Share

Furious Curiosity

When you’re curious you find lots of interesting things to do.

-Walt Disney

--

“Cepetan ke KANTOR!”

Hening menghela kecil saat membaca pesan yang dikirim manajernya. Baru saja ia hendak membalas, muncul satu lagi pesan di bawahnya. Mau tidak mau, Hening membacanya sebentar, dan menunda membalas pesan tersebut.

“SEKARANG.”

“NGGAK PAKE LAMA!”

Hening sampai harus mengerjap beberapa kali . Bertanya-tanya, dan mengingat-ingat apa dirinya ada berbuat salah belakangan ini. Namun, ia yakin tidak berbuat sesuatu yang melenceng dari job desknya.

Padahal, Hening sudah memiliki janji dengan seseorang yang hendak memasang iklan. Karenanya, dengan terpaksa tugas tersebut ia limpahkan kepada rekan yang lain, dan segera melajukan motornya menuju kantor.

Sesampainya di parkiran kantor, Hening bergegas berlari kecil. Ketika baru memasuki lobby kantor, Hening merasa heran melihat Ilham yang mondar mandir mirip setrikaan.

“Pak Ilham,” panggil Hening setengah berbisik. Entah kenapa juga ia harus berbisik seperti itu, pikirnya.

“AH!” Ilham menepuk tangannya, lalu merangkul Hening dengan cepat dan erat. Hal itu dilakukan, agar Hening tidak pergi ke mana-mana. Kemudian, pria itu sedikit menunduk. “Jujur sama gue, lo ada buat masalah sama klien atau apa gitu?” 

Ilham memang selalu sesantai itu jika berbicara pada bawahannya, tidak pernah memakai bahasa formal.

“Masalah?” tanya Hening bingung. “Saya kalau sama klien udah pasti ramah Pak! Karena kalau nggak ada mereka, saya nggak dapat duit.” kata Hening tidak kalah santai, meskipun memakai bahasa formal.

Pak Ilham melepas rangkulannya, bersedekap memandang Hening menyelidik. “Lo ada urusan apa sama Pak Dewa?”

“Pak Dewa?” Hening mengerjap. ”Emang orang itu, ada ngomong apa sama Bapak?”

“Jadi lo kenal?” 

Hening mengangguk ragu.

“Ck! Sekarang lo ke atas, ke ruangan gue, baek-baek di sana,” titah Ilham sambil menunjuk ke lantai dua. “Pak Dewa sudah nunggu lo dari tadi.”

Hening menatap Ilham tidak percaya. Namun, tidak mungkin juga pria itu membohonginya. Dari wajah panik Ilham saja, bisa terlihat pria itu merasa sedikit tegang. “Orang itu di atas Pak?” 

Ilham mengangguk. Kemudian, ia memutar tubuh Hening, lalu menepuk punggung gadis itu. “Hati-hati kalau ngomong, nasib divisi iklan ada di tangan lo.”

Namun, Hening berbalik cepat ketika Ilham baru saja mendorong tubuhnya. “Dia itu, siapa, sih, Pak, sebenarnya?”

“Astaga Ning, lo nggak tau dia siapa?” tanya Ilham lalu mengusap kasar wajahnya. “Lo kerja di sini, tapi nggak pernah baca tuh koran yang tiap hari seliweran di depan mata lo?” 

Hening mengendikkan cuek.

Ilham menepuk keras jidatnya. “Dia itu salah satu anggota legislatif muda. Hartanya miliaran, pengaruhnya juga besar, meski nggak sebesar Bapak dia.”

“Pak Abraham maksudnya?” celetuk Hening.

“Nah, lo tau sama Pak Abraham tapi sama anaknya nggak tau.”

“Soalnya, Pak Abraham, kan, kadang main ke rumah.”

“APA!” Ilham menatap Hening tidak percaya. Siapa Hening sebenarnya, sampai-sampai pria sekelas Abraham bisa main ke rumah gadis itu.

Saat tersedar, ia sudah salah bicara, Hening segera terkekeh dan memasang tampang bodoh. . “Becanda kali Pak. Saya ke atas dulu ya. Permisiii.”

Hening berbalik, sembari melepas ikat rambutnya. Ia menyugar dengan tangan, lalu menyatukan surainya kembali dan mengikatnya asal. Hening menarik napas untuk mempersiapkan diri. Kemudian, dengan mantap menaiki tangga dan menuju ruangan Ilham.

Di dalam ruangan manajer, Dewa sudah memasang senyum yang paling manis dari balik dinding kaca transparan. Ia bisa melihat Hening berjalan santai ke arahnya, dan tidak sedikitpun ada keanggunan terlihat di sana. Namun, justru hal tersebut yang membuat Dewa semakin tertarik. Hening tidak seperti para wanita yang sering ditemuinya. .

