Share

Part 1 : WHITE ENVELOPE

"WOY... ADA BERITA BESAR!!!" Pagi-pagi begini suara cempreng mendayu itu sudah bergema di ruang kelas. Suara itu milik teman kita si Jonjon sang pembawa berita sekaligus reporter terkininya SMA Pratiwi.

Khika. Gadis yang sedang berkutat dalam catatan matematikanya bersama sahabatnya Zahra itu, seketika menoleh kearah datangnya suara. LJKnya belum sama sekali selesai dia tulis tapi perhatianya sudah teralih pada Jonjon. Khika menyikut Zahra yang bahkan sama sekali tak peduli pada Jonjon. Zahra tak menggubris sikutan Khika. 

"Ka, nugas udah nugas," kata Zahra sambil tetap menulis. Maklum mereka berdua sedang melakukan perbuatan yang sebaiknya tidak di tiru oleh anak muda tunas bangsa. Yaitu mencontek tugas milik Iwan yang dengan kerelaan hati meminjamkan tugasnya karena diminta langsung oleh Zahra, sang kecengan.

Namun bagi teman-temannya yang lain teriakan Jonjon ini lebih tepat disebut dengan teriakan emas yang seketika bisa bikin anak kelas XI IPA 3 bergairah. Gimana enggak? Setiap Jonjon berseru tentang berita besar, pasti ada aja hal heboh yang benar terjadi. Entah darimana si Jonjon ini bisa dapat kabar-kabar itu. Yang jelas Jonjon bagaikan punya radar untuk segala update terbaru. Khika yakin kalo suatu saat nanti Jonjon pasti bisa berkarir di industri infotaiment, karena dia ngakunya nggak cocok kerja di air.

"Dengar ya, kawan-kawan. Ini benar-benar berita besaaaarr!!!" teriak Jonjon yang sudah bergaya aja di depan kelas disambut riuh teman-teman yang tak sabar. Logat melayu kentalnya masih terdengar jelas walau Jonjon sudah kena arus globalisasi dan coba ganti logat. Bak artis, semua teman-teman sekelas meneriaki namanya dan memberi tepuk tangan meriah tepat dihadapan Jonjon.

Gaya lebaynya si Jonjon makin menjadi-jadi. Dia Meliuk ke kanan ke kiri. 

"Siap yaa dengernya!!!"

"Iyaaaa!" sahut yang lain serempak.

"BESOOOK..." Jonjon sok misterius, dia memandang teman-temannya dulu dari ujung kanan sampai ujung kiri. "KELAS KITA AKAN KEDATANGAN MURID BARUU!"

"Yeaaaahhhh!!!" jerit yang lain kegirangan. Dari sekian banyak berita, memang munculnya murid baru adalah berita di tunggu-tunggu oleh semua murid. Termasuk Khika yang mendongak sedikit tapi tetap menulis.

"Kha, murid baru katanya," sikut Zahra pada Khika yang diam-diam juga mendengarkan. Mereka terkekeh saling pandang, ikut antusias.

"Eh tapi kok besok sih, besok kan minggu Jon. Libur!" protes Khika nggak penting.

"Oke baiklah, lusa maksudnya. Lusaaa," ralat Jonjon.

"Cewek apa cowok Jon murid barunya?" tanya Iwan kesenengan. Ia adalah murid yang berdiri paling depan dihadapan Jonjon---memulai mengorek informasi.

"Apa aja boleh~" jawab Jonjon sambil menari-nari tak mau membocorkan rahasia.

"Ra, si Iwan ikutan tuh, gebukin yuk," sikut Khika kini pada Zahra yang langsung pura-pura sok cuek.

"Ih, emang die siape! Ntar kegeeran kalo digebukin," Zahra melanjutkan catat mencatatnya. Khika cuma terkekeh. Dia tau kalo Zahra juga ada rasa sama Iwan.

"Basi ... Palingan ntar kayak si ini lagi murid barunya!" sabit Reza sang ketua kelas yang langsung berdiri sambil menunjuk satu muka di depannya. Satu muka ganteng, imut tapi culun yang cuma nyengir kikuk sambil melambaikan tangannya dengan riang.

"Ssst.. Jahat ih..." timbrung Khika lagi yang sedari tadi masih ikut curi dengar mengusap pundak teman yang duduk di sebrangnya itu seolah memberi simpati. Namun yang di omongin seolah tak peduli bahkan nyaris tak tahu kalo dia sedang diperhatikan. Namanya Helmi.

