Ceklek!
Wanita yang sejak beberapa jam lalu duduk dan sibuk dengan laptop-nya pun terkejut ketika seorang pria keluar dari kamar dan menghampirinya. Siapa lagi kalau bukan Bima – suaminya?
“Kok belum tidur, Yang?” tanya Bima pada istrinya.
Tamara menggeleng. “Masih sibuk kerja,” jawab Tamara seraya tersenyum manis kepada suaminya.
Bima sangat paham pekerjaan istrinya. Walau Tamara hanyalah seorang penulis novel di samping ia menjadi seorang ibu rumah tangga, tapi Bima sangat bangga dan mengapresiasi pekerjaan Tamara tersebut. Bagaimana tidak? Memiliki istri seorang penulis tentu membuat Bima selalu bahagia karena hari-harinya dipenuhi oleh kalimat-kalimat penuh cinta dari istrinya, tak jarang juga Tamara melontarkan kalimat-kalimat gila yang justru sangat menghibur Bima dan membuat pria itu bahagia.
Seorang penulis novel – suatu pekerjaan yang sering sekali diremehkan oleh banyak orang. Namun, meski demikian, gaji Tamara sebagai seorang penulis novel terbilang cukup untuk membeli skincare-nya atau baju puteri kecil mereka.
Bukan karena Bima tak mampu membelikan baju puteri mereka atau skincare untuk istrinya. Bima yang bekerja sebagai dokter spesialis ortopedi itu tentu saja memiliki banyak uang yang dapat membeli tak hanya sepasang baju untuk puterinya, ia juga dapat membelikan skincare untuk istrinya dengan kualitas terbaik dan harga yang mahal. Namun, karena hobi istrinya yang sudah ada sejak ia masih kanak-kanak itu membuat Bima tak memiliki hak untuk melarangnya.
Bima adalah tipe suami yang sangat mendukung apa pun yang dilakukan oleh istrinya, selama apa yang dilakukan oleh istrinya merupakan hal yang baik.
“Genre apa kali ini yang kamu tulis, Yang?” tanya Bima seraya melongok ke layar laptop Tamara. Namun, dengan cepat Tamara menutup laptop-nya.
“Warewolf,” jawab Tamara berbohong.
“Tentang manusia-manusia serigala gitu?” tanya Bima penasaran.
Tamara mengangguk mantap.
“Ah, aku nggak akan paham kayak gituan, Yang,” kata Bima menyerah. Ia sendiri juga tak berminat untuk menulis sebuah novel fiksi. Daripada menulis novel fiksi, Bima lebih suka membaca buku tentang ligament, persendian, otot, pembuluh darah, saraf, dan tulang belakang manusia – itu lebih tepat untuk profesinya sebagai dokter spesialis ortopedi.
Tamara tertawa mendengar perkataan suaminya.
“Kamu cantik banget, sih, Yang, hari ini. Jadi pengen ci—”
“Papa!”
“Baru aja mau godain mamanya, eh, anaknya udah bangun aja,” kata Bima dengan kesal.
Tamara tertawa.
“Papa, sini!”
Bima memandang Tamara dengan sedih, berharap ia dapat menikmati malam berdua dengan istrinya saja.
“Itu Anin udah manggil, Yang,” kata Tamara seraya tertawa.
Dengan putus asa, Bima pun berjalan masuk ke dalam kamar puteri mereka.
Tamara tertawa. Di satu sisi ia merasa kasihan dengan suaminya itu karena puteri mereka sangat dekat dengan ayahnya. Bahkan Anin – gadis kecil berusia empat tahun itu lebih dekat dengan Bima ketimbang dengan Tamara. Namun, di sisi lain Tamara bersyukur karena akhirnya ia dapat kembali menulis.
Tamara beberapa kali menarik napas dalam-dalam, lalu mengembuskannya dengan perlahan.
Oke, Ra, inilah saatnya lo nulis tentang dia, kata Tamara dalam hati.
Entah apakah hatinya kuat atau tidak menuliskan kisah tentangnya – lelaki yang sampai sekarang masih sangat lekat di hatinya dan tak akan tergantikan.
