Pukul 15.00 Masih didalam pesawat.....
Piona terbangun dari tidurnya. Wajahnya terlihat kusut dengan selimut yang masih menempel dipahanya.
"Huaaammmmmmnnn."Piona menguap. Rasanya belum sadar dari tidur yang begitu lama.
"Kamu sudah bangun Piona?" Tanya Edwin masih membaca majalah style di pesawat itu.
"Kamu nggak tidur ? Kenapa mataku berat sekali? Bolehkah aku membuka pakaianku ? Kenapa rasanya gerah sekali ya Win?" Kata piona masih setengah membuka matanya dan mengibaskan bajunya serasa kepanasan.
Edwin terperanjat dan tercengang mendengar pertanyaan piona.
Buka baju?apakah ini efek ramuan itu jika digunakan wanita?
Piona melepas kancing atas dressnya dan terlihatlah belahan dadanya. Edwin spontan mengambil selimutnya dan menutupi dada Piona.
Gawat, kita masih di pesawat sayang. Kenapa efeknya bisa secepat ini?
"Edwin kenapa sangat gerah ?" kata Piona sambil melepas kancingnya lagi.
Edwin mulai panik, Edwin mendekap tubuh Piona itu menggunakan selimut.
"Sabar sebentar ya sayang,"Edwin menenangkan Piona.
Dari dekapan itu Piona melihat leher Edwin ada didepan matanya. Tanpa berfikir panjang Piona mengecupnya dengan liar, Edwin spontan terpaku ditempat dengan wajah begitu memerah, Edwin menahan gejolak yang ada didadanya. Edwin bingung bagaimana cara menghentikan kecupan itu. Sampai akhirnya Piona menarik wajah Edwin dan mengecup bibir Edwin lalu kembali tertidur seperti wanita yang sedang mabuk.
Melihat hal itu, Edwin meletakkan kepala Piona di pundaknya dan dengan hati- hati mencoba membetulkan kancing baju Piona yang hampir terbuka semua. Perasaannya tidak terkontrol ketika pemandangan itu ada didepan matanya, mencoba dengan segala cara untuk tidak tergoda. Sampai akhirnya Edwin menyelimuti Piona yang sangat lelap tertidur. Dengan lembut Edwin membelai rambut istrinya itu yang sudah nyaman didalam mimpinya. Suasana yang begitu nyaman di pesawat membuat Edwin juga ikut terlelap.
Waktu menunjukkan pukul 03.00 waktu AS. Pesawat mendarat di Bandara Internasional Los Angeles, Amerika serikat.
Piona dan Edwin terbangun dari tidur panjangnya dan mempersiapkan barang-barang yang dibawa untuk turun dari pesawat.
Mereka menuju pengambilan koper di Bagasi Bandara, melihat banyak sekali bule yang berlalu lalang di bandara tersebut. Suasana begitu ramai dan di penuhi dengan banyak orang dari seluruh penjuru negara. Piona sedikit merasa takut karena dirinya tidak pernah fasih berbahasa inggris.
"Edwin, bagaimana caranya aku berbicara bahasa inggris. Aku nggak ngerti?" Piona bertanya sambil menarik mantel Edwin di sebelahnya.
Edwin memeluk Piona dari arah belakang.
"Itu gampang sayang, kamu nggak usah khawatir." Kata Edwin
"Kalau aku nyasar gimana?" Kata Piona masih terus khawatir.
"Hemm aku sudah menambahkan aplikasi di hanphonemu. Itu pasti bisa membantu." Jelas Edwin.
"Terimakasih." Kata Piona.
"Ternyata kamu memang manja dan penurut. Entah mulai kapan kamu mulai seramah ini padaku?" Edwin tersenyum.
"Hemmm, mungkin aku sudah mulai menyukaimu tapi aku masih belum mengerti bagaimana mencintai seseorang itu"
Kata Piona dengan polosnya.
"Aku yakin kamu pasti bisa mencintaiku."Kata Edwin.
Barang mereka sudah terlihat dan Edwin segera untuk mengambil koper mereka.
Mereka keluar dari pintu kedatangan. Banyak terlihat papan nama untuk menjemput tamu ataupun keluarga mereka, mereka yang hanya berdua di negara asing itu Juga akhirnya di jemput oleh staf tour bulan madu mereka.
mereka berjalan menuju papan nama yang bertuliskan
"Loews Santa Monica : Mr. Edwin & Mrs Piona."