Saat sudah membuka pintu, Hening berdehem. Berdiri di ambang pintu dengan bingung, karena banyak hal yang sebenarnya ingin ia luapkan. Namun, karena masih berada di kantor, tentu saja Hening harus menahannya.  “Mau ngapain ke sini?” 

“Mau ketemu sama calon istri.” Dewa berujar santai. Kemudian, ia menepuk tempat kosong pada sofa yang diduduki untuk saat ini. Meminta gadis itu, untuk duduk di sebelahnya. 

Hening berdecih. Bersedekap, lalu menyandarkan tubuh pada bingkai pintu. “Emang siapa yang mau jadi istri situ?” ujar Hening dengan angkuh.

Dewa tertawa, lalu melihat arloji pada pergelangan tangannya. “Sama ini, total tiga kalinya gue nunggui cewek kayak, lo, sialan!” umpatnya dengan senyum miring. “Heran gue, kenapa bisa jadi penasaran sama cewek preman kayak lo!” 

Karena Hening enggan menghampiri, maka Dewa berdiri untuk menghampiri gadis itu, Kedua tangannya sudah tenggelam di saku celana, lalu menghabiskan jarak dengan gadis itu. “Hari ini lo libur, nanti temani gue makan siang di—”

“Enak aja nyuruh-nyuruh orang libur, emang situ siapa? Gue di sini kerja, bukan lo yang gaji. Kalau gue dipecat, situ mau tanggung jawab!” Hening masih bersedekap, dengan tatapan menantang Dewa dan berani menyela perkataannya. 

Dewa mengangkat satu tangannya. Ia hendak meraih wajah Hening, tetapi gadis itu dengan sigap mencengkram pergelangan tangannya. Dewa terdiam, tetapi satu sudut bibirnya terangkat, menatap Hening tajam.

Dewa menarik tangannya dari genggaman Hening. Melirik jam tangannya, kemudian berkata, “Setengah jam lagi, ada yang bakal jemput lo, jangan ke mana-mana. Kita ketemu lagi nanti siang.” titah Dewa. “Lo libur hari ini, dan gue sudah ngomong sama Ilham!” 

~~~

Tepat setengah jam kemudian, Hening dijemput oleh orang suruhan Dewa. Pria itu adalah Joni, pengawal bertubuh tambun yang juga mengantarkannya kepada Dewa kala itu. 

Sebenarnya, Hening sudah ingin pergi dari kantor, dan enggan memedulikan ocehan Dewa. Namun, Ilham bergegas menemuinya, memohon agar Hening dapat menuruti permintaan Dewa. Di tambah, manajer pemasaran juga kompak ikut merayunya. Mereka beralasan, semua demi kelancaran dan meningkatnya omset perusahaan.

“Kita mau ke mana sih?” tanya Hening dengan kesal.

“Ditunggu aja, Non, bentar lagi nyampe,” jawab Joni.

Hening mengernyit tidak paham, saat mobil berhenti di sebuah ruko mewah. Tampak tulisan Queen Butik, Salon&Spa terpajang di bagian atasnya. Sebenarnya, apa yang akan dilakukannya di dalam sana?

“Silakan masuk Non, udah ditunggu di dalam,” ucap Joni.

“Si Dewa itu ada di dalam?”

Joni reflek berbalik, menatap heran kepada Hening yang duduk di belakang. “Non, itu salon khusus cewek. Nggak mungkinlah Pak Dewa ada di dalam.”

“Terus, ngapain gue ke dalam?”

“Astaga, Non!” Joni mengusap kasar wajahnya . “Namanya aja salon dan spa, ya, Non Hening di dalam jadinya nyalon sama SEPA!” seru Joni menahan kesal. Andai saja orang lain, Joni pasti sudah berbicara kasar pada gadis itu.

“Gue yang nyalon?” Hening terkekeh. “Gileee, berapa duit kalau gue nyalon di situ? Ogah gue! Ni rambut aja gue potong sendiri, biar ngirit, ya mal—”

“Non HENING …” Ingin rasanya Joni mengumpat, bila tidak ingat gadis itu adalah calon istri dari bosnya. Joni pun menarik napas panjang, lalu menghembuskan perlahan. Mencoba untuk bicara selembut mungkin, dengan senyum coba ia sematkan di wajah. “Non, semua tagihan otomatis dibayar sama Pak Dewa. Non Hening tinggal masuk, duduk, rebahan, diam, dan nurut ajalah sama pegawainya di dalam sono.” Joni menjelaskan sambil mengurut dada. Mencoba menahan emosinya.

“Eh? Serius? Baek baget bos lo, pasti ada maunya kan?” Tanpa ingin mendengar perkataan Joni lagi, Hening segera membuka pintu dan pergi ke tempat tersebut. Kapan lagi ia memanjakan tubuh, tanpa harus mengeluarkan biaya sepeser pun.

Hening tentu tidak akan menyia-nyiakannya.

