Share

Small Talk

Each of us just needed someone to talk to, and share everything that we had in mind.

 ~Kanietha

Setelah terjadi sedikit keributan di Green Resto, Esa dengan terpaksa menjelaskan pokok permasalahannya pada Zaid secara singkat. Kemudian, ia segera berpamitan dan tidak lupa berterima kasih atas bantuan Zaid dan teman-temannya. 

Esa membawa motor sportnya dengan kecepatan di atas rata-rata, hingga Hening mau tidak mau harus memeluk sang kakak dengan erat. Hening hanya bisa terdiam pasrah, daripada menyela hingga menyebabkan sesuatu yang buruk terjadi pada mereka berdua.

Setelah tiba di kontrakannya, Esa segera menarik lengan Hening ke dalam rumah. Karena masih dirundung kesal, Esa menghempaskan tubuh Hening pada salah satu sofa di ruang tamunya dengan kasar.

“Lo itu! CK!” Esa tidak dapat berkata-kata untuk mengungkapkan kekesalannya pada Hening. Ia menunjuk tajam sang adik, yang memasang wajah tanpa dosa sama sekali. 

“Lo mau buat gue mati muda Kak! Naik motor kayak orang kesetanan, kalau aja gue jatoh terus koit di tempat, gimana?” protes Hening tidak menyimpan rasa bersalah sama sekali pada Esa.

“Bukan urusan gue!” Esa lantas berlalu ke belakang, untuk mengambil minuman dingin.

Hening segera beranjak mengikuti sang kakak dengan cepat. “Kalau bukan urusan elo, kenapa tadi pake datengin gue segala?” tanyanya penasaran.

“Kebetulan aja gue ada di situ,” jawab Esa sekenanya, dan tidak ingin terlalu menunjukkan kepeduliannya dengan masa depan Hening. Saat sudah sampai di depan lemari pendingin, Esa segera membukanya dan mengambil satu buah kaleng soda. Ia membukanya, lalu meminum dengan perlahan untuk mendinginkan suhu tubuh yang masih saja terasa panas. 

Hening merampas kaleng soda tersebut dari tangan Esa, setelah pria itu selesai menenggaknya.. “Gue mau pulang!” seru Hening lalu menghabiskan sisa minuman yang masih ada dalam kaleng tersebut.

Esa memandang Hening, lalu menghela napas lega. “Lo pindah, tinggal sama gue mulai sekarang!” perintahnya.

“Hah!” Hening mengerutkan dahinya. Tidak mengerti dengan maksud sang kakak. Kenapa juga Hening harus tinggal satu atap, dengan pria yang selalu bersikap tidak baik dengannya. “Ogah! Bukannya Kak Esa sendiri yang bilang kal—”

“Lo nggak lihat sekarang lo berurusan sama siapa?” sela Esa semakin kesal karena Hening begitu bebal.

“Gue mau ngomong sendiri sama Bapak,” ucap Hening.

“Bapak nggak akan berubah pikiran.” Esa menarik kursi di meja makan dan duduk di sana. “Dan ribetnya lagi, si Dewa itu sekarang malah ngincar elo.”

Hening mengangkat bahunya. Seolah meremehkan semua ucapan Esa. “Dewa doang, nggak takut gue.” Ia bersedekap, lalu menyandarkan tubuh pada lemari pendingin yang sudah tertutup.

Esa menggebrak meja hingga membuat Hening berjengit. Andai saja Hening itu adalah pria, maka Esa tidak akan segan untuk memukulnya. “Hening! Lo itu cewek! Kalau lo ditangkap, disekap terus diperkosa, mau jadi apa lo!”

Hening terdiam memikirkan semua perkataan Esa. “Ck, kayaknya gue mesti pulang ke rumah Bapak deh.” Hening menghampiri Esa lalu menarik kursi di samping pria itu. Ia ikut mendaratkan tubuhnya di sana, lalu menoleh pada sang kakak. “Gue mau ambil handgun, buat jaga-jaga.”

Esa membeliak dan reflek menoyor jidat gadis itu. “Astaga Hening! Lo itu warga sipil yang nggak punya ijin bawa senjata, kalau ketangkap mau jadi apa?”

Hening merosot lesu. Meletakkan kepalanya pada meja makan dan menghadap Esa. “Tapi Kak, ngomong-ngomong si Dewa itu manis juga! Mukanya baby face, umur berapa, sih, dia? Kalau gue jadi istrinya aja … gimana menurut lo?”

Esa menggeleng tidak habis pikir dengan cara kerja otak adiknya itu. Ah ya!, Esa baru ingat, otak Hening itu memang pas-pasan. Bisa naik kelas dan lulus sekolah saja, itu sudah pencapaian yang luar biasa untuk gadis itu. 

Meskipun begitu, Hening sangat mudah bergaul dan dapat masuk ke ranah lingkungan mana saja. Mungkin, salah satunya karena mulut Hening yang selalu tidak bisa diam itu. Semacam tong kosong, tetapi nyaring bunyinya. Seperti itulah Esa menganggap Hening selama ini, bila gadis itu sedang mengoceh panjang lebar.

“Bukannya lo sendiri yang ngomong ke gue, kalau lo nggak mau dinikahin? pake mohon-mohon berlutut segala,” sindir Esa kembali mengingatkan.

“Yaaa …” Hening berpikir sejenak. “Gue kira bakal dikawinin sama Pak Abraham.” Ia meringis sejenak pada Esa, lalu melanjutkan kalimatnya. “Ternyata sama Dewa, eh anaknya, kan, ya, si Dewa itu? Cakep juga, sih, kalau dipikir-pikir. Mana kaya juga, kan? Nggak rugi juga nikah sama dia. kayaknya.”