"Ini betul ya Mr Edwin & Mrs Piona?" Kata bule itu yang fasih menggunakan bahasa yang sama dengan Edwin dan Piona.
"Iya betul." Jawab Edwin.
"Mari masuk ke taxi kami di sebelah sana, koper dan semua barang biar saya yang membawakan."Kata bule itu mempersilahkan.
"Terimakasih" Piona menjawab dengan santun.
Mereka berdua saling merangkul dan menuju ke taxi.
Sepanjang perjalanan yang masih gelap karena waktu masih menunjukkan pukul 04.00 dini hari waktu setempat. Mereka menikmati perjalanan panjang itu dengan berbincang di dalam taxi.
"Kamu lelah Piona?" Tanya Edwin sambil membelai rambut istrinya itu.
"Aku merasa tubuhku lebih segar, dan tidak lelah sama sekali. Mungkin berkat minuman itu ?" Kata Piona menjelaskan.
Oh iya, aku lupa efek ramuan itu sudah hilang. Apa Piona sadar dengan yang dilakukanya dipesawat? Edwin penasaran.
"Sayang?" Panggil Edwin.
"Hemm..."Piona menoleh.
"Apa kamu tidak ingat yang kamu lakukan di pesawat? " Tanya Edwin.
Piona mencoba mengingat pelan-pelan apa yang terjadi di pesawat.
"Aku hanya mengingat terasa gerah saat aku bangun sore hari ketika di pesawat, lalu seperti bermimpi,"
Piona tiba- tiba berhenti dan mengingat kejadian itu saat dirinya membuka kancing dan mengecup leher dan bibir Edwin. Piona terdiam sejenak karena masih tidak bisa membedakan itu nyata atau mimpi, raut wajah Piona tiba-tiba memerah dan meremas kancing bajunya.
Edwin yang melihat hal itu menahan tawanya
Sepertinya dia mulai ingat kejadian itu.
" Aku nggak ngerti, apa yang aku lakukan itu mimpi atau kenyataan tapi maafkan aku Edwin" Piona meminta maaf dan merasa sangat malu.
"Kenapa kamu meminta maaf?Aku nggak keberatan jika kamu melakukannya lagi." Kata Edwin lalu mengecup kening Piona.
Piona tersipu dan mencubit perut Edwin.
"Aww!kamu ini, sakit."Teriak Edwin memegangi perutnya.
"Habis kamu selalu saja monggodaku." Kata Piona manja dipelukan Edwin.
"Sebenarnya minuman itu ramuan yang diberikan papa untukku." Jelas Edwin.
Piona terkejut dan melepaskan pelukannya.
"Kamu serius!!Jangan-jangan itu?" Piona menebak ramuan itu.
Apa itu ramuan untuk membuatnya bergairah di ranjang ? Pikiran Piona kemana-mana.
Edwin menganggukan kepala seolah mengerti yang dipikirkan Piona.
"Lalu kenapa kamu bohong padaku ? Kamu bilang ini suplemen?" Piona memukul Edwin sangat marah.
Sepanjang jalan menuju kepenginapan, Piona memukul Edwin dan terus menyalahkannya dan tiba-tiba Piona terdiam.
"Sayang jangan marah lagi ya, Maafkan aku !Aku berencana jujur setelah turun dari pesawat karena aku juga bingung harus menjelaskannya bagaimana?"
Piona masih diam dan terus diam.
Supir taxi yang menjemput mereka hanya tertawa kecil melihat pertengkaran mereka didalam taxi.
Sesampainya di penginapan.....
Mereka turun dari taxi, wajah geram yang terlihat di wajah Piona masih membuat Edwin kebingungan.
"Thank you sir." Kata Edwin sambil membawa kedua kopernya.
"Can I Help you, sir?"Seorang pelayan dari penginapan menawarkan bantuan untuk membawakan barang mereka.
"Yes, thanks." Kata Edwin.
Piona berjalan sendiri masuk ke loby penginapan, dia terus berjalan meninggalkan Edwin.
"Sayang tunggu!!" Kata Edwin yang mengejarnya.
Sampai di loby mereka bertemu dengan tour guide mereka.
"Selamat pagi. "Kata pria bertubuh tinggi dengan wajah bule itu.
"Betul ini Mr Edwin dan Mrs Piona?" Tanya pria itu.
"Betul" Kata Edwin spontan menjawab.
"Saya Matew, saya akan menjadi tour guide selama anda berbulan madu disini. Kami ucapkan Selamat datang." Jelas pria itu.
