Share

De Javu

Just like yesterday, you and I, catch the memories all over again.

-Kanietha

Setahun kemudian.

Hari ini adalah giliran Giana menginap di rumah Kakek Abhinya, oleh karena itu sebelum jam makan siang Genta buru-buru menjemputnya di kediaman keluarga Andreas, agar bisa mengajak keponakan cantiknya itu untuk makan siang bersamanya terlebih dahulu. Sebenarnya Zio dan Lastra sudah pindah ke rumah mereka sendiri pada saat Giana berusia tepat dua tahun, namun tiga bulan kemudian Lastra kembali hamil dengan mengalami morning sick yang parah sehingga mau tidak mau mereka kembali lagi tinggal di kediaman Andreas bersama orang tua Zio. Agar ada yang mengawasi Giana yang semakin aktif itu, lebih intens lagi.

Rambut lurus Giana kini sudah di kuncir dua dan sudah duduk manis pada kursi penumpang di belakang dengan memakai car seat untuk melindunginya serta menghidari sesuatu yang tidak di inginkan terjadi. Sepanjang perjalanan Giana selalu saja berceloteh dan bersenandung tiada henti. Genta sampai sudah hapal semua lagu yang selalu di nyanyikan oleh Giana.

If you're happy and you know it

Clap you hands

If you're happy and you know it

Clap your hands

If you're happy and you know it

Then your face will surely show it

If you're happy and you know it

Clap you hands

Yah begitulah, dengan kompaknya Om dan keponakannya itu bernyanyi bersama-sama, meskipun kalimat yang diucapkan Giana masih ada yang belum jelas, tapi paling tidak mereka berdua tau kemana nada lagunya akan berakhir.

Genta mengajak Giana untuk makan siang di dekat showroomnya, karena ada beberapa dokumen pajak yang ternyata harus Genta tandatangani. Tidak ada yang menyangka kalau Genta yang dulu sangat cuek dan serampangan, kini menjadi pria yang sangat lembut dan telaten kalau sudah berurusan dengan Giana. Orang yang tidak mengenalnya mungkin akan mengira Genta adalah seorang duda keren beranak satu, karena seringnya ia mengajak Giana untuk sekedar berjalan-jalan berdua dengannya.

Setelah selesai dengan urusan kantornya dan makan siang bersama Giana, tujuan selanjutnya adalah pulang mengantarkan Giana kepada kakek dan omanya yang memang sudah menunggu sedari tadi.

Giana mengalungkan tangannya di leher Genta, sembari bersenandung bersama saat pria itu menggendong gadis kecilnya menuju parkiran. Namun nyanyiannya terhenti karena melihat punggung seorang gadis yang sedang mengendap di samping mobilnya. Gadis itu memakai celana jeans dan seragam dari perusahaan yang sangat ia kenal, dengan rambut hitam lurus yang di ikat ke atas seadanya.

Kali ini Genta tidak lagi menggebrak mobilnya, karena sedang menggendong Giana, ia khawatir nantinya gadis kecil itu akan meniru tingkahnya.

“Mbak! Ngapain di sini?” tanya Genta dengan dingin.

Gadis itu sedikit terkejut lalu berbalik, sekali lagi ia terkesiap kagum memandang wajah pria yang pernah ditemuinya satu tahun yang lalu, yah ia masih sangat ingat dengan wajah itu, tidak berubah sama sekali.

Gadis itu menarik nafasnya, tersenyum manis. “OM GENTA?! Iya kan?!”

Genta mengernyitkan dahinya dalam, masih berfikir, suara yang di dengarnya seolah tidak asing, namun ia lupa dimana pernah mendengarnya dan seingatnya satu-satunya orang yang pernah memanggilnya dengan kata Om adalah gadis SMA yang pernah …

Tiba-tiba Genta membulatkan matanya. “LO—”

“HENING!”

Mereka berseru bersamaan lalu tertawa.

“Ayah, capa itu?” Giana tiba-tiba menyeletuk memandang Hening malu-malu.

