Share

06.

Pagi masih terlalu gelap. Namun, suara isak tangis itu sudah mendayu di kesunyian pemakaman. Ia tergugu di atas gundukan tanah merah yang masih basah.


Neira, meraung seperti orang gila pada pusara. Ia mendekap erat nisan putih itu dengan perasaan hancur.


"Maaf ...,"


"Maaf ...,"


"Maaf ...."


Hanya kata itu yang terus berulang dari bibirnya.


"Sudah, Nei. Sabar, ikhlas ..." Bude Sulastri mencoba menenangkan, mengelus punggung gadis itu dengan lembut.


Sulastri mencoba merengkuh Neira dalam pelukannya. Membelai lembut rambut lurus gadis yang tengah dirundung duka itu.


"Sudah, Nduk ... Sudah. Kasian bapak nanti malah engga tenang."


Neira, masih tergugu dalam pelukan bude Sulastri.


Nasib macam apa ini yang menimpanya? Disaat ia kehilangan keperawanan dan butuh topangan untuk menyemangati hidup. Justru, satu-satunya orang yang ia butuhkan pun meninggalkan dirinya sendiri di dunia ini.


"Neira mau ikut bapak, Bude."


"Husss ... Engga boleh begitu, Nduk. Bude tahu kamu sedih, tapi kasian bapakmu kalau kamu kayak gini," bude Sulastri mendekap erat tubuh mungil itu.


"Yang sabar ... Yang ikhlas. Ini cobaan, Nduk. Tuhan engga akan kasih cobaan kalau hambanya tidak mampu."


Ia tidak pernah menyangka semua akan berakhir seperti ini, akan kehilangan satu-satunya keluarga yang ia punya secepat ini. Setelah ini, ke mana ia harus pergi? Bagaimana ia harus menjalani hidup seorang diri?


Ia hanyalah anak panti asuhan, tidak jelas asal-usul orang tuanya. Ayahnya, mengadopsi Neira saat gadis itu masih berusia lima tahun. Pernikahan yang tidak direstui oleh keluarga besar di tanah Sumatra, membuat ayah Neira mengasingkan diri ke Jakarta. Kala itu semua baik-baik saja, Neira dikasihi ayah dan ibu dengan ekonomi yang berkecukupan. Sampai satu tahun setelahnya, ibunya sakit lalu meninggal. Ayah Neira depresi dan usaha mereka bangkrut. Yang tersisa hanyalah Neira dan ayahnya, dalam keterpurukan.


Kini, saat ayahnya telah menyusul ibunya. Gadis itu tinggallah seorang diri, tanpa kerabat dan sanak saudara.


***

Semalam.

"Bude, tahu bapak sekarang ada di mana?"


Sulastri meremas ujung bajunya gelisah. Menatap mata polos di hadapannya ini dengan gusar. Ia, tidak tega menyampaikan berita duka pada gadis muda di hadapannya.


"Nei ... " Sulastri menggenggam tangan kanan gadis itu.


"Iya, Bude?"


"Bapakmu semalaman nyariin kamu, katanya sampai ke rumah pacar kamu itu, tapi kamu engga ada." Sulastri membelai rambut setengah basah Neira. Gadis itu hanya tersenyum tipis.


"Terus .... " Kalimat Sulastri menggantung, ia menggigit bibir bawahnya, ragu untuk memberitahu.


"Terus? Apa, Bude?" Neira memiringkan kepala, menunggu jawaban Sulastri dengan cemas.


"Mmm ... Bapak kamu ...."


"Bapak kenapa?" tanya Neira mulai panik dan tidak sabar. "Bude! Bapak kenapa?"


"Mmm ...." Sulastri bergerak-gerak, duduk dengan gelisah. "Bapak pingsan di depan toko Ayu, Nei."


"Astagfirullah!" gadis itu membekap mulutnya. Bahunya merosot seketika.


"Sama bapak-bapak lain langsung dibawa ke klinik depan."


Neira langsung meraih jaketnya, gadis itu bergegas untuk keluar. Namun, dicegah oleh Sulastri. Wanita paruh baya itu memegang kedua bahu Neira.


"Kamu mau ke mana?"


"Ya ke klinik, Bude. Lihat bapak."


Sulastri menggeleng, dan langsung memeluk erat gadis itu. Sulastri, tidak mampu menahan air matanya.


"Bapakmu udah enggak di sana. Bapakmu udah engga ada, Nduk, waktu dibawa ke sana."


Gadis itu melepas pelukan Sulastri. Wajahnya pasi memandang Sulastri dengan tatapan berkaca-kaca. Jantungnya berdebar berkali-kali lipat lebih cepat. Semoga, tidak ada hal yang tidak ingin dia dengar terucap dari bibir tetangganya itu.


"Ma ... Mak ... Maksudnya?"


Sulastri menangkup lembut pipi Neira.


"Bapak sudah engga ada, Nduk. Tadi pagi terpaksa dimakamkan tanpa menunggu kamu, soalnya kami ndak tahu kapan kamu bakal pulang."


Tubuh Neira membeku. Apa dia tidak salah dengar? Pasti dia hanya salah dengar. Mata cantik itu nanar memandang bude Sulastri yang tersedu di hadapannya.


Gadis itu menggeleng perlahan, sebelum akhirnya tumbang dalam pingsan.


***

Dua hari berlalu sejak Neira kehilangan ayahnya. Gadis itu hanya mengurung diri di kamar. Ia tidak mandi, tidak berdandan, bahkan makanan yang dikirim sehari tiga kali oleh Sulastri pun tidak disentuhnya sama sekali. Ia tidak punya semangat hidup.


Beberapa jam sekali Sulastri menjenguknya, takut jika gadis itu tiba-tiba nekat mengakhiri hidup. Seperti tadi pagi, tanpa sengaja Sulastri melihat ada bekas sayatan di pergelangan tangan gadis itu walau tidak dalam.


Seperti saat ini, Neira hanya terbaring lemas di atas kasurnya. Menatap kosong langit-langit kamarnya yang telah kusam.


Menit berlalu, berganti dengan jam. Ia tetap pada posisinya. Gadis itu seperti kehilangan jiwa. Baginya, hidup telah usai. Selama ini, apapun yang ia lakukan hanya demi ayahnya, tapi kini?


Bulir itu mengalir kembali di sela-sela mata cantiknya. Hingga satu ketukan pintu memaksanya untuk bangun dan mengusap air mata.


"Assalamualaikum."


_________________________________________


FUNFACT : Aku suka Gajah. Tapi aku punya banyak kucing dan anjing di rumah :) 

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status