Share

Sister to a Brother

Brothers are Superman, Spiderman and Batman of their sisters

-Unknown

~~~

Belum sempat Esa melangkahkan memasuki rumah masa kecilnya, Bagus Prasetyo, sang ayah sudah lebih dahulu menghampiri. Pria itu memeluk dan menepuk-nepuk punggung putra kesayangan yang sudah jarang sekali pulang ke rumah. Tertawa renyah sebentar, kemudian menarik diri.

“Anak kesayangan gue, akhirnya ingat pulang juga.” Bagus berdecak berkali-kali dengan gelengan.

Esa hanya tersenyum miris. Bergegas masuk, lalu duduk di salah satu kursi yang ada ruang tamu. “Aku mau ngomong sama Bapak,” ucapnya dingin.

Bagus yang masih tidak bisa menyembunyikan senyumnya, segera duduk berhadapan dengan Esa, dengan sebuah coffee table sebagai penengahnya. “Nanya kabar Bapak lo dulu kek, basa basi.”

“Bapak udah pasti sehat, bisa kelihatan, kok.” Esa sedikit mencondongkan tubuh. “Bapak bener nyuruh Hening nikah?”

Senyum di wajah Bagus menghilang seketika, berganti dengan ekspresi serius. “Denger dari mana?” tanyanya, lalu berpikir kilat. “Ahh pantas Hening tadi gue tunggu nggak muncul-muncul, dia pasti sudah dengar juga, ck. ZIAAHH!!!” teriak Bagus kemudian setelah menyimpulkan sesuatu.

“Jadi bener?” desak Esa. “Pak, Hening itu baru 19 tahun, jangan paksa dia buat nikah, biarin dia nikmatin masa muda dia—”

“Iya, Bang!” Ziah menghampiri Bagus, berlari tergopoh dari belakang menyela kalimat Esa.

Bagus mengalihkan pandangannya ke Ziah. “Lo ya, yang ngabari Hening kalau dia mau gue kawinin? iya kan?”

Ziah pura-pura terkejut, lalu melirik Esa sekilas. “Kapan gue ngasih tahu Hening,” ujarnya berakting bodoh seraya menggaruk kepala. “Abang, kan, tahu, gue nggak ada ke mana-mana, cuma di rumah belakang, lagian anak gue baru datang dari pesantren Bang, coba tanya aja sama Riris, gue cuma di rumah aja, kaga ke mana-mana dah, Bang!”

Bagus berdecak kesal. “Ya sudah pergi sana, biar gue cari tahu sendiri nanti!”

“Eh, Esa! Tumben dateng, entar mampir rumah belakang ya, ada Riris, pasti—”

“Ziah!” 

“I-iya Bang, pergi gue, pergi,” kata Ziah bersungut, dan bergegas kembali ke rumahnya yang ada belakang.

Esa kembali menatap dingin pada Bagus. “Hening mau di nikahkan sama siapa?” 

“Anaknya Abraham,” ujar Bagus yang kini sudah menyematkan rokok di sela jari.

“Astaga, Pak! Anak Pak Abraham itu cuma Dewa, dan dia sudah punya istri, Bapak tega bener mau jadiin Hening istri ke dua.” Esa mengepalkan kedua tangan. Ia memang benci dengan Hening dan ibunya, tetapi tetap saja ia tidak sampai hati jika harus melihat adik satu-satunya itu akan menderita. Ikatan Esa dan Hening seperti love hate relationship. Namun, Esa tidak pernah menunjukkan rasa cintanya itu pada Hening

“Dewa udah cerai sama istrinya, mereka juga nggak punya anak, nggak ada ruginya kalau Hening nikah sama dia. Secara fisik, gue yakinlah Hening nggak akan nolak Dewa, belum ketemu aja mereka." Bagus terkekeh dengan penuh keyakinan. "Dan yang pasti, Hening nggak akan kekurangan apapun, Sa! Hidupnya terjamin!”

“Hidup Hening atahu hidup Bapak yang terjamin?” sambar Esa tersenyum sinis. “Pak Abraham mau ada proyek di Pelabuhan Barat, kan? Pasti dia minta tameng sama Bapak. Terus, sebagai balasannya, Bapak minta anaknya buat nikahin Hening,” Dengan cepat Esa dapat menyimpulkan hal tersebut. "Bapak manfaatin Hening, anak Bapak sendiri!"

“Lo itu nggak ngerti apa-apa, Sa!”

“Justru aku orang yang paling tahu semua yang ada di pikiran Bapak!” seru Esa masih bisa menahan emosinya. “Emang nggak cukup udah dibayar pake duit, sampe harus bawa-bawa Hening segala?” Esa berdiri kemudian. “Jangan bawa-bawa Hening dalam urusan kotor Bapak. Biarkan dia bebas, hidup sesuai keinginannya tanpa harus terjerat dengan dunia hitam kayak gini!”

“Jaga mulut lo, Sa! Emang siapa yang biayai lo dari kecil? Uang dari mana selama ini yang lo makan? Ha?” Bagus membentak dan hampir tidak bisa mengontrol emosinya. Tangannya sudah meremat sebatang rokok yang tidak jadi ia sulut sedari tadi.

“Aku tahu Pak. Tapi karena itu juga, aku memutuskan pergi dari sini, dan aku harap Bapak juga nggak ikut campur dengan hidup Hening. Kalau masih diteruskan, aku nggak akan segan bongkar siapa aja pejabat yang sudah berbuat kotor, dan make jasa Bapak untuk menyelesaikan semua masalah mereka.” Esa menarik napas untuk menahan emosi setelah berbicara panjang lebar.

Bagus terdiam dengan rahang mengetat. Satu-satunya anak laki-laki kebanggaannya, ternyata berani membelot dan mengancam Bagus seperti sekarang. Padahal, sedari kecil Bagus selalu menuruti permintaan Esa. Namun, apa balasannya?

“Jangan ganggu hidup Hening, maka aku akan tutup mulut selamanya.”