Menurut penelitian Jonjon dan geng, Helmi itu tidak Telmi tapi dia cuma malas berpikir. Malas pakai otak. Lebih tepatnya dia malas untuk keliatan pintar. Dan malas jadi ganteng. Pokoknya karena malas.

"Iya ya, Dulu kau juga bilang kalau anak barunya itu cakep, tinggi pula, tapi kau nggak bahas-bahas kalo dia oon." Kalau yang ngomong barusan itu namanya Saepudin, sang kembaran Jonjon. Beneran loh mereka memang kembar. Kembar asli dari rahim yang sama. Pasti aneh? Entah mengapa mereka kembar tapi nama mereka bisa jatuh jauh banget. Yang satu Muhamad Saepudin, yang satu lagi Jonny Jonpito. Mungkin orang tuanya ingin memadukan budaya timur dan budaya barat, jadi yang satu dinamain dengan nama Indonesia banget, yang satunya diserempet dikit pake nama bule. Tapi percayalah, nama mereka nggak berpengaruh sama muka mereka. Muka mereka berdua tetap sama kayak pohon jengkol dibelah dua. Miripnya sangat identik. Sampai suaranya pun hampir mirip.

"Huuuuu..." sahut yang lain ikutan kecewa seolah menyetujui perkataan Saepudin tadi.

"Tenaaaang... Nggak perlu khawatir. Berkualitas kok yakin deh! Seribu persen! Bener-bener mulus, kagak ada yang lecet!" teriak Jonjon tambah lebay. Semua pasang mata kaum cowok seisi kelas berbinar-binar. Tak terkecuali Gerald.

"Wah, mulus.. cantik.." celetuk Gerald, kemudian dialihkan pandangannya ke sisi lain. "Tapi tenang nona Dewi. Kamu tetep nomor satu di hati abang," godanya kepada gadis cantik yang duduk disebrang bangkunya. Gadis itu hanya menghela napas, tak menolak. Iya hanya melempar tatapan mata memperingatkan supaya Gerald nggak berlebihan.

"Kaaa, Gerald ikutan tuh, gebukin yuk!" Kali ini Zahra yang balik menggoda Khika. Bibir Khika mengerucut sebal.

"Jangan ah, kalo kita gebukin dia, sama aja kita bantuin Dewi!"

"Sabar ya Ka, gue tau berat banget emang nyaingin Dewi." Kata-kata Zahra itu bukannya menenangkan malah makin bikin Khika pengen garuk-garuk tembok.

Ya memang berat, perkataan Zahra tak sepenuhnya salah. Dia itu Dewi, cewek paling cantik di kelas kita. Tinggi semampai, berkulit putih, berambut panjang lurus, mata besar dan bulu mata lentik tanpa pini. Dan terlebih lagi dia pintar serta dari keluarga orang terpandang. Terlalu sempurna untuk ada di dunia. 

Dan yang satunya lagi namanya Gerald. Dia macho, tampang oke, tukang goda, humoris, casing luarnya sih boleh playboy tapi dalamnya pujangga sejati dengan tingkat kesetiaanya setara mantan presiden kita Pak Habibie. Sekalinya dia suka sama satu cewek, bisa habis-habisan dia pepet tuh cewek. Dan karena sifatnya itu pula yang bikin Khika naksir berat sama Gerald. Iya! Cowok ini yang tadi Khika bilang kecenganya.

Tapi sudah jadi rahasia umum kalo Dewi lah yang menjadi satu-satunya kecengan Gerald. Sudah hampir setahun Gerald mendekati Dewi dengan intensitas tinggi. Semangat Gerald untuk mendapatkan Dewi tak pernah padam bahkan semakin lama semakin berkobar karena teman-temannya sudah persis kompor yang siap meledakan Gerald kapan saja. Banyak sekali yang dukung mereka untuk menjadi pasangan. Dan sedihnya, Khika diketahui sebagai salah satu dari pendukung mereka juga. Pertemanan yang sudah terjalin selama lima tahun dari semenjak SMP itu yang akhirnya membuat Khika terbawa begitu saja kedalam pusaran pendukung. Kalo kata orang itu friendzone.

"Coba kalo waktu itu rencana surat menyurat itu berhasil ya, pasti sekarang momen gebukin Gerald bakal jadi benefit buat lo seorang. Nggak bagi-bagi sama Dewi." Zahra kembali menabur garam di atas luka Khika. Zahra terkekeh geli melihat Khika yang mendelik sebal padanya.

"Gara-gara lo sih nyuruhnya ngasih hari itu,"

"Sabar ya ka, namanya juga hidup, kalo jodoh ga akan kemana. Kan masih ada Kenta yang rajin kirim salam buat lo." Zahra tersenyum usil pada sahabatnya itu. Di balas sunggingan senyum ketir oleh Khika. Benar sih, andaikan saja waktu itu berhasil. Pikirannya kembali pada peristiwa sebulan lalu.

