"Pak, beneran engga bisa bantu? Sebentar saja, Pak." Mohon gadis itu kepada satpam di tempat resepsionis.
"Waduh, Mbak. Bukan tidak mau bantu, tapi ini lagi kosong engga ada orang. Resepsionisnya lagi keluar, makanya saya di sini, tugas saya kan jaga di dapan sana, Mbak."
Neira menghembuskan napas kasar. Gadis itu cemberut keluar lobi apartemen. Bisa saja dia pergi begitu saja, berharap ada orang lain yang lewat dan menolong pria itu nantinya. Namun, hati baiknya tidak tega. Terpaksa, ia kembali lagi ke tempat pria itu tergeletak.
"Nyusahin aja sih." Gerutunya, mencoba memapah pria itu untuk berdiri.
"Hai, cantik." Sapa pria itu setelah berhasil berdiri, dia tersenyum manis, menoel hidung mancung Neira dengan mata yang masih sayu sulit terbuka. Sontak, Neira menjatuhkan kembali pria itu.
"Sakit bego!" teriaknya, setelah jatuh terduduk dengan keras.
"Siapa suruh genit!" bentak Neira tak kalah galak.
"Hehehe ... Peace." Senyum pria itu sembari menunjukan jari V.
Neira membuang napas kasar, lalu meraih kembali pria itu. Tapi baru saja berhasil memapahnya berdiri, pria itu langsung ....
"Huueekkkk ...."
JACKPOT!
"Aaaaaa .... " Neira berteriak frustrasi. Ia menghentakkan kakinya jengkel bukan main. Dia hanya ingin menolong, kenapa harus se-apes ini nasibnya? Neira ingin menangis rasanya melihat jaketnya yang penuh dengan muntah. Sedangkan si tersangka, sudah teler tidak berdaya.
Sekuat tenaga Neira membopong pria itu di punggungnya. Tubuhnya yang kecil tak sebanding dengan pria besar ini. Bulir-bulir keringat menetes di pelipisnya walau udara sebenarnya cukup dingin.
"Hangat ...." Gumam pria itu di punggung Neira. Sementara gadis itu kerepotan menyeimbangkan tubuhnya. Kaki pria ini terseret begitu saja karena tubuhnya yang jangkung. Bodo amat.
"Iya, situ hangat. Saya engap. Lain kali kalau mabuk ajak teman, jangan nyusahin orang lewat."
"Mmm .... "
"Memangnya ngerti saya ngomong apa?"
"Orang lewat." Jawabnya, hampir tak terdengar. Neira hanya memutar bola matanya malas. Percuma bicara sama orang mabuk.
***
"Aahhhh .... " Neira terkapar di sofa lobi. Ia kelelahan, napasnya ngos-ngosan. Tubuh pria itu ia letakkan begitu saja di sofa panjang.
Niat hati ingin meminta bantuan satpam, untuk mengantar pria ini ke kamarnya. Tapi melihat keributan beberapa manusia yang sedang komplain kepada satpam____yang lagi-lagi masih sendirian____ membuat Neira membatalkan niatnya. Lebih baik dia mengantar sendiri lelaki ini, lagi pula dia harus membersihkan muntahan di jaketnya.
Susah payah Neira membawa pria ini ke lantai enam. Untung saya dia tidak harus jalan atau naik tangga, cukup masuk lift dan sampai. Dan lebih beruntung lagi, ternyata kamar pria merepotkan ini ada di samping lift.
Dengan cart key di kantong pria itu, Neira membuka kamar apartemen 15F. Matanya langsung disambut pemandangan ruangan yang manly, didominasi warna monokrom yang sangat kental. Cat dinding warna abu, sofa warna cokelat, minim ornamen dinding, hanya beberapa interior terpajang dan itu pun berwarna putih dan hitam. Tidak ada sentuhan perempuan sama sekali.
Neira mencoba membuka pintu kamar pertama, ternyata terkunci. Lalu ia naik ke tangga di samping dapur, dan Neira menemukan satu kamar lagi di lantai dua. Akhirnya gadis itu membawa 'Si Tuan merepotkan' ke sana.