“Anaknya ya Om, duuh cakepnya. Halo adek tantik, panggil akuh Onti Hening, nama kamu ciapa Cayank.” Hening bertanya dengan wajah imut dibuat-buat, Ia gemas lalu mencubit pelan pipi Giana yang bulat. “Eh, bibirnya mirip gue Om,” lanjutnya lalu kembali tertawa.

“Sembarangan kalau ngomong!” seru Genta seraya memperhatikan penampilan Hening yang kini berubah 180 derajat. “Onti, onti, kenapa gak onta aja sekalian! Ngapain lo di sini? Jangan bilang kalau—”

“Gue barusan lihat pacar gue sama cewek lain Om, di sono,” sela Hening menunjuk ke sebuah ruko yang ternyata adalah showroom mobil milik Genta.

“Ayah, apa itu pacal?” Giana kembali menyeletuk menatap bingung pada Genta.

Genta segera melayangkan tatapan tajam pada Hening yang kini sudah menutup mulut dengan kedua tangannya. Ia menggaruk kepalanya seraya memikirkan jawaban yang tepat.

“Pacar itu maksudnya teman, Sayang,” celetuk Hening tiba-tiba menjawab sekenanya. “Oia, nama kamu ciapa tadi, Onti belum tau?” tanyanya untuk mengalihkan pembicaraan.

“Jiana,” jawab Giana

“Oohh Jiana,” ulang Hening manggut-manggut.

“Giana, bukan Jiana.” Genta meralat.

Hening kembali membulatkan mulutnya.

Genta menggeleng membuka pintu mobil bagian belakang lalu segera meletakkan Giana di car seat nya.

“Hening! Lo ikut gue!” seru Genta setelah menutup pintu mobil di tempat Giana duduk.

“Eh, gak bisa Om, tu dia udah mau keluar noh,” tunjuk Hening pada ruko yang di kelilingi oleh dinding kaca.

“Justru itu, lo harus ikut gue, se-ka-rang!” Seperti mengulang masa lalu, Genta kali ini juga menarik tangan Hening dan menyuruhnya masuk ke dalam mobil. Hening baru saja hendak protes namun tatapan tajam Genta sontak menciutkan nyalinya. “Jangan ngomong kalau belum gue suruh ngomong, Giana di belakang sudah ngantuk!” perintahnya lalu segera melajukan mobilnya.

Sepanjang perjalanan Hening benar-benar tidak membuka suara sedikitpun, namun tidak dengan tubuhnya. Ia memanfaatkan moment tersebut untuk selfie sebanyak mungkin dengan berbagai macam pose di dalam mobil Genta. Hening juga sempat mengabadikan beberapa fotonya dengan Giana juga Genta, tanpa sepengetahuan Genta tentunya.

Genta tidak mempedulikan apapun yang dilakukan Hening yang berada di sampingnya kini. Ia mengajak Hening ikut hanya semata-mata khawatir, jika gadis itu akan melakukan hal bodoh seperti satu tahun yang lalu. Genta tidak bisa membayangkan, bila peristiwa kala itu akan terjadi di showroomnya sendiri.

Hening sedikit mengerutkan dahinya ketika mobil berhenti sejenak di depan sebuah rumah dengan pintu gerbang yang sangat mewah, ada sebuah pos security kecil disampingnya yang berisi dua orang satpam. Tak lama kemudian pintunya terbuka, dan mobil Genta pun masuk dan hanya parkir di halaman rumah.

“Tunggu di sini, jangan ke mana-mana, ngerti?!” Genta sedikit memelankan suaranya karena Giana sedang tidur dan tak ingin membangunkannya.

Setelah menyerahkan Giana kepado Omanya, Genta bergegas kembali ke mobil dan tinggallah mereka berdua saja di dalam mobil.

“Gue udah boleh ngomong gak, Om?” tanya Hening.

“Emang lo mau ngomong apa?”

“Tadi itu, rumahnya Om Genta?”

“Rumah Bokap gue.”

“Wuiih gilaa! Bokapnya, Om Genta kerjanya apa?” tanya Hening penasaran.

“Banyak! tapi sekarang udah pensiun, dan cuma mantau dikit-dikit di belakang layar. Sekarang lebih ke ngurus cucu doang. Mau tanya apa lagi?”

