Saidan Pratama Putra POV
Dari intonasi suaranya, aku tahu ia sedang marah padaku, "Kamu di mana, Saidan?! Cepat pulang ke rumah sekarang juga!"
Tentu saja aku merasa aneh dan menjawab pertanyaan Mama dengan satu pertanyaan pula, "Kenapa, Ma?"
Akan tetapi Mama tidak memberikan jawaban yang kuinginkan saat itu juga, "Jangan banyak tanya, Saidan! CEPAT PULANG SEKARANG JUGA!" Lalu sambungan telepon pun terputus.
Klik
Seharusnya aku tahu gerutuanku tak berguna, karena Mama sudah pasti tak dapat mendengarnya.
Sayangnya aku yang terlihat tolol menyerukannya juga, "Egh? Halo, Ma? Halo? Hemmm... Dimatikan. Kenapa, sih? Apa ada yang salah sama--"
"Saidan, kita pulang ke rumah sekarang!" Tapi itu
Julia Malika KuncoroAku tak tahu apa yang harus ku perbuat. Tiba-tiba saja hidupku terasa hancur, hingga membuatku terus mengeluarkan air mata. Rasanya benar-benar tidak nyaman. Seperti patah, bahkan memercikkan banyak darah dan semua ini hanya karena seorang Saidan Pratama Putra. Ya, laki-laki itulah yang membuatku tiba-tiba saja menangis dan mengurung diriku di dalam kamar ini. Sejak enam hari yang lalu, kami kembali berkomunikasi seperti sebelumnya. Aku bukan hanya membaca kalimat demi kalimat darinya, tapi mendengarkan suaranya juga.Dia berkata akan mengajakku bertemu untuk menagih janjiku satu minggu yang lalu, namun mungkin semua itu tak bisa terjadi, saat kata-kata Mama kembali mengisi di setiap sudut kepalaku, "Cewek itu dihamili Saidan, Lika. Tapi Saidannya nggak mau tanggung jawab katanya!"
"Saya terima nikah dan kawinnya Nayla Rosita Dewi binti Mustafa Ahmad dengan mas kawin seperangkat alat sholat dibayar tunai!" "Sah?""Sahhh...!"Hancur. Remuk bagaikan sebuah kaleng bekas yang terkena ban mobil, mungkin adalah gambaran hati Saidan saat ini. Statusnya yang sudah menikah dengan Nayla tanpa ia kehendaki, tentu saja menyakitkan untuk seorang Julia Malika Kuncoro. Perjodohan yang telah digadang-gadang oleh kedua orang tua keduanya, kini berpindah posisi menjadi milik Hadi dan Nasha, adik-adik mereka.Seharusnya, semua bisa di kendalikan saat ini. Saidan yakin menggunakan pengaman saat berhubungan dengan Nayla meski dalam keadaan mabuk sekalipun, namun Angga Pratama Putra dan Stella Syaqila tidak mendukungnya.Stella beralasan suka tidak suka, Saidan sudah menodai Nayla, padahal ia bukanlah pria pertamanya. Angga pun m
"Hallo, selamat pagi Ibu Julia dengan Saidan ada yang bisa dibantu?""What? Ibu? Saya belum nikah, Mas. Jadi panggilnya jangan Ibu!" kesal Julia, "Panggil Julia aja. Ju.li.a. Julia Malika Kuncoro! Ngerti nggak?" tambah Julia mengeja namanya.Terdengar kekehan kecil dari lubang smartphone milik Julia dan tentu saja itu adalah suara dari petugas call center salah satu provider besar di Indonesia, bernama lengkap Saidan Pratama Putra tadi."Iya, Mbak Julia. Ada yang bisa kami bantu?"Nampak sekali lagi suara laki-laki itu mencoba untuk bersahabat dengan Julia, namun sayangnya si guru honorer kembali lagi melontarkan amukannya lagi."Ih, Mas ini ada-ada aja. Tadi 'kan udah gue kasih tahu jangan panggil Mbak! Memangnya aku ini udah setua itu? Ya udah deh, masa bodoh ah sama kamu, Mas!" umpat Julia, "Intinya aku mau minta tambahan extra quota dong. Soalnya quota di kartu aku habis nih," sebelum
“Mau kemana, Dan? Kok rapi banget malam ini?” tanya Stella Syaqila, ibu dari Saidan Pratama Putra.“Mama kepo aja deh. Emangnya Idan nggak boleh rapi kalau di rumah?” sahut Saidan, balik bertanya.Tentu saja Stella geregetan dengan sang putra, “Kamu tuh selalu begitu. Kalau Mama tanya, pasti balik tanya lagi. Mama ini tanya serius kali, Mas. Nggak lagi becanda soalnya Tante Tyas mau datang sama anak ceweknya ke sini,” lalu menjelaskan alasan mengapa ia menghampiri Saidan di kamar.Saidan pun terkejut dengan apa yang ibunya katakan, lalu ia mencoba mencari tahu apa maksud dari omongan ibunya barusan, “Emangnya Tante Tyas itu siapa, Ma? Terus apa hubungannya sama Idan? Itu ‘kan acara para perempuan. Jadi ya Mama sama Nasha aja yang temenin itu Tante Tyas ngobrol. Biar pas, kan? Ibu-ibu sama anak ceweknya ngumpul gitu deh,” sebab ia sudah memiliki janji untuk kopi darat dengan Julia Malika Kuncoro, gadis yang tak sengaja ia kenal saat