🍀🍀🍀

Dear Gerald...

Aku suka kamu. Itu aja. Sudah 5 tahun dan pasti kamu nggak tau. Karena aku juga nggak ingin kamu tau. Tapi aku berubah pikiran, aku rasa kamu harus tau. Kamu selama ini selalu ada untuku dan begitu sebaliknya. Jadi kamu harus tau kamu juga butuh aku. Aku yakin.

Aku sayang kamu 

Khika

Hanya kata-kata sederhana itu yang berhasil Khika tulis setelah mengorbankan selusin kertas. Ia menulisnya dengan rapih, tak kalah rapih dengan rambut klimisnya Iwan. Kata-kata dalam surat itu sempat buat Zahra ketawa ngakak. Namun sebagai sahabat yang baik, dia tetap menyemangati Khika. Bagaimanapun cara jadul kirim-kirim surat begini adalah idenya. Ya, Khika akhirnya menulis surat ini karena suaranya tak mampu menggapai Gerald yang menurutnya sudah terlampau jauh untuk di raih.

Pagi itu belum genap pukul enam, tapi Khika dan Zahra sudah nyantol manis di sekolahan. Hal yang pertama mereka lihat adalah senyuman manis yang di lempar ke udara oleh dua wajah kembar milik Saepudin dan Jonjon. Si kembar dengan sengaja mencegat mereka di muka pintu kelas. Nggak biasanya si kembar ini sudah eksis di kelas jam segini, kehadiran mereka sontak bikin dua gadis itu terkejut. Jonjon dan Udin memicingkan mata pada mereka berdua terlihat menilik. Kegugupan makin menghinggapi dua gadis itu. Masalahnya mereka berniat memasukan surat beramplop putih itu ke dalam kolong meja Gerald secara diam-diam. Tapi nyata duo kembar ini malah ada disini, jam 6 pagi. Aneh sekali. Zahra segera menyikut lengan sahabatnya itu.

"Jangan gugup jangan gugup!" bisik Zahra menenangkan Khika.

"Kalian! Aneh ya kalian melihat kita datang pagi-pagi?" tebak Jonjon hampir tepat.

"I-iya kok kalian rajin banget," ucap Zahra malah tergagap. 

"Tapi jangan salah, kita pun sama, kaget melihat kalian datang sepagi ini," ucap Jonjon terkekeh beradu pandang dengan Udin.

"Mungkin kita jodoh, double date yuk," Udin menaikan alisnya sambil tergelak bersama Jonjon.

"Ih ogah! Yuk Ka!" Zahra menarik Khika masuk. Khika melemparkan cengiran tengil saja pada si kembar. Mau bagaimana lagi, toh dia juga punya tujuan mulia datang pagi-pagi. Mau menyelamatkan hati.

"Gerald duduk dimana ya Ra?" bisik Khika.

"Di depan kita Khikaaaa, lu kalo lagi keluar polosnya suka nyerempet oon. Masa lupa tempat duduk Gerald."

Khika hanya nyengir. Maklum dia lagi nervous-nevousnya. Saat dua kakak beradik itu keluar, detik itu juga Khika langsung menyelipkan surat putihnya di bawah kolong meja Gerald, sambil nggak lupa diselingi doa-doa supaya manjur. Khika menyimpannya di muka kolong meja, biar mudah terlihat fikirnya.

"Bismilah, semoga lu berhasil Ka," ucap Zahra bersemangat.

Sepuluh menit kemudian si orangnya datang. Jantungnya menyambut kedatangan Gerald dengan deg-degan luar biasa. Letak tempat duduknya yang tepat dibelakang Gerald membuat dia dan Zahra bisa memantau dengan jelas keberadaan suratnya, apa suratnya terbaca apa belum. Khika berharap semoga surat itu diambil saja, kemudian dibawa pulang dan dibaca di rumah. Biar dia tenang, biar dia nggak malu.

Dan entah ada angin apa saat itu juga Gerald seketika merogoh kolong mejanya. Di luar perkiraan Khika, Gerald ternyata lebih ceoat menemukan suratnya. Tapi detik kemudian Khika bingung begitu juga dengan Zahra karena yang di pegang Gerald bukanlah amplop putih.

"Kok?" pekik Zahra memandang Khika. 

"Kok merah?" sambung Khika lirih.

Gerald langsung membuka dan membaca surat itu di tempat.

Mereka mengintip. 