~~~

“Bang, Bang, itu, tuh, Non Hening baru keluar! Mau ke parkiran, cepetan Bang! Samperin!”  seru seorang pria yang berada di belakang kemudi, dan memang sedari tadi sudah menunggu Hening di luar kantornya. Meskipun ini adalah hari libur, tetapi terkadang Hening juga harus ke kantor bila ada keperluan tentang materi iklan yang ia tangani.

Pria yang duduk di kursi penumpang akhirnya keluar dengan tergesa, untuk menghampiri gadis itu.

Langkah Hening terhenti saat melihat pria bertubuh tegap, layaknya bodyguard yang sudah berada di hadapan.

“Non Hening, kan?” tanya pria itu sopan dan tegas.

Hening tidak menjawab, ia malah bersedekap melihat dengan tatapan menantang ke arah pria itu. Sudah sering melihat banyak pria besar dan sangar sedari kecil di lingkungannya, maka Hening tidak merasa takut sama sekali.

“Bisa ikut saya, Bos saya mau ketemu dengan Non?” ucap sang pria masih sopan.

Entah kenapa perasaan Hening tidak nyaman. “Bos? Dari perusahaan apa, ya? Mau pasang iklan?” tanyanya, tetapi tidak bisa menyingkirkan rasa gusar yang menyelinap di hati.

Pria itu berpikir sebentar. “Iya Non, mau pasang iklan. Mari Non, ikut saya.”

Hening menipiskan bibirnya, ragu-ragu akan ajakan pria tersebut. Namun, akhirnya ia pun mengangguk dan mengikuti pria itu, berjalan bersisian.

Langkah Hening terhenti di depan mobil yang dituju.  Ia sangat mengenal pria yang saat ini berada di belakang kemudi mobil. “Lo, di suruh bapak gue ya?”

“Nggak Non, bos saya yang mau ketemu.” Pria itu juga berhenti. Kemudian, dengan sigap meraih lengan Hening dan menariknya menuju mobil. Baru saja Hening hendak berteriak, mulutnya segera dibekap dan dipaksa masuk ke dalam mobil. Duduk di kursi penumpang bagian belakang.

“Jalan, Ben!” perintah pria itu, yang sudah duduk di samping Hening dan melepas bekapan mulut gadis itu.

Hening tersenyum sinis melihat pria yang bernama Beni. Pria yang duduk di belakang kemudi tersebut, merupakan salah satu anak buah Bagus yang sudah sangat Hening hafal. “Di suruh bapak, kan, lo Ben!”

“Maaf, Non,” ucap Beni takut-takut sambil melihat Hening sekilas pada kaca spion bagian tengah.

“Mampus di tangan gue, lo habis ini!” ancam Hening yang seketika membuat Beni menelan ludah.

Beni kembali teringat dengan kejadian saat Hening menjadikannya sasaran amarah. Saat itu, Beni mencoba menghalangi gadis itu mengejar Bagus yang sedang pergi membawa perempuan lain. Alhasil, bibir Beni robek, dan ada beberapa lebam di dada serta punggungnya. Pukulan gadis itu, benar-benar seperti seorang preman dan Beni tidak habis pikir.

