Share

02.

Agra hanya menatap datar penampakan di hadapannya ini. Masih gadis yang sama, dengan ekspresi yang sama, dan kebisuan yang juga sama.

"Jadi, mau kamu sebenarnya apa? Saya bukan cenayang yang tahu isi kepala kamu."

Bukannya menjawab, gadis itu justru meremas roknya dengan mata yang berkaca-kaca.

"Astagaaa .... "

Agra meraup wajahnya frustasi. Sebenarnya apa mau gadis ingusan ini di apartemennya? Dan sekarang, gadis ini malah akan menangis seolah Agra mengambil permen miliknya.

"Ok, biar saya tebak. Kamu patah hati? Baru putus cinta? Pacar kamu selingkuh? Atau cinta kamu ditolak?" Agra kembali membungkuk agar mereka setara. Maklum gadis ini tingginya hanya se-bahu Agra.

Agra tersenyum manis menanti jawaban. Menatap dua bola mata cantik, yang entah mengapa rasanya tidak asing bagi Agra. Gadis itu terlihat kikuk ditatap seintens itu oleh Agra, dan tanpa Agra sangka-sangka ternyata respon gadis itu di luar dugaannya.

"Permisi, saya mau masuk!" katanya sinis, mendorong bahu Agra mundur, lalu melenggang masuk begitu saja seolah ini adalah rumahnya sendiri.

Agra ternganga. Wow ... Gadis yang luar biasa aneh.

Gadis itu duduk manis di sofa Agra.

"Saya belum mempersilahkan kamu masuk." Seru Agra setelah sampai di dekat gadis itu. Bukannya menjawab, gadis itu justru menenggak habis air minum sisa Agra yang berada di atas meja.

Agra melotot melihat fenomena ajaib ini. "Itu minuman saya." Protes Agra. Enak saja gadis ini, masuk sembarangan, minum juga sembarangan. Apa dia pikir apartemen Agra adalah rest area?

"Saya haus." Jawabnya, tanpa perlu menoleh ke arah Agra yang berdiri di sampingnya.

"Ya ... Ya ... Ya ... Terserah kamu saja," Agra tidak ingin ambil pusing, dia duduk di sofa depan gadis itu. Terjeda oleh sofa panjang tempat ia tadi merebahkan diri. "jadi, apa kepentingan kamu sama saya?" Agra bersidekap.

"Saya mau nikah." Jawabnya tegas, melihat lurus ke arah Agra.

"Lalu?"

"Ya, saya mau nikah!"

"Iya, saya tahu kamu mau nikah. Maksud saya, kamu mau mengundang saya apa bagaimana? Kayaknya saya enggak kenal sama kamu." Agra menukik alisnya. Dalam hati, pria ini ngedumel sendirian "Anak zaman sekarang masih muda pikirannya nikah mulu, saya yang udah umur dua enam aja masih jomblo."

"Ck .... " Gadis itu berdecak sebal. "Saya, mau Abang nikahin saya."

"HAH?" Agra sampai tersedak liurnya sendiri, lelaki itu menepuk-nepuk dadanya dan terbatuk.

"Gimana-gimana?" Agra memastikan sekali lagi, siapa tahu memang kupingnya yang salah dengar.

"Abang budek? Engga tuli, kan?"

"Jadi benar yang saya danger? Kamu, mau saya nikahin kamu?" mata Agra melotot.

"Perlu, saya bawa toa buat ngomong di kuping Abang?"

"Ckckck .... Kamu anak gadis apa anak singa, sih? Galak banget. Tadi aja bisu, sekalinya bisa ngomong nyakitin hati." Protes Agra.

"Jadi bagaimana, Abang bisa menikahi saya?"

Agra memijit pelipisnya. Ini lelucon macam apa sebenarnya? Ada gadis aneh yang galaknya minta ampun, tiba-tiba datang minta nikah. Belum juga sempat dirinya tidur, kenapa sudah bermimpi absurd seperti ini?

"Bang!"

Agra tidak menjawab, ia justru pergi ke dapur dan kembali dengan dua gelas air putih. Agra mengulurkan satu gelas untuk gadis itu.

"Minum dulu."

Gadis itu menurut. Lalu menenggak satu gelas air itu sampai habis. Lagi dan lagi Agra dibuat geleng kepala. Agra kembali duduk di tempatnya.

"Nama kamu siapa?" tanya Agra dari balik gelasnya.

"Neira."

Agra mengangguk.

"Kamu tahu nama saya?"

"Enggak." Jawab Neira dengan polosnya.

"Lha ... Bagaimana, sih? Kamu tahu nama saya aja enggak, kok bisa minta saya nikahin kamu."

"Ya memang cuma Abang yang seharusnya menikahi saya."

Agra menaikan alisnya. "Alasanya?"

"Kan Abang yang hamilin saya."