"Dari Silvi?" bisik Zahra.

Siapa Silvi? Gumam Khika dalam hati. Lalu ia melihat Gerald mulai merogoh lagi kolong mejanya, tapi kini Amplop biru yang ia genggam. 

"Loh biru Ra?" Khika memandang Zahra kebingungan. Kemana amplop miliknya? Khika bingung sendiri.

Gerald juga membaca itu, dan Khika juga mengintip lagi kepunyaan siapa gerangan. 

"Dewi?" Khika menoleh panik kearah Zahra. Pandangan sepasang sahabat itu kompak menatap kearah Dewi yang sedang ngobrol dengan teman sebangkunya. Hancurlah sudah harapan Khika. Kalo Dewi yang ngasih sudah pasti mereka akan ketok palu segera. Khika lemas.

"Tenang ka, tenang, masih ada harapan," ucap Zahra lirih merasa kasihan pada gadis disebelahnya.

Diam-diam Khika berharap Gerald merogoh mejanya lagi. Nyatanya tidak. Gerald malah berdiri dan berjalan menghampiri Dewi.

"Wi, makasih ya?" Gerald tersipu malu.

"Makasih? Makasih apa ya?" tanya Dewi malah bingung.

"Surat ini... gue hargain banget..."

"Surat? Gue nggak ngirim surat,"

Khika dan Zahra saling menatap kebingungan. Gelak tawa mengiringi peristiwa setelahnya. Saepudin dan Jonjon keluar pasang badan, masing-masing memegang pundak Gerald dengan mesra.

"Halo mas ganteng, kenalin nama eyke, Silvi~" Ucap Jonjon meniru suara bencong.

"Kalo eyke Dewi~" Sambung Saepudin.

"Jadi... Elo?! Sialan lo!!" Gerald mengejar anak kembar itu yang langsung lari bergembira ria karena mampu ngadalin sang pujangga Gerald. Pada akhirnya mereka berhenti dan memasang badan lagi.

"APRIL MOOOOPPPP!!!!!!" Teriak Jonjon dan Saepudin bersamaan, tawa anak kelas membahana. Kecuali Zahra yang menganga kaget dan teman disebelahnya yang masih duduk lesu. Tatapan ketir gadis itu tertuju pada amplopnya yang masih bertengger manis di ujung kolong meja.

Gerald selesai dengan si kembar. Dia kembali ke bangkunya menahan malu pada Dewi yang sempat ikut tertawa. Matanya tak sengaja melihat amplop putih menyembul dari balik meja. Dia akhirnya menemukan surat Khika.

"Tenang ka, tenang masih ada harapan," Zahra berbisik menyemangati Khika lagi. Khika hanya mengangguk penuh harap.

"Masih ada satu lagi toh!" Gerald mengerling canda kearah Jonjon dan Saepudin. Si kembar hanya menggidikan bahunya berbarengan sambil menoleh bingung.

Amplop putih itu segera Gerald buka. Matanya membaca berulang kali. Rasanya kini Khika menciut jadi sebesar botol obat. Apalagi saat Gerald mulai menatapnya dalam.

"Kha, ini beneran?" tanya Gerald baru kali ini mukanya serius. Mati deh, dia mati kutu ditanya langsung begitu di depan anak-anak sekelas. Zahra lagi-lagi menyikut Khika yang malah diam tak menjawab.

"I-iya..." jawabnya Khika spontan, akhirnya terucap juga. Gerald terhenyak, sorot mata tak percaya menghampiri dua bola mata itu.

"Sebenernya gue juga suka sama lo dari dulu," Ucap Gerald.

"Brak!" Kedua tangan Zahra menggebrak meja saking kagetnya. Ucapan Gerald tadi membuat Khika terlonjak menutupi mulutnya dengan kedua tangan mungilnya. 

"Tapi gue tau..." sambung Gerald merenung dalam-dalam. "KALO INI CUMA APRIL MOP!!!"

"HAHAHAHAHAHA..." Tawa anak sekelas bagai menggema di telinga Khika. Hatinya kini luluh lantak.

"Abang nggak kan ketipu, dik Khika," ucap Gerald tengil dan tergelak bersama yang lain.

"The end," ucap Zahra lirih masih belum bergerak dari posisinya. Dia menatap sahabatnya itu penuh rasa kasian.

Sedangkan Khika, gadis itu benar berharap ia dapat menciut dan hilang jadi debu. Ia malu pada dirinya yang kerap gagal. Padahal ini cuma masalah hati, lebih sepele dari masalah rumus matematika, tinggal diutarakan tak perlu dihitung lagi, tak perlu dipecahkan jadi bilangan sederhana.