Tak beda jauh, kamar ini isinya hanya warna hitam dan putih. Membosankan dan monoton.
Gadis itu termenung melihat pria yang sudah terkapar di kasur putih itu, apa yang harus dia lakukan? Mengganti bajunya yang basah dan penuh muntahan? Ia menggeleng tidak setuju dengan ide yang ada di otaknya. Hai ... Dia masih gadis, tak patut menelanjangi seorang pria dewasa.
Lebih baik ia memikirkan lebih dulu kondisinya sendiri. Dia tidak lebih baik dari pria ini, dia juga basah dan penuh muntahan.
Neira keluar kamar, mencari apakah pria ini punya mesin cuci? Dan gadis itu bernapas lega saat menemukan apa yang ia cari.
***
Angin malam semilir menghantarkan dingin pada tubuhnya, gadis itu berdiam diri di balkon, menikmati secangkir teh hangat menemaninya menunggu cucian jaketnya selesai. Jam menunjukan pukul 00.15 menit, ia melongok ke bawah sana, ke jalanan yang sudah begitu sepi. Harus pulang dengan apa dia malam ini? Angkot, tentunya sudah tidak ada di tengah malam seperti ini. Gadis itu tertunduk lesu.
Ia merogoh kantong roknya, mengeluarkan handphone-nya yang pecah akibat terjatuh tadi. Berulang kali Neira mencoba menyalakan, tapi handphone murahan miliknya itu sudah terlanjur koma. Bagaimana dirinya harus menghubungi ayahnya, dan memberitahu bahwa dia akan pulang sangat terlambat. Ayahnya pasti khawatir.
"Aha!" satu jalan keluar muncul di kepalanya. "Kenapa tidak meminjam telepon di resepsionis saja?" Neira menjentikkan jarinya dengan senyum lebar. Langkahnya riang menuju tangga, tapi saat melewati kamar lelaki itu hatinya tergelitik untuk mengintip sejenak.
Dengan langkah yang sangat perlahan agar tidak berisik, Neira masuk ke kamar itu lagi. Namun, wajahnya berubah khawatir saat melihat wajah pria itu begitu pusat dan mengigau gelisah. Tangan Neira terjulur untuk meraba dahi pria itu, dan gadis itu terkejut saat tahu bahwa tubuh pria itu demam tinggi.
Neira menggigit bibir bawahnya, menimbang apa yang harus ia lakukan saat ini.
Dengan hati yang takut dan berdebar, gadis itu memutuskan untuk mengganti baju basah yang melekat di tubuh pria itu. Jemarinya bergetar saat membuka satu persatu kancing kemeja hitam itu. Ia memalingkan wajah, menolak melihat tubuh atletis milik si tuan merepotkan.
"Maaf. Saya enggak ngintip kok." Bisiknya, lalu memasangkan piyama kering ke tubuh tuan merepotkan.
Gadis itu sudah lupa agendanya untuk ke resepsionis. Ia justru ke dapur memasak air panas, menggeledah lemari dapur untuk mencari bahan membuat bubur.
Setelahnya, ia mengompres pria itu dengan sangat telaten. Sesekali ia terkantuk-kantuk, tapi tetap berusaha terjaga.
Neira melihat jam dinding yang sudah menunjukan pukul dua pagi. Gadis itu bergegas mengambil jaketnya, memeriksa kembali bubur yang ada di dalam panci dapur di atas kompor. Tak lupa menempelkan kertas note warna kuning pada panci.
"Bubur untuk sarapan. Jangan lupa panaskan terlebih dahulu. Oh iya, jangan lupa berterimakasih pada Ibu Peri"
Ia tersenyum geli sendiri saat membaca ulang note yang ia tempelkan. Neira memandang tas ranselnya yang ada di ruang tamu, lalu beralih memandang atas tangga. Haruskah ia berpamitan?
***
"Get well soon. Saya pamit. Terimakasih atas teh hangat dan pinjaman mesin cucinya." Ucapnya pada lelaki yang tengah tidur itu.
