuk berdiri sejenak di dekat tembok rata putih. Ia berniat untuk kembali mematikan bunyi di ponselnya, namun rasa kesal sepertinya masih ingin menghampirinya, mana kala belum apa-apa benda pipih itu sekali lagi berbunyi nyaring.

📲📞Bila nanti saatnya telah tibaaa... Kuingin kau menjadi milikkuuu...📲📞

Sederet nomor tanpa nama seperti beberapa menit lalu muncul lagi dan membuatnya menggerutu, “Aduhaiii... Orang ini kenapa, sih? Baru juga gue hidupkan lagi suara hapenya, eh dia udah heboh telepan telepon nggak tahu aturan. Emangnya gue lagi main petak umpet? Gue lagi kerja kali, Bro! Lama-lama bisa ditegur Pak Kepsek kalo gini terus sepanjang hari. Sontoloyo!”

Gerutuan tersebut bahkan sampai ke telinga Faisal, ketika guru olahraga itu bersiap meninggalkan area toilet, dan membuatnya mencoba untuk berbasa-basi dengan Julia, “Siapa yang Sontoloyo, Bu? Masih di sini? Saya kira sudah kembali ke kelas 4A. Hehe...”

“Pak Fais? Kepo aja!” Tapi Julia memilih untuk bersikap tidak bersahabat dan ketus.

Akan tetapi bukan Faisal namanya jika pria itu segera berlalu dari hadapan Julia. Ia mencoba kembali bercengkerama sembari membahas uneg-unegnya di sana, “Hahaha... Sekali-sekali kepoin cewek cantik boleh dong. Ngomong-ngomong nomor hape Bu Julia masih yang lama nggak? Soalnya saya chat di WA kok nggak pernah dibalas ya? Dibaca doang kayak koran pagi di ruangan guru. Sakit banget rasanya.”

“Idih, Pak Fais! Masa, sih, nggak dibalas? Kan saya sering banget tuh balas chat Bapak.”

“Pake stiker doang tapinya kan, Bu? Bukan pakai kalimat.”

“Ya kan isi chat Bapak kebanyakan broadcast guyonan gitu. Jadi ya saya balas aja pake stiker ngakak. Salahnya di mana?”

“Hehe... Iya juga, sih. Tapi saya kan—”

“Astagaaa...! Udah jam segini!” Namun Julia memilih untuk mengambil langkah seribu, dengan mengakhiri perbincangan yang menurutnya tidak berfaedah itu.

“Lho! Kenapa toh, Bu?”

“Itu, Pak. Saya lupa ngasih sambungan soal matematika untuk anak-anak. Nanti lagi ya ngobrolnya. Saya permisi dulu. Bye, Pak Fais...” Secepat kilat kaki ibu guru cantik itu melangkah menuju ke arah kelas 4A tanpa menoleh ke belakang sedikit pun.

“Ealahhh... Kabur dia. Apes lagi deh gue. Hufttt...” Dan ujung-ujungnya Faisal hanya bisa menghela napas panjang, akibat penolakan yang Julia berikan padanya.

Pria itu memilih untuk kembali ke lapangan olahraga, lalu kembali mengajar murid-murid seperti apa yang Julia lakukan.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status