Share

07.

Satu suara salam memaksa tubuh lemahnya untuk bangkit dan menggapai pintu. Suara itu, milik seseorang yang dijadikan Neira sebagai alasan membatalkan aksi bunuh dirinya.

Tergesa, gadis itu membuka pintu dan langsung menghambur dalam pelukan.

"Hai ... Kamu kenapa?"

Gadis itu tidak menjawab, justru mempererat pelukannya pada pemuda yang berdiri kaku di depan pintu. Suara tangisnya teredam di dada itu.

Agak ragu, pemuda itu melihat ke sekitar. Setelah memastikan tidak ada yang melihat mereka berdua, pemuda itu membalas pelukan Neira dan membelai kepala gadis itu agar tenang.

"Aku engga bisa hubungi kamu beberapa hari ini, jadi aku hubungi Dera._____teman sebangku Neira_____ Kata Dera, kamu udah engga sekolah empat hari. Makanya aku datang ke sini." Kata pemuda itu dengan lembut. Gadis itu mengangguk dalam pelukannya.

"Sekarang ada aku di sini, kamu bisa cerita semua. Kamu kenapa?" pemuda itu melepas pelukan. Dengan sabar mengangkat dagu Neira dan menghapus air mata di pipi gadis itu.

Pemuda itu melongok ke dalam. Kontrakan ini hanya ada dua sekat, ruang pertama yang harusnya menjadi ruang tamu adalah kamar ayah Neira, dan ruang kedua adalah kamar Neira. Ia menggeleng, rasanya tidak kondusif jika mereka harus berbincang di dalam sana.

"Kita ngobrol di mobilku aja, yuk." Ajaknya. Dan diangguki oleh Neira.

***

Tak hanya mengajak ke mobil, ternyata pemuda itu membawa Neira ke taman kota, walau mereka hanya duduk di dalam mobil di area parkir.

"Sekarang, kamu bisa cerita aku." Pemuda itu menggenggam erat kedua tangan Neira, mengusapnya lembut. Mengalirkan energi positif agar gadis itu punya kekuatan untuk berbicara. Namun, Neira hanya diam.

"Jadi, kamu kenapa engga bisa aku hubungi?" tanyanya lembut. Ia tahu, pasti ada sesuatu hal besar yang terjadi. Ia kenal betul gadis di hadapannya ini. Gadis paling tangguh yang pernah ia temui, enam tahun mereka menjalin hubungan sebagai kekasih,  ia belum pernah melihat Neira sesedih ini.

Menunggu jawaban, pemuda itu mengamati wajah Neira. Mata itu bengkak___sangat bengkak___pipinya tembemnya menjadi lebih tirus, bibir mengering, rambutnya berantakan dan ia yakin ini sudah lebih dari sehari tidak disisir.

Dia membuang napas perlahan, tersenyum lembut dan membelai pipi gadis itu. "Sayang ..."

"Handphone aku rusak."

Pemuda itu mengangguk.

"Tapi, bukan karena handphone pastinya kamu seperti ini." Ia mendekatkan wajahnya pada Neira, dan menatap mata gadis itu meminta jawaban.

Neira menggeleng.

"Jadi?"

Bukannya menjawab, Neira justru menghambur ke pelukannya. Gadis itu menangis histeris.

"Ga ... " Suaranya lirih dalam pelukan pemuda bernama Prayoga itu.

"Iya ... "

"Bapak ... Bapak udah engga ada, Ga." Tangis Neira semakin menjadi, gadis itu meraung dalam dekapan erat Prayoga. "Aku sekarang sama siapa? Aku enggak punya siapa-siapa lagi, Ga."

"Sssttt ... Masih ada aku yang jagain kamu."

"Semua salah aku, Ga. Bapak pergi karena salah aku."