Khika ikut tertawa. Ya, bodohnya, dia ikut tertawa. Menyerahlah dia tanpa perlawanan. Tawa kikuknya dikira hasil dari kegagalan April Mop oleh teman-temannya yang lain. Hanya Zahra yang tau kebenarannya.

"Dari kata-katanya aja gue udah tau itu becanda, lo kan nggak mungkin pake aku-kamu-an kalo sama Gue." sambung Gerald lagi. Dan dengan demikian Khika pun menyesal menghabiskan selusin kertas karena dia digagalkan oleh segelintir kata aku-kamu.

"Oh, iya-ya...ketauan..." ucap Khika garing segaring kripik setan.

"Payah kau Khika, kalo april mop konsultasi dulu sama kami, kenapa tak pura-pura kau tembak langsung saja, itu kan bakal lebih seru," celoteh Jonjon disetujui oleh yang lain. 

Dan saat itu juga demi apapun Khika bersyukur dia nggak nembak langsung. Kalo bukan rasa malu yang menghalanginya pasti sudah dia utarakan langsung isi hatinya. Mungkin Tuhan menciptakan malu itu ya buat ini. Biar dia tak salah ambil langkah. Mulai saat itu juga Khika bulat, untuk menyimpan rasanya lagi di lemari hatinya. Tak akan dia buka. Dan tak akan ditunjukan pada siapapun kecuali Zahra yang kini menatapnya penuh iba.

🍀🍀🍀

Namun bagian paling tragisnya adalah semenjak kejadian itu Gerald dan Dewi malah tampak lebih dekat. Menurut penelitian Jonjon dan geng malahan perjuang Gerald pun akhir-akhir ini mulai menunjukan hasil. Karena konon kata Jonjon, kini Dewi sudah mulai tertarik dengan Gerald, dilihat dari gerak gerik Dewi yang sudah terlihat terbiasa berada di dekat Gerald. Nggak kayak dulu yang ogah-ogahan.

Entah kapan rantaian hubungan ini jadi melingkar. Ibarat rantaian hewan yang saling makan memakan, Khikalah yang ada di urutan paling bawah rantai makanan itu. Ya dia seperti orang yang akan di mangsa patah hati cepat atau lambat. Sedih.

"Lusa kalian akan lihat sendiri gimana mulusnya anak baru kali ini. Aku saksi matanya! Kalian pasti suka!" Suara promosi Jonjon memecahkan khayalan Khika tentang kejadian april mop pembawa sial itu.

"Ah, palingan juga..." Saudara kembar Jonjon itu udah mulai mau nyahutin lagi, tapi Jonjon langsung sigap membalas sahutannya.

"Yang tidak mengerti tak usah komentar!!!"

"Saya ngerti, keriting!!" Teriak Saepudin melengking, nggak sadar kalo mereka itu sama-sama keriting.

"Apa kau bilang! Aku keriting! Kau hitam!!!" 

"Hitam kau bilang!!! Hitaman Kau!" Balas saepudin yang juga nggak nyadar mereka berdua sama-sama hitam.

"Lebih baik Hitam daripada keriting!"

"Lebih baik keriting daripada Hitam!"

"Hey! Hitam itu manis!"

"Kau pahit! Kalo keriting itu mahal!"

"Ah, keritingmu kan murah, kau keriting sejak di kandungan!"

Percecokan mulut itu nggak akan selesai sepanjang hari hingga sampai bubaran sekolah. Sudah tradisi itu mah. Dan biasanya habis kata-kataan nantinya mereka jenggut-jenggutan habis itu cubit-cubitan. Tapi beruntung sesi cubit-cubitanya nggak keburu terjadi. Karena Ibu Prita sudah keburu masuk dan mergokin adik kakak yang lagi jenggut-jenggutan itu di depan kelas. Sontak anak-anak lain tertawa renyah. Termasuk Khika, dia nggak pernah nggak ngakak kalo ngeliat kejadian itu. Karena sekali lagi percayalah, itu bukan cuma sekali dua kali.

"Oke, sekarang kumpulkan PR kalian!" Ucap Bu Prita menahan amarahnya sambil melihat Jonjon dan Saepudin yang undur diri jalan mundur sambil nyengir-nyengir minta ampunan. Dan Khika cuma membelalak matanya besar-besar. Mati deh, PR gue kan belum selesai!

------------------

Bersambung...

------------------

Comments (2)
goodnovel comment avatar
Rizka Utami
Darderdoor dah sih jonjon
goodnovel comment avatar
Rizka Utami
Et dah aprilmop
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status