“Bukannya tadi lo bilang nggak suka?” decak Esa ingin kembali menoyor kepala Hening, tetapi ia urungkan.

Hening menghela napas. Bingung. Entah apa yang harus ia lakukan ke depannya. Hening kemudian bangkit, lalu bersandar pada kursi dengan memerosotkan sebagian tubuhnya di bawah meja. “Kak …” Hening menjeda kalimatnya sejenak untuk menghela. “Kalau sudah kayak gini, gue itu nggak bisa maju atau mundur.”

“Maksud lo?”

“Seperti yang lo bilang tad,i kalau Dewa sekarang ngincar gue, kan? Kalau gue mundur, pasti Dewa nggak akan ngelepasin gitu aja, kan? Kita juga sama-sama tahulah gimana tabiat keluarga Lee. Tapi kalau gue maju dan nurutin kemauan Bapak … nasib gue nggak akan jauh-jauh dari dunia yang pengen banget gue tinggalin.”

Pandangan Hening lantas menerawang, pada langit-langit rumah kontrakan Esa yang sederhana. “Gue pengen, kalau nanti gue nikah terus punya anak, keluarga gue bisa hidup normal kayak orang lain. Ck! Apa gue pergi aja ke luar negri ya?” celetuknya seketika membuat Esa semakin kesal.

“Nggak habis pikir gue, kenapa bisa punya adek kayak lo!”

Hening berdiri mendadak dengan bola mata berbinar menatap Esa. “Jadi, lo sudah anggap gue adek nih ceritanya.” Hening lalu terkekeh meledek Esa.

“Nggak akan! Sampai kapanpun!” Esa bangkit pergi menuju kamarnya. Sebelum menyentuh handle pintu ia berbalik. “Lo, kalau mau ngapa-ngapain,  pikir dulu pake otak! Kalau otak lo nggak sanggup, lo masih boleh datang ke gue!” seru Esa lalu masuk ke dalam kamar, dan menutup pintu untuk beristirahat.

~~~

Genta pulang mendapati Lastra dan Zio sudah berada di ruang tengah kediaman Abhiraja, ketika ia pulang ke rumah. Sepasang suami istri itu memang lebih dulu pergi dari Green Resto, setelah Lastra selesai melakukan spa ibu hamil. 

Semua keluarga tampak berkumpul di sana dan langkah Genta tertuju pada tempat duduk sang mama. Tanpa rasa segan, ia langsung berbaring dan meletakkan sisi wajahnya di atas paha mamanya. 

“Hadeeh, Bang, ingat umur, udah mau nikah juga!” seloroh Lastra dengan menggeleng. Ternyata di balik seorang Genta yang sangat “nakal” di luaran sana, pria itu bisa bersikap manja seperti itu dengan sang mama. 

Genta bangkit dengan wajah bingung. Kedua alis tebalnya pun mengerut. “Emang, siapa yang mau kawin? Gue? Sama siapa?” 

“Katanya habis kencan, kemaren?” celetuk Zio dengan senyum miring, dengan tujuan meledek pria itu.

Genta memutar bola matanya malas. Ia kembali merebahkan diri di pangkuan sang mama. “Tolong diralat, makan doang bukan kencan.”

“Emang kamu nggak tertarik sama Ara?” tanya Ruby tiba-tiba memasang intonasi serius.

“Cantik nggak Ma? Seleranya Genta itu nggak bisa ketebak soalnya,” tanya Zio lalu terkekeh. Lagi-lagi, hal tersebut ia lakukan untuk meledek sahabatnya.

“Banget!” jawab Ruby cepat.

“Terus? Kurangnya apa Bang?” sambar Lastra penasaran. “Kok kayak nggak minat gitu ceritanya?” 

“Nggak ada chemistry gue, sama dia,” seloroh Genta dengan cueknya,

“Jalani dulu aja Gen, kan baru sekali ketemu,” kata Ayah Abhi memberi masukan.

“Kalau sudah dijalani, tapi masih nggak bisa, gimana Pa?” Pikiran Genta sebenarnya sedang dilanda kebingungan. Bisa-bisanya ia tidak tertarik dengan gadis cantik nan pintar seperti Ara. “Entar, Aranya udah ngebet, akunya yang nggak. Kan, repot.” Genta menutup mata dengan tangannya lalu menghela panjang.

Awalnya, Genta memang ingin mencoba menjalaninya bersama Ara. Namun, setelah sebuah ciuman yang terjadi di parkiran kemarin, entah mengapa Genta mengurungkan niatnya. Genta tidak merasakan detak jantung yang melaju cepat, seperti saat Lastra menciumnya kala itu. 

Lagi-lagi, Genta membandingkan wanita yang ditemuinya dengan Lastra. Padahal, wanita itu nyata-nyata adalah adik kandungnya sendiri. Mungkin benar seperti kata Ruby, Genta memang belum bisa move on dari bunda Giana itu.

Bisa gila, aku lama-lama kalau seperti ini, Genta membatin kebingungan dengan perasaannya. 

Namun, seketika satu sudut bibirnya terangkat. Kilasan bayangan Hening yang sedang menantang Dewa, melintas di pikirannya. “Dasar cewek preman!” gumamnya sembari tersenyum sendiri.

“Apa Gen? siapa yang preman?” tanya Ruby yang ternyata mendengar apa yang digumamkan oleh anaknya itu.

Genta berusaha tenang dan tetap santai. “Oh enggak, tadi habis ketemu preman di restoran.”

“Jangan coba dekat-dekat dan bergaul dengan preman Gen,” nasihat Abhi yang juga mendadak bersikap serius. “Kamu nggak akan pernah tahu, seperti apa jalan pikiran mereka sebenarnya. Jadi, jauhi mereka.” 

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status