"Kamu tidak menggunakan bahasa inggris?" tanya Piona dengan polosnya.
"Saya bisa beberapa bahasa Mrs Piona." Jawab tour guide itu.
"Baik Mr Edwin dan Mrs Piona. Saya antar ke kamar Anda. Silahkan!" Kata pria itu.
Mereka diantar kekamar penginapan. Piona masih ngambek dengan Edwin karena kejadian tadi.
"Ini kamar anda Mr Edwin nomor 201, perjalanan pertama nanti kami akan antar ke sebuah pantai yang indah di Santa Monika. Mungkin sekitar pukul 10 perjalanan akan di mulai, untuk sarapan pagi hari ini akan di antar kekamar anda pukul 6 pagi ini Mr Edwin. Selamat menikmati waktunya. Jika ingin berkeliling di sekitar penginapan dipersilahkan sebelum perjalanan di mulai." Jelas Matew.
"Terimakasih."Kata Edwin.
Piona tiba-tiba merebut kunci dari tangan Edwin dan membuka kamar itu dengan segera.
Pria itu pergi meninggalkan mereka.
"Sayang! " Edwin mengejarnya masuk kedalam kamar.
Suasana masih terlihat memanas ketika Piona langsung terduduk di pinggir ranjang yang menghadap pemandangan taman di luar penginapan.
Edwin masih melihat istrinya itu dan mencari cara untuk menghiburnya. Setelah koper dan beberapa barang di letakkan di samping lemari. Edwin mendekati Piona
"Sayang, kamu masih marah?" Edwin memandang Piona sambil memeluknya dari belakang.
"Lepas Edwin!!" Piona meronta untuk dilepaskan pelukanya tapi Edwin tetap bertahan.
"Maaf, aku tidak menjelaskannya. Aku juga merasa malu sayang, papa memberikan ramuan itu untukku. Aku juga takut kamu berfikir macam-macam terhadapku,sungguh tidak ada terpikir di kepalaku untuk meminum ramuan itu. Tapi kamu terlanjur meminumnya." Jelas Edwin.
Piona meneteskan air mata dan terus mengusap dengan tangannya.
"Apa kamu tidak melihat betapa malunya aku setelah kamu baru memberitahuku tadi. Aku merasa bodoh Edwin." Pecah sudah tangisan piona.
Edwin membalikkan tubuh piona dan memeluk istrinya itu. Ketika tangisan itu mulai berhenti Edwin melepaskan pelukannya.
"Maafkan aku ya, aku janji tidak akan mengulanginya lagi." Jawab Edwin menenangkan.
Edwin mengusap mata Piona yang sembab.
"Sekarang jangan menangis lagi ya ?"
Piona hanya menganggukkan kepala.
"Ayo, mana Pionaku yang cantik? Senyum!!" Edwin mencubit pipi piona.
Piona akhirnya tersenyum.
mereka akhirnya berbaikan, Piona beranjak dari ranjang menuju ke koper dan merapikannya ke dalam lemari.
"Mandilah dulu win! Aku akan menyiapkan bajumu." Kata Piona melihat Edwin masih terduduk sambil memainkan handphonenya.
"Ok, sayang." Kata Edwin beranjak menuju kamar mandi.
5 menit kemudian....
Edwin yang masih penuh sabun tiba-tiba mengintip dan memanggil istrinya.
"Piona sayang , ambilkan aku handuk!! Aku lupa membawanya di atas ranjang!"Kata Edwin.
"Iya, sebentar Win." Piona beranjak dari tempatnya untuk mengambilkan handuk.
Seperti biasa Piona malu untuk menatap suaminya itu. Yang pastinya sekarang tidak ada yang membalut tubuhnya.
Edwin terkikih geli melihat Piona memberikan handuk sambil menoleh ke arah yang lain.
"Kamu masih malu melihatku telanjang?" Tanya Edwin.
" Edwin, ambil handuknya!" Piona tidak sabar.
Edwin menerima handuk itu tapi menarik nya juga hingga Piona tertarik masuk kedalam kamar mandi bersama Edwin. Piona spontan berteriak - teriak melihat suaminya itu telanjang bulat.
"Sssttt, bukannya kamu sudah melihatnya?"
Kata Edwin sambil terus menggodanya.
"Tidak, tidak, tidak Edwin. Aku ingin keluar!" Piona masih berteriak sambil berbalik membelakangi Edwin.
