Share

Bab 8 Gadis Itu Masih Hidup

Saat Alice dilanda dilema dengan masalahnya saat ini, Viona tampak berbahagia, ia tampak sedang melamun dan sesekali tersenyum sendiri. Viona mengingat tentang senyum manis nan menawan yang di perlihatkan lelaki berseragam tadi, wanita itu seakan ingin mengakhiri kebekuan dari hatinya. Viona membayangkan pertemuan pertamanya dengan lelaki itu, membayangkan senyum manis yang terasa menghangatkan jiwanya yang dingin, ia mengingat tatapan mata yang terpancar dari bola mata pria itu, saat ia melepaskan kacamatanya dan pandangan mereka bertemu. Viona merasakan sesuatu hal yang tampak berbeda dari pria itu. Suaranya dan cara bicaranya yang terdengar begitu sopan namun tegas, ia mulai terpikat oleh lelaki yang baru saja dikenalnya itu.

Setelah sekian lama sendiri dalam kesepian semenjak sosok yang sangat dicintainya pergi meninggalkannya, kini ia kembali merasakan getaran itu. Perasaan yang sama namun dengan orang yang berbeda, Viona mulai menikmati debaran jantung yang terasa cepat ketika ia mengingat pria itu, akankah ia bisa melupakan sosok Tristan yang meskipun telah tiada namun masih melekat di kalbunya.

Ia kemudian mengenang kembali kisahnya yang telah lalu.

Kejadian itu sudah 3 tahun yang lalu, saat mereka mempersiapkan acara pernikahan mereka yang rencananya akan mereka lakukan diatas kapal pesiar. Lelaki yang mencuri hati Viona sejak mereka masih duduk di bangku SMU itu, tiba-tiba terjatuh ke laut lalu menghilang begitu saja. Mayatnya tidak ditemukan, namun kepolisian setempat menyatakan bahwa Tristan telah meninggal dunia, kekasihnya itu pergi sebelum mereka sempat mengucapakan janji pernikahan. Sejak saat itu, hati Viona menjadi beku. Dia yang biasanya sangat periang dan mudah bergaul dengan siapapun, berubah menjadi wanita dingin yang tak mau membuka hatinya kembali untuk pria manapun, menjadi pendiam dan jarang menampakan senyumnya untuk siapapun. Viona hanya sibuk dengan pekerjaannya sebagai seorang konselor, wanita lulusan sarjana psikologi klinik ini lalu mendedikasikan dirinya sebagai seorang konselor di Pusat Rehabilitasi Jiwa kota Grazia.

Wanita itu tersenyum, lalu berkata dalam hati 'Mungkin ini saat yang tepat untuk melupakanmu Tristan, kau sudah terlalu banyak membuatku menderita tanpa kehadiranmu. Sekarang ijinkan hati ini untuk memilih jalannya sendiri'

Viona tersadar dari lamunannya ketika seseorang mengetuk pintu ruang kerjanya.

"Nona Viona, ada seseorang klien yang baru masuk, sepertinya dia membutuhkan anda untuk konsultasi." ujar seorang wanita paruh baya ketika pintu terbuka.

"Oke Oma Rita sayang, sebentar lagi saya kesana!!" kata Viona sambil beranjak dari tempat duduknya. Ada sesuatu yang berbeda dari biasanya, dan wanita paruh baya itu mengerti bahwa Viona kembali menjadi dirinya yang sebenarnya, kembali menjadi Viona 3 tahun yang lalu.

...

Viona memasuki ruangan itu dengan sedikit tergesa-gesa, tampak diruangan itu seorang klien yang berteriak-teriak dengan histeris. Ada dua perawat yang berusaha menenangkannya sambil memegang kedua tangan lelaki itu.

"Apakah dr.Febrian telah memberikan obat penenang?" tanya Viona kemudian.

"Sudah, kami baru saja menyuntikkannya." kata seorang perawat menjawab pertanyaan Viona.

"Oke baiklah" kata Viona lalu bergegas kearah tempat tidur dan memegang jemari tangan lelaki itu.

"Selamat sore pak, Saya Viona Rahaya saya seorang konselor disini." Sapa Viona memperkenalkan diri. "Bapak boleh menceritakan semua masalah bapak kepada saya. Sekarang bapak harus menenangkan diri bapak dahulu." Kata Viona kemudian.

"Wanita itu ada didepan pintu, dia belum mati." Kata lelaki itu sambil menunjuk ke arah pintu.