~~~

Sudah dua jam lamanya Hening berada di salon. Joni yang sedari tadi berada di mobil, sudah beberapa kali menguap dan mengumpat. Namun, baru saja ia memejamkan mata, Joni mendengar suara ketukan pada kaca jendela mobil yang hanya terbuka setengahnya. 

“Tidur aja kerjaan,” cibir Hening. “Gue aduin Dewa, dipecat lo! Buruan buka pintunya!” 

Joni mengerjap, lalu mengusap kedua matanya tidak percaya. Seorang gadis cantik, dengan rambut hitam ikal yang menggantung tepat di bawah bahu, kini sudah berada di hadapannya. Kalau saja Joni tidak mengingat suaranya, maka ia tidak akan percaya bila gadis itu adalah Hening.

“Non Hening!” serunya hanya untuk memastikan.

“Coba lihat kaki gue dulu, nyentuh tanah apa kagak? Kalau kaga, berarti gue kunti!” jawab Hening asal. “Lagian mana ada kunti siang-siang gini!” 

Joni segera membuka central door locknya, dan mempersilakan Hening masuk. 

“Habis ini ke mana lagi?” tanya Hening saat menghempaskan tubuhnya di kursi penumpang bagian belakang.

“Makan siang, Non,” jawab Joni.

“Sama Dewa?”

“Iyalah Non, sama siapa lagi.”

“Ribet ya bos, lo itu, mau makan siang aja gue harus nyalon dulu. Mana sudah disiapin baju segala.” Hening menunduk, melihat pakaian yang dikenakannya. Dress putih dengan aksen floral berwarna pink, yang melingkar sepanjang garis pinggang itu, sangat cantik dikenakan Hening. Belum lagi, model kerah sabrina yang memperlihatkan leher jenjangnya, membuat penampilan Hening tampak berbeda dari biasanya.

“Tapi, sumpah! Non Hening tambah cantik! Gue aja sampe pangling!” Joni kemudian terkekeh, tetapi langsung disambut tatapan tajam oleh Hening lewat kaca spion. Untuk itu, ia memilih diam dan tidak lagi membuka mulutnya sepanjang jalan. Ternyata, tatapan tajam gadis itu sama mengerikannya dengan Dewa.

Sesampainya di restoran, Hening bergegas keluar menuju ruangan VIP yang sudah diinstruksikan Joni. Karena terlalu fokus dengan ponsel sepanjang jalan, Hening sampai menabrak punggung seorang pria. Seketika itu juga, ia jatuh terduduk karena oleng tidak terbiasa menggunakan high heel.

Pria itu segera berbalik dan berjongkok, mengambil ponsel Hening yang juga terlepas dari tangannya. 

“Ck! Lain kali kalau jalan lihat-lihat, jangan sibuk aja sama hapenya!” 

Hening yang masih sibuk menutup roknya yang tersingkap, segera mendongak karena mengenal suara pria yang mengomelinya. Tatapan mereka kemudian terkunci untuk beberapa saat, sampai Hening tersenyum manis dan menegur pria itu. “Om Genta jangan ngomel mulu, entar tambah tua!” 

Hening lalu mengambil ponselnya dari tangan pria itu, dan bergegas bangkit seraya masih merapikan roknya. “Eh, tapi emang udah tua juga sih ya, sebenarnya,” lanjutnya lalu tertawa dengan menutup mulut.

Genta masih berjongkok dan terkesima dengan gadis di hadapannya kini. “Hening? Lo Hening, kan?” 

“Iya, gue Hening! Bukan mbak kunti!” ujarnya sedikit kesal. “Kenapa, sih, dari tadi pada mastiin gue Hening apa bukan? Bete gue!” seru Hening bersungut. “Oia, gue ke dalam dulu Om!”

Baru saja Hening hendak berbalik, Genta segera menahan tangan gadis itu. “Mau ke mana lo?”

“Mau ketemu orang! Katanya calon suami gue!” Hening mendengus sangat kesal.

Deg!

Mendadak, ada sesuatu yang mencubit relung hati Genta. “Lah? Ada apa dengan gue?” kata Genta dalam hati.

Hening melepas pelan pegangan tangan Genta dengan cepat. “Dah, ya, Om, gue pergi dulu.” 

Komen (2)
goodnovel comment avatar
Daanii Irsyad Aufa
eh dah berapa x ketemu Genta nih...jodoh loe Ning. depan mata si Genta loh bukan dewa.
goodnovel comment avatar
Jasmin Mubarak
ya genta ceeeemmmmburuuuu😱😱
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status