Edwin yang cukup iseng melumuri Piona dengan busa sabun keseluruh tubuhnya yang masih berbusana. Edwin menariknya berbalik dan membuat Piona basah karena shower yang masih menyala. Edwin mendekap Piona yang masih meronta dan mencium bibirnya, suasana menjadi hening hanya terdengar gemericik air dari shower itu ketika Piona mengikuti ritme bibir Edwin yang seakan membuatnya menurut. Tangan Edwin menelusuri setiap kancing baju Piona satu demi satu terbuka...
Hembusan nafas itu memburu sekali lagi, perlahan tapi pasti, menikmati ritme yang membuat mereka tidak sadarkan diri. Busana Piona terjatuh begitu saja seakan waktu membuat mereka terhanyut lagi dan lagi menikmati setiap air yang mengguyur sekujur tubuh mereka sampai akhirnya mereka menghabiskan waktu sejenak disana.15 menit kemudian...Mereka selesai mandi dan berpakaian.Piona terdiam sejenak di depan kaca dan mulai berdandan memoles bagian mata dan alisnya kemudian bibirnya yang kecil itu.Edwin mendekapnya dari belakang"Sayang!" Edwin mulai manja dengan piona, sambil menciumi pipi istrinya itu."Edwin, berhenti untuk terus menciumku!"Seperti biasa nada jutek Piona selalu menghiasi hari-hari mereka."Akhirnya kita...."kata Edwin " Stop jangan bicara lagi!!" cegah Piona" Aku suka Piona yang ketus dan jutek"Edwin mulai terlihat nggak jelas d
Edwin masih asik mengobrol dengan lusi, lusi pun sangat antusias ketika Edwin mulai mengenang masa kecil bersamanya. Lusi adalah teman kecilnya yang tahu kalau Edwin punya penyakit psikologi yang takut untuk dikagumi dan disukai orang lain. Lusi tidak pernah jujur dengan perasaannya karena penyakit yang diderita Edwin waktu itu. Lusi juga takut ketika Edwin tahu perasaannya waktu itu dia akan otomatis membencinya. "Gila! Berapa tahun coba kita nggak ketemu?"Kata Edwin sangat ceria dan dia lupa dengan Piona. "Hampir 6 atau 7 tahun ya? Aku juga sampai lupa?"Kata Lusi sambil menyerutup es teh di tangannya. "Btw, gimana kuliahmu? Udah selesai?"Tanya Lusi "Udah dong.kamu gimana ?" Tanya Edwin. "Aku juga baru selesai?" Kata lusi "Kok kamu tahu aku disini?" Tanya Edwin penasaran. "Kebetulan aja sih, kemarin aku sempet telpon tante Marta. Aku kangen sama dia terus tahu aku ada di LA. Dia ngasih tahu ak
Matanya beralih ke bibir kecil yang memucat itu. Piona seakan mengerti apa yang akan terjadi dan apa yang harus dia lakukan, Edwin menutup matanya lalu menyentuhnya perlahan, menggerakkan bibir atas dan bawahnya menyentuh setiap garis yang mulai basah permukaannya. Piona menutup matanya seakan mengikuti gerak yang membuatnya semakin terhanyut.Edwin menarik sentuhan bibirnya dan memandang Piona dengan wajah tersenyum, tergambar nyata bahwa dia sangat mencintai Piona. Edwin mengecup sekali lagi kening Piona dengan penuh kasih sayang dan memeluk istrinya itu ke dadanya. Hangat pelukan itu membuat Piona sangat nyaman sampai suatu ketika ada bunyi yang membuat Piona tersenyum geli” Kruyuk … ” suara itu terdengar jelas dari perut Edwin yang memang sedari tadi belum terisi apapun.Edwin benar-benar belum makan?kata Piona dalam hati sambil tersenyum.” Kamu senang suamimu kelaparan?&rdq
Edwin berdiri dengan mengepalkan tangannya, hatinya serasa tertusuk duri besar yang membuatnya sedikit terengah untuk bernafas, mukanya memerah dan matanya kembali bengis seperti harimau yang ingin menerkam mangsanya. Edwin mencoba menahan emosinya ketika kejadian itu mengganggu pikirannya. Suasana hatinya semakin kacau, Edwin mendekati mereka berdua dan menarik baju Ardi lalu melemparnya kedinding. Tangan kiri edwin yang menahan pundak ardi untuk tetap berada dalam lingkupnya, kemudian tangan kanan Edwin mengepal bersiap untuk melayangkan pukulan ke wajah Ardi. Ardi pasrah dengan keadaan itu karna punggungnya sudah terasa sakit. Kepalan itu rasanya tertahan, Edwin terus melakukan pengendalian sampai akhirnya dia melepaskan Ardi. Edwin berlalu begitu saja setelah melihat Piona disampingnya, dia masuk ke dalam kamar tanpa sepatah katapun, pintu kamar itu dibanting cukup keras membuat Piona terkejut sekaligus ketakutan." Ardi, Maafkan Edwin!" Piona hanya bisa men