Viona dan kedua perawat itu lalu mengikuti arah jari pasien itu dan menatap kearah pintu, tak ada seorangpun di sana.

"Bapak sayang" kata Viona lembut "Tidak ada seorangpun di sana, sekarang bapak tenanglah dulu. Dan mari ceritakan kepada saya, siapa wanita yang bapak maksud itu." Viona berusaha menenangkan pria itu dan mulai menggali cerita dari pasiennya tersebut.

Viona lalu meminta kedua perawat tersebut untuk melepaskan tangan klien itu, ia kemudian memperbaiki posisi tidur klien itu dengan menaikan bantal kepalanya dan memberikan posisi yang nyaman pada lelaki itu untuk bercerita. Viona meminta untuk ditemani seorang perawat saja jika sewaktu-waktu pasien ini kembali histeris, sedangkan perawat yang satunya boleh meninggalkan ruangan itu.

Viona mengambil posisi duduk disamping tempat tidur klien, sedangkan perawat yang menemaninya duduk didekat kepala klien tersebut dengan sebuah bangku.

"Bapak, sekarang bapak boleh bercerita kepada kami berdua apa yang bapak pikirkan dan rasakan saat ini. Bapak percayalah kami berdua akan membantu bapak menyelesaikan masalah bapak." kata Viona dengan tenang.

Lelaki itu lalu menundukkan kepalanya dan kemudian menangis.    "Saya sudah melakukan kesalahan besar, saya patut dihukum untuk itu. Tapi tolong katakan pada wanita itu jangan ganggu saya lagi. Saya tidak ingin hidup jika harus seperti ini." Lelaki itu kemudian berkata demikian sambil menangis sesenggukan.

"Siapa wanita yang bapak maksud?" tanya Viona kemudian.

"Gadis cantik itu, dia masih hidup." kata lelaki itu sambil menatap tajam kearah Viona. Viona balik menatap mata pria itu, dengan menggenggam tangan lelaki itu Viona berkata "Siapa nama gadis yang anda maksud pak?"

"Gadis itu" lelaki itu menunjuk kearah pintu "Caroline Williams".

...

Alice sampai di apartemennya, ia begitu terkejut ketika ia membuka amplop surat yang diberikan suster Ezra tadi padanya, terdapat sebuah catatan kecil yang berisi catatan tangan dari Bapak Alfred, pasien yang masuk kemarin siang di shift jaganya yang diantarkan oleh seorang psikiater.

"Wanita itu masih Hidup!! Dokter Alice, Coroline Williams dia masih hidup!!" itu pesan yang di tuliskan Tn. Alfred padanya sebelum ia keluar dari Rumah Sakit.

Alice tampak gusar dengan semua yang terjadi padanya hari ini. " Wanita itu masih hidup dan membuat diriku hancur seperti ini, lalu jasad siapa yang aku periksa 3 hari yang lalu?? Hah, kalau dia masih hidup lalu makam siapa yang aku datangi tadi??" Alice berteriak dengan marah nya, dia menghamburkan barang-barang yang ada di atas meja kerjanya, lalu berteriak histeris.

Alice duduk disudut kamar dan menangis sesenggukan, dia menangisi karirnya, menangisi setiap kata yang keluar dari mulut direkturnya tadi, menangisi kata-kata yang diucapkan wanita dikuburkan tadi, juga menangisi kenapa disaat seperti ini ada seseorang yang mengungkapkan cinta padanya.

Alice lalu beranjak dari duduknya dan menuju dapur. Ia mengambil sebotol anggur dari kulkas dan ia pun duduk di ruang tamu sambil menikmati anggur dan rokoknya. Ini adalah sisi lain dari pribadi Alice yang tak banyak orang mengetahuinya. Ponsel Alice berdering, tapi wanita itu enggan beranjak dari tempat duduknya untuk mengambil Ponsel yang entah ada dimana, hanya suara ponsel itu yang berdering memenuhi ruangan apartemen yang sunyi. Suara ribut dari ponsel itu sama sekali tidak dihiraukan Alice, sedangkan wanita itu yang sedang berbahagia di sana ingin memperdengarkan kabar baik itu pada Alice, wanita itu berusaha untuk terus menghubungi Alice, namun tetap tak ada jawaban. Ada hal baik yang ingin diceritakan wanita diseberang sana, mungkin cerita itu merupakan keberuntungan lain yang dapat Alice peroleh hari ini. Wanita itu adalah sahabatnya Viona Rahaya.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status