Masih di tempat parkir yang sama, ada Zaid yang baru saja keluar dari mobil. Kebetulan, ia hendak mampir ke Metro, untuk menemui manajer iklan, tetapi sontak mengurungkan niatnya. Dari jarak yang tidak terlalu jauh, Zaid melihat Hening yang dibawa paksa oleh seorang pria dan memasuki mobil yang langsung melaju kencang. Lantas, Zaid kembali masuk ke mobilnya dan bergegas menyusul Hening sembari menghubungi Esa.

Setelah membuntuti hampir setengah jam, mobil yang ditumpangi Hening masuk ke dalam sebuah komplek ruko mewah. Zaid yang kehilangan jejak, harus berputar sedikit mengitari ruko sampai akhirnya menemukan mobil yang dibuntutinya sudah terparkir di depan sebuah restoran. Ia pun kembali menghubungi Esa untuk memberitahukan posisinya saat ini.

“Woii, Id! Ngapain lo di sini.”

Zaid berbalik dan terkejut melihat Genta. “Genta?”

“Iya, ini gue Genta! Emang siapa lagi? Setan?” Tangan Genta tanpa sadar sudah menoyor kepala Zaid.

“Astaga! Lo! Ingat umur Gen!” bentak Zaid lalu menendang kaki Genta dan hanya dibalas tawa oleh pria itu.

Genta merangkul Zaid yang masih sibuk dengan ponselnya. Mengajaknya masuk ke dalam restoran. “Nunggu siapa lo?” tanyanya lalu melambaikan tangan kepada kedua sahabatnya yang memang sudah lebih dulu berada di sana.

Langkah Zaid terhenti. “Zio sama Hans? Kalian janjian?” tanyanya tidak terima karena tidak dihubungi untuk berkumpul bersama.

Genta berdecak pelan. Lalu membawa paksa Zaid untuk kembali melangkah, menghampiri dua sahabat mereka. “Bini mereka berdua yang janjian, lagi ke spa khusus bumil di depan sono,” telunjuk Genta menunjuk ke sembarang arah. “Gue nggak sengaja aja tadi nelpon Zio, katanya mau ke sini bareng Hans.”

“Hei, Id, di sini juga?” celetuk Hans sembari menarik kursi di sampingnya untuk Zaid.

Zaid tidak menggubrisnya. “Lo bedua, ada lihat cewek pake kemeja warna biru dongker nggak? Rambutnya diiket biasa, pake tas ransel merah, masuk sini?”

“Sama dua cowok, bukan?” tanya Zio memastikan.

Zaid mengangguk, dan sudah yakin gadis itu adalah Hening.

“Ke atas tadi, kalau bener itu, ya,” balas Zio sedikit mengerutkan alis menatap Zaid.

“Kenapa, Id?” tanya Genta penasaran. “Lo udah mau kawin juga, masih aja nyari cewek lain.”

“Berisik, lo, Gen!”  sentak Zaid yang memasang wajah serius dan khawatir sekaligus. Sejurus kemudian, ia menangkap sosok Esa yang masuk melewati pintu dengan tergesa. “Sa!” panggil Zaid sambil melambai tangan.

“Heningnya di sini Pak?” tanya Esa yang baru saja menghampiri Zaid dengan terengah. Namun, matanya memandang ke sembarang arah untuk mencari sosok Hening.

Hening? Genta membatin, dan memandang tidak suka kepada Esa, mengingat apa yang dilakukan pria itu kepada Hening kemarin sore.

“Teman saya lihat dia ke atas sama cowok, kemungkinan cowok yang bawa dia tadi,” ucap Zaid khawatir.

Kening Genta makin terlipat dalam, tidak paham.

“Ada apaan, sih, Id?” Hans mulai curiga dengan sikap Zaid yang tidak seperti biasanya.

“Ya udah Pak, makasih, saya ke atas dulu.” Esa lalu berbalik, tetapi tangannya di tahan oleh Zaid.

“Saya ikut!” seru Zaid tanpa menghiraukan pertanyaan Hans.

“Jangan Pak!” sergah Esa dengan cepat, lalu melanjutkan kalimatnya. “Jangan sampai ada yang tahu kalau Pak Zaid ada hubungan dengan semua ini.”

“Nggak bisa gitu Sa—”

Esa menepuk bahu Zaid menyela. ”Cuma saya sama Hening yang bisa nyelesain masalahnya. Makasih ya Pak. Oia, jangan pecat saya ya,” lanjutnya terkekeh lalu berlari tergesa menaiki tangga.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status