“Kamu kok ngelamun terus, Sayang?Apa ada yang mengganjal di pikiranmu?” tanya Diana pada puteri semata wayangnya. Gadis berusia 17 tahun itu menggeleng lembut. Matanya kembali menatap jalanan ibu kota yang sangat asing baginya. “Kamu nggak suka, ya, tinggal sama Mama?” Mata Diana berkaca-kaca. “Eh, nggak, Ma, nggak kok. Mama ini ngomong apa, sih? Rara suka banget tinggal sama Mama. Hanya saja ….” Tamara tak melanjutkan perkataannya. “Hanya saja apa, Sayang?” “Hanya saja Rara rindu Papa, Ma,” jawabnya sendu. Diana mendekapnya, mengusap lembut rambut panjang puterinya yang tergerai. Memang tak mudah baginya menjalani kehidupan seperti ini, terlebih anak gadisnya masih sangat belia untuk menelan pil pahit itu. Namun, bagaimana lagi? Kenyataannya sekarang ia dan suaminya sudah bercerai. Pria itu lebih memilih wanita yang umurnya tak terlampau jauh dari anaknya. “Papa sudah pergi, Nak. Kita harus terima itu,” jawabnya
Tamara mengekori seorang guru biologi dan juga wali kelasnya di kelas XI IPA 3, beliau bernama Bu Naomi. “Kalau kamu ada kesulitan atau masalah, kamu bisa cerita ke Ibu sebagai wali kelasmu, ya?” tawar Bu Naomi dengan lembut. Tamara mengangguk sembari tersenyum menjawabnya. Kelas yang sebelumnya ramai dan gaduh, kini menjadi hening ketika guru yang sedang hamil enam bulan itu masuk disusul oleh gadis mungil yang tak lain adalah Tamara. “Kita kedatangan teman ba—” “Uhuy .…” “Manisnya .…” “Duduk sama Abang sini, Neng.” “Jangan mau, Neng. Dia buaya.” Belum selesai Bu Naomi berbicara, kelas kembali ramai, menggoda sang siswi baru di sampingnya itu. “TENANG!” seru Bu Naomi berusaha menenangkan kelas. Wanita itu mengusap perutnya dan mengucapkan ‘amit-amit jabang bayi.’ Setelah kelas kembali tenang, Bu Naomi pun mulai mempersilakan Tamara mengenalkan diri. “Nama saya Tamara Alteyzia, biasa dipa
Jam beker bergambar Sailor Moon – kartun kesukaan Tamara sejak kecil itu berdering, menunjukkan pukul lima pagi, membuat Tamara langsung terbangun. Gadis itu mematikan jam bekernya. Hati Tamara berdesir, teringat akan seorang pria berusia 50 tahunan yang tak lain adalah ayahnya itu. Jam beker ini adalah hadiah ulang tahun yang diberikan oleh ayahnya untuknya tahun lalu. Tamara masih sangat ingat saat itu ayahnya pulang dengan keadaan basah kuyup sembari menenteng plastik berisi sekotak jam beker bergambar Sailor Moon untuk puteri cantiknya. Tamara tentu sangat bahagia mendapat hadiah tersebut dari ayahnya. Ia memeluk ayahnya dengan sangat erat sembari mengucapkan terima kasih. Tamara menggeleng-gelengkan kepalanya. Ia tak ingin mengingat apa pun tentang ayahnya, termasuk peristiwa bahagia mereka. Tamara berlari menuju kamar mandi, membersihkan tubuhnya dengan air dingin. Tak butuh waktu lama baginya untu
Tamara keluar toilet, melihat muka murungnya di pantulan cermin. Air matanya sudah kering dari tadi.Tamara membasuh mukanya dengan air, lalu berjalan kembali ke kelas diiringi tatapan aneh dan teriakan mengolok dari teman-teman kelasnya.Dengan segera Tamara mengemasi barang-barangnya, memasukkannya ke dalam tasnya.“Ra, ini, ‘kan, belum jam pulang,” kata Juna yang terheran-heran melihat apa yang dilakukan Tamara.Akan tetapi, Tamara tak meresponnya sedikit pun. Gadis itu justru berlari pergi membawa tasnya keluar.“Rara!” seru Juna memanggil. Namun, percuma saja, sang empunya nama sudah menghilang, entah ke mana.