" Win kamu kok senyum-senyum sendiri mikirin apa ?" tanya Piona"Emm nggak mikirin apa-apa kok." mengelak tapi masih terus tersenyumEdwin membuka kamar penginapan." Aku mandi duluan ya win!" kata Piona sambil mengambil peralatan mandi dan piama tidurnya." Iya sayang." kata Edwin sambil membaringkan tubuhnya ke ranjang.Lima belas menit kemudian Piona selesai dan gantian Edwin yang mandi." Sayang, kamu nggak mau menggosok punggungku?" tanya Edwin" Nggak." Piona tiba-tiba ketus' Dia mulai berani lagi.'" Kamu kok galak sih sayang?" kata Edwin masih mengintip dari pintu kamar mandi." Sana Mandi, Edwin!!!" Piona menaikkan nada suaranya" Iya, iya aku mandi " kata Edwin sambil menutup kamar mandi.'Apa dia tidak pernah bosan menggoda
Edwin tidak lagi menahan hasratnya yang terus memburu membanjiri setiap liuk tubuh piona di malam itu. Piona menggeliat mendesah seolah tak ada lagi lampu merah yang menghentikannya. Tangan Edwin yang terus membelai piona yang sontak bergerak membuatnya semakin bergairah lagi. Pecah sudah desahan itu ketika puncak ruang itu membuat mereka lega dan berhenti dengan senyuman.Keesokan harinya.....Edwin masih tertidur pulas, piona terbangun dari tidurnya. Kali ini sudah tidak ada canggung dan malu pada dirinya. Piona sadar pada waktunya dia akan menjalankan tugasnya sebagai seorang istri dan mau tidak mau dia harus siap.Piona mengecup kening Edwin dan beranjak dari ranjang untuk membuat kopi panas untuk suaminya itu."Sayang... bangun!" Piona membangunkan Edwin perlahan di pinggir ranjang sambil membelai rambut suaminya itu.Edwin mengusap matanya yang tidak mau terbuka karena mere
Apa Piona telat makan ya? kok dia mual padahal makanan ini enak.'Gumam Edwin dalam hatinya."Sayang kamu telat makan?"Tanya Edwin."Uwwwk...uww. Bentar sayang aku mau ke toilet dulu. Aku sejak tadi tidak berhenti muntah." Piona menahan untuk muntah sambil berlari ke kamar mandi.Edwin cemas.Piona kenapa ya ? Semua salahku coba aku makan dari tadi pasti dia juga makan dan nggak telat kaya gini.Edwin mengikuti Piona sampai depan toilet.Beberapa menit kemudian Piona keluar dari dalam Toilet"Sayang kamu nggak papa?Wajahmu pucat sekali?"Tanya Edwin. Sambil membelai wajah istrinya."Aku nggak pap..." Piona tiba-tiba pingsan di pelukan Edwin."Sayang, kamu kenapa?" Edwin menggendongnya lalu membawanya mencari suster ataupun dokter.Mereka akhirnya membawa Piona ke ruang tindakan. Edwin cemas di dep
Edwin benar-benar tidak bisa menahannya lagi. Edwin berbalik menghadap ke Piona dan menggenggam kedua tangannya."Sayang, jangan salahkan aku. Jika aku berbuat lebih hari ini." Edwin berbicara pelan kepada Piona lalu dengan tiba-tiba menggendong Piona ke kamar mandi."Arrrhhhh, Edwin. Turunkan aku!!"kata Piona meronta tapi tetap tidak berhasil."Kan kamu yang mancing?"kata Edwin."Iya, Ampun sayang!"kata Piona masih meronta sambil memohon.Edwin hanya tersenyum menatap istrinya itu dan berjalan ke kamar mandi.Sepuluh menit kemudian.Mereka berdua selesai mandi. Edwin mengajak Piona untuk berbincang sebentar sebelum mereka tidur."Sayang, kamu ingat Gandi?" tanya Edwin."Gandi? Gandi cuma ada satu yang ku kenal. Dia kakak kelas dari tiga serangkai di SMA kita kan?." Jelas Piona."Ternyata i