Hening membulatkan mulutnya sejenak. “Terus kenapa gue harus ikut Om, sih?”

“Biar lo gak buat onar kayak dulu, eh tapi ngomong-ngomong, lo udah jadi cewek beneran sekarang?” tanya Genta melirik sekilas ke arah Hening

Hening tergelak. “Emang dulu gak beneran ya, Om?” ia lalu bersedekap. “Ck, iya sih, tadinya gue mau nyamperin tuh cowok udah mau gue gampar aja rasanya, ceweknya juga! Eh tapi ceweknya, kan, gak salah ya Om? Jadi lewatin ajalah, fokus ke tuh cowok brengsek!” satu tangannya sudah mengepal dan meninjukannya ke udara.

“Susah kalau jiwa preman sudah mendarah daging, apa-apa pake kekerasan!” sindir Genta.

“Eh, jangan salah Om, gue gini-gini udah tobat kali, udah lama gue gak ngehajar orang, sialan tuh cowok, awas aja nanti kalau ke kosan, gue habisin dia!” kata Hening berapi-api.

Genta terkekeh. “Emang udah berapa lama lo pacaran?”

“Baru juga jadian kemarin Om, ehh ni hari udah berani dia gandeng cewek lain, untung aja gue gak cinta sama dia!” jawab Hening dengan polosnya.

Genta tidak lagi bisa menahan tawanya. “Lo, baru jadian kemarin? terus kalau gak cinta kenapa jadian?”

Hening berdecak kesal. “OM! Mending turunin gue di sini deh, lo gak ngerti apa, gue lagi kesel, lagi pengen nonjok orang nih, Om mau jadi sasarannya?”

“Ciyee, yang lagi patah hati, gitu bilangnya gak cinta?” kekeh Genta. “Tapi Ning, lo jangan suudzon dulu, siapa tau itu keluarga—”

“Mana ada keluarga pake grepe-grepe gitu Om, nyuri-nyuri kesempatan pegang-pegang di depan umum. Ish, eneg kan gue ingetnya!”

Genta semakin tertawa di buatnya, wajah Hening yang lagi marah itu terlihat sangat menggemaskan baginya.

“Pokoknya putus! Putus! Putus!” Hening masih saja melanjutkan omelannya.

Genta lalu teringat sesuatu. “Eia, itu, seragam yang lo pake, lo kerja di Metro Ibukota?” Tanyanya menyebutkan salah satu nama perusahaan media cetak yang terbesar.

Hening menunduk melihat seragam yang ia pakai. “Eh, iya Om, gue staff iklan di sana.”

“Anak baru?” tanya Genta lagi.

“Udah 10 bulanan sih di situ, Tapi Om, ini kita mau ke mana sih? Gue masih harus ambil materi iklan, balikin gue ke tempat tadi!”

“Oke,” jawab Genta singkat.

Dan kali ini sepanjang perjalanan Genta hanya mendengarkan celotehan Hening yang tanpa henti menceritakan hal-hal konyol yang membuat pria itu tertawa.

“Om makasih ya, tapi gue gak usah pake dianterin sampe masuk gini kali Om.” Hening berujar dengan penuh percaya diri saat Genta dan dirinya memasuki ruko mewah yang sebenarnya adalah showroom mobil milik pria itu.

“Jangan ge-er lo, bocah.” Genta kembali menoyor kepala Hening.”Gue gak nganterin lo, gue mau ke atas, lo mau ngurusin iklan kan?” Genta memegang bahu Hening dan memutar tubuh gadis itu. “Noh, lo masuk ke ruangan itu, lo cari yang namanya Mbak Ade.” Tunjuk Genta pada sebuah ruangan yang juga berdindingkan kaca transparan.

“Udah tau gue, tapi …” Hening tidak jadi melanjutkan kalimatnya karena Genta sudah berlari menaiki tangga untuk segera pergi ke ruangannya yang berada di lantai dua.

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Daanii Irsyad Aufa
dua kali nih ya pertemuan ngga d sengaja..
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status