“Idan, kamu mau kemana? Kan Tante Tyas sama Julia mau ke sini. Kok malah pergi, sih?” tanya Stella, ketika melihat putranya turun dari lantai dua rumahnya.Helm di tangan kanan pria itu semakin membenarkan dugaan sang ibu, hingga mau tak mau ia pun segera melontarkan satu kebohongan yang sudah sejak tadi ada di isi kepalanya, “Nggak ke mana-mana, Ma. Idan cuma mau pergi beli rokok aja sebentar kok di Mang Badrun. Nggak lama kok. Tunggu sebentar ya, Ma?”Akan tetapi Stella bukanlah sosok ibu kolot yang mudah dibohongi oleh kedua anaknya, “Beli rokok di kiosnya Mang Badrun kok pakai helm segala? Kan dari sini deket. Kamu mau ke mana lagi memangnya? Tante Tyas jangan-jangan sudah di jalan lagi, Nak. Kamu nggak ada niatan kabur apa gimana kan?”“Ck, Mama ini. Idan cuma mau mampir ke Distro deket-deket gang rumah kita ini aja kok, Ma. Mau kepoin apa gitu kek yang kerenan dikit daripada ini. Mama nggak liat ini kemeja udah bulukan gini. M
Saidan kini tengah berada di kos-kosan Heru, teman seprofesinya. Sekitar dua jam lalu ia datang membawa beberapa bungkus kacang kulit dan juga bir kaleng dingin, karena pikirannya sedang kusut.Heru menerima kedatangan Saidan dengan senang hati, sebab ia juga sebenarnya sejak seminggu yang lalu memiliki modus untuk bertanya tentang Nasha Pratama Putra, adik kandung teman gilanya itu.Akan tetapi sepertinya Heru belum bisa melancarkan rencananya itu saat ini, karena Saidan ternyata datang membawa masalahnya juga, “Lo denger nggak apa yang gue bilang tadi? Dia menghina kerjaan kita, Bro! Dia bilang kerja jadi Customer Service di Provider gitu gajinya pasti nggak bakalan cukup buat ngebahagiain dia sama calon anak-anak kami nanti. Yang bener aja! Sialan!” Alhasil Heru Sudi Hutomo pun berusaha sebisa menjadi pendengar yang baik dengan memberinya semangat dan masukan panjang lebar, “Hahaha... Sabar, Bro. Lo yang anak orang
Matahari kembali bersinar seiring dengan perputaran bumi pada porosnya. Heru yang terkena sinar matahari dari celah ventilasi kamar kosnya pun akhirnya terbangun dari tidur lelapnya, kemudian kehebohan terjadi di sana, setelah ia selesai melihat ke arah jam dinding, “Astaga! Udah jam berapa in— Eh buset! Jam setengah tujuh! Ya ampun! Heh, Dan! Cepetan bangun. Kita bisa telat ngantor ini. Hadeh, semua gara-gara begadang nggak jelas sama lo ini kan. Saidan, bangunnn...!”“Aduh apaan, Ma? Idan masih ngan—”Heru membangunkan Saidan dengan maksud agar teman gilanya itu segera pulang ke rumahnya lalu tidak terlambat ke tempat kerja mereka, “Mama mama! Gue bukan Emak lo, Saidan Pratama Putra! Gue Heru Sudi Hutomo temen gila lo yang punya kosan iniii...! Lo buka mata dulu sekarang biar bisa liat tuh di dinding udah jam berapa? Udah setengah tujuh pagi, Dan! Kita kan dapat sh
“Udah belom, Dan? Lama banget, sih, lo mandinya? Kita bisa terlambat nih!” teriak Heru sembari memasang kancing seragam kerjanya.Saat ini jarum jam dinding sudah hampir mengarah ke angka tujuh. Padahal tepat pukul delapan adalah batas maksimum untuk masuk kerja, tanpa kata terlambat di kantor mereka.Hal tersebutlah yang membuat Heru sedikit terburu-buru dengan aktivitasnya, namun bagi Saidan, kehebohan itu terlalu berlebihan.Ia keluar dari dalam kamar mandi sembari merepeti Heru pula, "Sabar dikit napa, Her. Gue kan kudu nyiduk air dulu di kamar mandi lo pake gayung. Memang ada shower? Bikin kesel aja. Capek tahu!”Tentu saja setelahnya ocehan demi ocehan terjadi di sana dengan gaya bicaranya masing-masing.Sejak keduanya mendeklarasikan status sebagai teman, kejadian itu tak pernah berhenti mereka lakukan, “Gue ini orang miskin yang udah nggak punya orang tua la