Neira membenahi selimut pria itu, menariknya hingga ke leher. Dia tersenyum puas, semua telah beres dan sekarang saatnya ia pulang. Baru saja gadis itu beranjak dari duduknya, tapi tangannya sudah dicekal oleh seseorang.
"Tunggu!"
_______________________________________FUNFACT : Ethan itu zodiaknya sama seperti aku :) Ethan siapa hayooooo? Baca terus kuy, biar nanti ketemu Ethan pujaan hati.
Pagi menyingsing, silau menerobos masuk ke sela-sela kaca jendela yang tak tertutup tirai.Mata lentik yang sedikit bengkak itu terbuka. Pemiliknya menggeliat dengan rasa ngilu yang teramat sangat di sekujur tubuh. Sedetik setelahnya, sadar akan apa yang telah terjadi.Tak ada tangis di mata indah itu, ia hanya menerawang kosong pada langit-langit kamar berwarna hitam galaksi. Rahangnya bergemeretak, marah yang memuncak itu justru membelenggunya dalam kebisuan.Jarinya meremas kuat kain seprai putih yang berada di bawah tubuhnya yang polos, tak terbalut apapun. Ia tidak sudi melihat darah perawannya yang berbekas di sana, ia juga tak sudi melihat pada sosok yang telah merenggutnya.Gadis itu bangkit dengan tubuh yang bergetar, lututnya lemas untuk berdiri. Ia menahan napas, menahan ledakan emosi yang menyumpal dadanya. Dengan sisa tenaga yang tidak seberapa, ia memunguti pakaiannya. Tanpa per
Pagi masih terlalu gelap. Namun, suara isak tangis itu sudah mendayu di kesunyian pemakaman. Ia tergugu di atas gundukan tanah merah yang masih basah.Neira, meraung seperti orang gila pada pusara. Ia mendekap erat nisan putih itu dengan perasaan hancur."Maaf ...,""Maaf ...,""Maaf ...."Hanya kata itu yang terus berulang dari bibirnya."Sudah, Nei. Sabar, ikhlas ..." Bude Sulastri mencoba menenangkan, mengelus punggung gadis itu dengan lembut.Sulastri mencoba merengkuh Neira dalam pelukannya. Membelai lembut rambut lurus gadis yang tengah dirundung duka itu.
Satu suara salam memaksa tubuh lemahnya untuk bangkit dan menggapai pintu. Suara itu, milik seseorang yang dijadikan Neira sebagai alasan membatalkan aksi bunuh dirinya.Tergesa, gadis itu membuka pintu dan langsung menghambur dalam pelukan."Hai ... Kamu kenapa?"Gadis itu tidak menjawab, justru mempererat pelukannya pada pemuda yang berdiri kaku di depan pintu. Suara tangisnya teredam di dada itu.Agak ragu, pemuda itu melihat ke sekitar. Setelah memastikan tidak ada yang melihat mereka berdua, pemuda itu membalas pelukan Neira dan membelai kepala gadis itu agar tenang."Aku engga bisa hubungi kamu beberapa hari ini, jadi aku hubungi Dera._____teman sebangku Neira_____ Kata Dera, kamu udah engga sekolah empat hari. Makanya aku datang ke sini." Kata pemuda itu dengan lembut. Gadis
Hujan deras mengguyur Jakarta sejak subuh tadi. Hingga saat sore menjelang, hujan itu tak kunjung reda.Prayoga duduk gelisah di ruang keluarga, ada rasa tidak nyaman di hatinya. Pikirannya tertuju pada Neira, entah firasat buruk atau hanya khawatir karena pertengkaran mereka kemarin malam."Kamu kenapa?" tanya Amanda, ibunya. Wanita itu sedang menonton televisi di sebelah Yoga."Kenapa memangnya, Mah?""Gelisah begitu." Ucap Amanda cuek, sembari memasukkan keripik kentang ke mulutnya."Enggak, Yoga biasa aja." Elaknya, tapi yang terlihat justru sebaliknya. Jari tangan kirinya sedari tadi mengetuk acak gagang sofa, sedangkan tangan kanannya sibuk memutar-mutar handphone. Matanya memang mengarah ke televisi, tapi Amanda tahu persis bahwa pikiran anaknya sedang tidak di sini.