Prayoga mengeratkan dekapannya. Ia tak ingin membantah, ia juga tak ingin membesarkan hati gadis itu. Ia tahu, gadisnya hanya butuh pendengar saat ini. Dan ia siap menjadi pendengar yang baik untuk perempuan yang ia cintai.

***

Hari menjelang malam, Prayoga mengantar Neira pulang ke kontrakannya.

"Aku langsung pulang ya, engga enak udah malam." Ucap Prayoga saat mereka sudah berada di depan kontrakan Neira.

Neira mengangguk mengiyakan. "Besok jadi____" ucapan Neira terputus saat melihat tante Laila, sang pemilik kontrakan mendekat ke arahnya.

"Mbak, baru pulang?" Laila memberikan senyum pada Prayoga, dan pemuda itu menunduk menghormati.

"Iya, Tante."

"Ikut berduka ya, Mbak. Atas meninggalnya bapak."

Neira hanya mengangguk dan tersenyum samar. Sungguh, itu adalah kalimat yang tidak ingin dia dengar. Dia tidak ingin semua orang mengingatkan dirinya atas kepergian ayahnya.

"Maaf lho Mbak sebelumnya. Saya ada perlu sedikit sama Mbak Neira." Tante Laila melirik segan ke arah Prayoga. Dan Neira paham maksud dari pemilik kontrakannya itu.

"Engga apa-apa, Tante. Bicara saja."

"Jadi begini, Mbak ... Bapak, kan kontrakannya belum bayar tiga bulan. Nah, bulan depan kalau Mbak enggak bayar berarti masuk bulan empat. Jadi ... Kalau saya kasih waktu tiga hari untuk beres-beres bagaimana, Mbak? Yang tiga bulan enggak apa-apa saya ikhlaskan aja."

Neira diam dan menunduk. Dia memang bekerja, tapi tabungannya tidaklah seberapa. Dan Prayoga bisa menebak apa yang ada di pikiran kekasihnya.

"Tante, tidak usah khawatir. Nanti saya bayar tiga bulan hutang kontrakan Neira, nanti tiap bulannya juga saya yang bayar." Ucap Prayoga mantap.

"Engga, Ga."

"Engga apa-apa, aku bisa kok."

Gadis itu menggeleng. "Aku tahu kamu bisa. Tapi aku yang enggak bisa menerima."

"Aduh ... Maaf nih. Gini, Mas dan Mbak, saya tadi sore sudah terlanjur terima uang muka dari yang mau nyewa, yang mau menempati kamar Mbak Neira. Jadi .... " Laila enggan meneruskan ucapannya.

"Iya Tante saya paham. Makasih ya Tante atas keringanannya, besok saya bereskan barang-barang saya, Tan."

"Ya sudah, saya permisi dulu ya." Laila meninggalkan Neira dan Prayoga dalam diam.

Kedua manusia itu membisu. Prayoga menghampar duduk di lantai begitu saja, tidak peduli pada lantai kotor pada teras kontrakan gadis itu.

"Kamu engga harus menolak bantuanku. Realistis aja, Nei. Gaji kamu engga akan cukup buat semua. Makan, kontrakan, transport. Kita bersama engga baru sebulan dua bulan, setahun dua tahun. Kita sama-sama sudah enam tahun, dan selama itu juga kamu engga pernah mau menerima bantuanku, apapun."

Gadis itu tetap membeku di tempatnya, dan diam seribu bahasa.

"Ya sudahlah," Prayoga bangkit berdiri, pemuda itu membuang napas kasar tak tahu lagi harus bagaimana. "Aku pulang." Ucapnya, lalu pergi begitu saja tanpa menoleh lagi ke arah Neira.

Setelah kepergian Yoga, Neira luruh ke lantai. Gadis itu menutup wajahnya dan mulai menangis.

"Bapak ... Apa yang harus Neira lakukan? Aku harus ke mana sekarang?"

_______________________________________

FUNFACT : Aku betah lho lebih dari sebulan engga keluar kamar :)

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status