Bagai kejatuhan bom atom di siang bolong. Agra langsung menyemburkan air yang sedang dia minum.

"Bhuuahahahahahahhaha ...." Agra tertawa lantang.

"Wah ... Ngaco. Becanda kamu enggak lucu."

"Saya enggak bercanda. Saya serius."

"Ckckk ... Udahlah, kamu pasti disuruh bunda atau ayah buat ngerjain saya, kan?"

Neira diam. Menatap lurus ke arah Agra tanpa tersenyum. Lalu mengeluarkan secarik amplop dari dalam tasnya, dan meletakkan di meja.

Agra terdiam. Bergantian menatap amplop itu dan Neira berulang kali. Sebelum akhirnya mengambil amplop itu dengan jantung yang sudah berdebar.

Selembar amplop dengan logo rumah sakit. Perlahan Agra membukanya, lalu tercekat saat membaca apa isi dari amplop tersebut, lengkap dengan alat tes kehamilan bergaris dua. Agra termenung beberapa saat.

"Ok. Saya percaya kamu hamil."

"Lalu?"

"Ya ... Selamat, sebentar lagi kamu akan jadi ibu, di usia yang masih sangat .... " Agra tidak melanjutkan ucapannya, hanya memberikan kode melalui jari telunjuk dan jempolnya sebagai ganti kata 'kecil'.

"Jadi, kapan kita menikah?"

"Saya enggak bilang kita akan menikah." Jawab Agra santai, ia meletakkan kembali amplop beserta isinya di atas meja. Lalu bersandar nyaman pada sofa empuknya.

Gadis itu kehilangan kata-kata. Wajahnya memerah menahan amarah, giginya bergemeretak. Jari-jari Neira mengepal hingga memutih.

"Saya enggak tahu kenapa kamu menuduh saya menghamili kamu, tapi saya tidak pernah merasa bertemu kamu, apalagi menghamili,"

Agra berdiri, kembali ke dapur untuk mengambil satu botol air mineral. Setelahnya, lelaki itu duduk kembali di sofanya, menuang perlahan air sembari diam-diam mengamati reaksi dari gadis itu.

"Saya memang bukan lelaki baik, tapi saya tidak pernah tidur dengan wanita random. Apalagi masih belia kayak kamu gini. Saya bukan pedofil. Lagi pula, apa buktinya jika saya ayahnya?"

Agra mengamati Neira yang mulai menunduk, terlihat jelas gadis itu sedang berusaha keras untuk tidak menangis. Napasnya naik turun dengan cepat, berulang kali gadis itu menghembuskan napas beratnya.

"Rumah kamu di mana?" pertanyaan Agra disambut kebisuan. Agra membuang napasnya kasar.

"Kamu masih sekolah? Orang tua kamu sudah tahu kamu hamil?"

Lagi, pertanyaan itu tidak mendapat jawaban. Hening menyelimuti keduanya. Agra, masih dengan sabar menunggu gadis itu bereaksi, paling tidak mengucap sepatah kata untuknya.

Detik berlalu, menit berganti. Tidak terasa tiga puluh menit sudah berlalu begitu saja. Agra menyerah, ia bangkit menuju kamarnya. Tak lama, pria itu kembali dengan selembar cek di tangan.

"Ini buat kamu," Agra meletakkan cek itu di atas meja, bersisihan dengan gelas Neira. "Nilainya memang tidak seberapa, tapi hanya itu yang bisa saya kasih ke kamu semoga bisa membantu. Bukan pernikahan, karena kamu enggak punya bukti apapun kalau saya pernah tidur sama kamu."

Dengan tangan yang masih bergetar Neira mengambil cek pemberian Agra. Mengamati nominal yang ada di sana. ____seratus juta____Air mata yang sedari tadi ia tahan, kali ini akhirnya jatuh juga.

"Kamu bisa gunakan itu buat apapun, terserah. Untuk gugurin kandungan? Untuk kabur dari orang tua? Atau untuk biaya saat dia lahir kelak."

Agra berjalan ke arah pintu, sebagai tanda halus pengusiran. Dan Neira sangat paham akan hal itu.

Dengan air mata yang berlinang, gadis itu menahan napasnya. Ia bangkit berdiri, berjalan ke arah pintu untuk keluar. Tapi, langkahnya terhenti sesaat tepat di depan Agra.

"Saya memang miskin, tapi saya bukan perempuan random. Saya mungkin tidak punya bukti saat ini, tapi saat anak ini nanti lahir, saya pastikan darah kamu yang mengalir di tubuhnya."

Gadis itu pergi begitu saja, meninggalkan Agra yang menatap kosong pada lembar cek seratus juga yang masih tergeletak di atas meja.

Entah, tapi Agra merasa ada yang salah pada hatinya. Apakah ada peristiwa yang dia lupakan?

_________________________________________

FUNFACT : Dee berzodiak cancer lho. Yang cancer girl mari berpelukan :)

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status