Seseorang dengan baju batik merahnya dipadu dengan hijab warna senada serta sepatu pantofelnya itu dengan anggun berjalan menuju kelas XI IPA 1 – kelas penuh keributan dan tingkah para penghuninya yang luar biasa itu. Masih terdengar alunan dangdutyang diputar Ganjar menggunakanspeaker. “Siapa yang putar lagu ini? Harap dimatikan karena pelajaran prakarya akan segera dimulai,” kata guru kimia yang kerap disapa Bu Sisca itu. Akan tetapi, sang pelaku pemutar musik dangdut itu tak menghiraukan, ia masih asyik bergoyang. Yo wis ben duwe bojo sing galak Yo wis ben sing omongane sengak Seneng nggawe aku susah Nanging aku wegah pisah “GANJAR JULIAN!” Teriakan Bu Sisca akhirnya mampu membuat Ganjar terkejut lalu mematikan musiknya. “Kamu dengar nggak kalau bel masuk sudah bunyi sejak 10 menit yang lalu?” “Nggak, Bu,” jawab Ganjar dengan tanpa mera
Alyana terkejut bukan main mendapati putera sulungnya sudah tak sadarkan diri di bawah lantai bawah dengan darah yang mengucur dari kepalanya. Dengan segera ia memanggilambulancedan membawa Revano menuju rumah sakit milik keluarganya. Tamara yang merasa menjadi penyebab semua ini pun ikut ke rumah sakit, menunggu dengan harap-harap cemas. Alyana dan Alex terus melirik tak suka ke arah Tamara. Gadis mungil itu sebenarnya tahu, tapi ia tak peduli itu. Mulutnya terus komat-kamit berdoa agar Revano dapat segera disembuhkan. Tamara tak tahu lagi bagaimana jika hal buruk terjadi pada Revano pasca insiden ini. Hidup Tamara pasti akan sangat hancur. Bisa saja ia dikeluarkan dari sekolah atau yang terburuk ia dapat dipenjara karena mencelakai seseorang. Tentu hal itu akan berdampak buruk pada Diana. Sebuah ponsel berdering nyaring memecah keheningan di sana. Tentu saja itu bukan ponsel Tamara karena gadis itu tidak me
Butuh waktu tiga hari untuk seorang Revano pulih. Saat itulah Tamara menjadi sangat kerepotan – ia harus merawat Revano sepulang sekolah hingga pukul lima sore.Setiap kali Diana menanyakannya mengapa ia sekarang sering pulang malam, Tamara selalu menjawab jika sedang banyak tugas kelompok yang harus diselesaikan.Untung saja Diana percaya dan tak menanyakan hal lebih lanjutnya.Selama ‘mengasuh’ Revano, Tamara mulai tahu jika cowok itu sangat phobia terhadap kecoa.“Lo beneran takut kecoa?” tanya Tamara suatu waktu.“Kenapa?” Revano balik bertanya.Tamara menepuk jidat. Susah memang mengajak berbicara cowok di hadapannya itu.“Gue tanya, Vano.”
Tamara tersenyum geli membaca pesan Revano. Cowok itu semakin hari semakin tidak jelas saja, tingkahnya semakin aneh dari hari ke hari. Menjadi ‘pembantu’ Revano tidaklah buruk. Bahkan cowok itu membelikannya ponsel untuk mereka berkomunikasi. “Rara,” panggil Diana dari arah ruang jahit. “Ya, Ma?” Dengan segera Tamara bergegas menghampiri ibunya itu. “Tolong antar ini ke rumah Tante Desi, ya. Alamatnya udah Mama tulis di kertas ini,” pinta Diana seraya menyodorkan sekantung plastikkresekbesar berisi beberapa pakaian itu dan juga secarik kertas bertuliskan sebuah alamat milik seseorang. “Notanya udah ada di dalam,” lanjut Diana. Tamara mengangguk paham. Segera saja ia mengambil sepeda warna biru tuanya di samping rumahnya itu, lalu mengayuh dengan penuh semangat. Tamara memasuki pekarangan rumah itu yang begitu luas, lalu perlahan mengetuk pintu rumah. Seorang wanita dengan daster merah yang ke