Tangan Yoga bergetar hebat saat mengangkat tubuh kekasihnya. Dia linglung,melihat wajah Neira yang sudah memucat seperti mayat, bibir gadis itu sudah membiru.Terseok Prayoga membopong Neira ke mobil, meletakkan gadis itu di kursi belakang bersama Sulastri."Saya ... Saya, tidak sanggup menyetir." Ucapnya terbata, matanya nanar melihat tangannya yang bergetar hebat. Berkali-kali ia mengusap air mata. Ini pertama kali dalam hidupnya melihat langsung korban bunuh diri, apalagi orang tersebut adalah orang yang ia cintai."Biar saya aja yang menyetir, Mas. Saya supir taksi kok." Ucap salah seorang lelaki yang merupakan tetangga Neira. Prayoga hanya mengangguk pasrah, bergegas duduk di kursi depan.Awalnya, mereka membawa Neira ke klinik terdekat, tapi karena kondisi Neira yang kritis membuat Prayoga harus membawanya ke rumah
Tidak semua orang bersenang hati menerima kebaikan orang lain. Entah karena ego, malu, tersinggung, gengsi dan berbagai macam alasan lain. Termasuk Neira yang enggan menerima bantuan Prayoga.Butuh tenaga ekstra bagi Amanda meyakinkan Neira untuk bersedia tinggal bersamanya. Ini salah satu bentuk tukar guling dirinya dan Prayoga. Dan untungnya, setelah diskusi yang alot, gadis itu menyetujuinya. Dan Amanda sangat bersyukur akan hal itu.Tak dapat dipungkiri. Amanda, selalu gagal membujuk Prayoga untuk melanjutkan kuliahnya di Inggris, kelak saat ia lulus. Yoga selalu beralasan tidak ingin meninggalkan ibunya sendirian, tapi Amanda yakin bukan itu alasan sesungguhnya. Dan semua tebakan Amanda itu terjawab, saat malam tragedi bunuh diri Neira.Amanda masih sangat jelas mengingat peristiwa malam itu, saat Prayoga sendiri yang menawarkan diri untuk berangkat ke Inggri
Perlahan mata cantik itu mengerjap-ngerjap,menyesuaikan dengan cahaya yang masuk ke retina. Meski masih sedikit buram dan berbayang, tapi Neira mampu melihat ke sekitarnya. Hanya ada tirai-tirai putih yang mengelilingi tempat tidurnya, serta bau obat yang menyeruak masuk ke penciuman gadis itu.Kepalanya masih terasa sangat berat, tapi ia mencoba untuk bangun. Ranjang itu berderit karena tubuh Neira bergerak. Tak lama berselang, seorang perempuan berjas putih datang menyibak tirai di hadapannya."Sudah sadar?" tanya wanita itu lembut. Lalu mendekat ke arah Neira. "Masih pusing? Rebahan dulu ya, biar saya periksa lagi."Neira hanya menuruti apa yang dikatakan dokter perempuan itu."Saya di mana ya, Dok?""Di unit kesehatan kampus. Tadi kamu pingsan, jadi mahasiswa bawa kamu ke sini," ja
[Flashback sudah selesai. Part ini kembali di masa Neira sekarang *lihat kembali part 03*]Panas terik menyinari Jakarta siang ini, berkombinasi dengan macet dan polusi, membuat orang-orang menjadi cepat emosi dan tidak sabaran.Neira mengusap dahinya yang berkeringat dingin. Sebenarnya, tubuhnya sudah agak limbung, tapi wanita itu masih berusaha untuk bisa mengerjakan tugasnya."Lagi ramai, Nei. Tolong kerjanya lebih cepat ya!" seru salah satu rekan kerjanya yang lebih senior."Iya, Mbak." Hanya dua patah kata itu yang sanggup terlontar dari bibir tipisnya.Warung padang ini adalah tempat kerjanya yang ke sepuluh. Mulai dari menjadi jaga toko sepatu, penjaga warteg, dan bermacam-macam jenis pekerjaan yang lain, tak ada yang bertahan lebih dari satu hari. Kondisinya yang morning