Butuh waktu tiga hari untuk seorang Revano pulih. Saat itulah Tamara menjadi sangat kerepotan – ia harus merawat Revano sepulang sekolah hingga pukul lima sore.
Setiap kali Diana menanyakannya mengapa ia sekarang sering pulang malam, Tamara selalu menjawab jika sedang banyak tugas kelompok yang harus diselesaikan.
Untung saja Diana percaya dan tak menanyakan hal lebih lanjutnya.
Selama ‘mengasuh’ Revano, Tamara mulai tahu jika cowok itu sangat phobia terhadap kecoa.
“Lo beneran takut kecoa?” tanya Tamara suatu waktu.
“Kenapa?” Revano balik bertanya.
Tamara menepuk jidat. Susah memang mengajak berbicara cowok di hadapannya itu.
“Gue tanya, Vano.”
Tamara tersenyum geli membaca pesan Revano. Cowok itu semakin hari semakin tidak jelas saja, tingkahnya semakin aneh dari hari ke hari. Menjadi ‘pembantu’ Revano tidaklah buruk. Bahkan cowok itu membelikannya ponsel untuk mereka berkomunikasi. “Rara,” panggil Diana dari arah ruang jahit. “Ya, Ma?” Dengan segera Tamara bergegas menghampiri ibunya itu. “Tolong antar ini ke rumah Tante Desi, ya. Alamatnya udah Mama tulis di kertas ini,” pinta Diana seraya menyodorkan sekantung plastikkresekbesar berisi beberapa pakaian itu dan juga secarik kertas bertuliskan sebuah alamat milik seseorang. “Notanya udah ada di dalam,” lanjut Diana. Tamara mengangguk paham. Segera saja ia mengambil sepeda warna biru tuanya di samping rumahnya itu, lalu mengayuh dengan penuh semangat. Tamara memasuki pekarangan rumah itu yang begitu luas, lalu perlahan mengetuk pintu rumah. Seorang wanita dengan daster merah yang ke
Revano melepaskan gandengannya ketika sudah memasuki area sekolah, ia tak ingin seluruh siswa tahu jika ia menggandeng tangan Tamara – gadis yang mencari masalah dengannya di awal sekolah.Tamara memperhatikan sikap Revano dengan pandangan tak terbaca. Ia sendiri bingung, kenapa lelaki itu kembali dingin padanya.Akan tetapi, kembali lagi ke kenyataan bahwa Tamara hanyalah seorang ‘pembantu’ bagi Revano, tidak lebih.Gadis itu tak boleh terlalu berharap.“Lo duluan yang ke kelas,” kata Revano mempersilakan.Tamara masih terdiam, menikmati setiap inci wajah tampan dan sempurna seorang Revano dalam diam.“Nggak ada gurunya, gue udah chat Aldo tadi,” lanjut Revano yang sepertinya tahu apa yang dikhawatirkan
Sesi curhat antara Juna dengan Tamara itu terpaksa terhenti ketika seisi kelas menjadi semakin gaduh. “Woy, woy, woy, Vano berantem lagi, Cuy,” teriak Jaya dengan hebohnya, mengundang perhatian seisi kelas, tak terkecuali Tamara dan Juna. Vano berantem lagi?tanya Tamara dalam hati. Seberapa sering cowok itu berantem? Apakah ia sudah langganan bertempur dengan siapapun. Dengan segera Tamara berlari keluar, meninggalkan Juna di bangkunya dengan perasaan bingung. Langkah gadis itu menuju lapangan sekolah, ia sangat yakin jika Revano berada di sana. Benar saja. Kerumunan semakin ramai, tak terkecuali bapak dan ibu guru yang berusaha menenangkan. Dengan berani Tamara mendekat, berusaha menembus kerumunan itu untuk melihat lebih jelas bagaimana keadaan Revano. Tamara menutup mulutnya dengan telapak tangannya begitu melihat keadaan Revano yang benar-benar kacau itu. Rambut Revano tampak acak-acakan
Lelaki paruh baya yang Tamara sebut sebagai papa itu terdiam memandang Tamara. Ia tak percaya jika akan bertemu lagi dengan anaknya yang sudah ia buang jauh-jauh demi wanita di sampingnya itu. “Rara,” lirihnya. Tamara mengepalkan tangannya, wajahnya memerah menahan amarah. Di sampingnya, seorang laki-laki jangkung dengan masker dan topi yang menutupi wajahnya itu tampak kebingungan. Tanpa basa-basi, Tamara pergi dari hadapan pria itu. Revanokewalahanmembayar semua buku yang dipilih mereka tadi, lalu dengan segera mengejar Tamara. Untung saja kaki Tamara tidak panjang, sehingga langkahnya tidak lebar dan bisa dikejar. “Ra,” panggil Revano. Akan tetapi, sang empunya nama tetap tak menghentikan langkahnya. Dengan langkah cepat Revano dapat meraih tangan Tamara, membuat gadis itu menghentikan langkahnya. “Kenapa sih, Van?” “Lo yang kenapa? Kena
Sudah sebulan lebih sejak peristiwa Revano memberi hadiah pada Tamara di bukit itu dan sudah sebulan lebih hubungan keduanya semakin dekat. Tak hanya itu, bahkan Revano berani mengajak Tamara ikut berkumpul dengan anggota The Crush. Tentu saja hal tersebut membuat banyak siswi iri dan terus meneror Tamara – mengirimkan sesuatu yang aneh ke rumah Tamara secara terus-menerus dengan berbagai surat ancaman. Bahkan Tamara pernah mendapat kiriman sebuah bangkai burung yang kepalanya sudah lepas dari badannya. Di situ Tamara juga mendapati secarik kertas yang ditulis menggunakan darah dengan kata-kata penuh ancaman bahwa jika Tamara masih nekad untuk dekat dengan Revano dan tak mengakhiri hubungan mereka, Tamara akan celaka. “Lo kenapa udah jarang banget ngobrol sama gue? Lo juga kalau di sekolah terkesan kayak menjauh gitu. Setiap kali gue lihat lo dan lo lihat gue, bukannya lo nyapa gue, lo malah ngelengos gitu aja,” tanya Revano. Ia melontarkan pr
Sudah seminggu Revano dan Tamara berpacaran, tapi keduanya tak ingin memublikasikan hubungan mereka, terlebih di depan seluruh siswa di sekolah. Revano tak ingin Tamara mendapatkan teror yang lebih jahat dari bully yang dilakukan oleh beberapa siswi penggemarnya di sekolah. “Ra,” panggil Revano ketika keduanya sedang berada dirooftopsekolah berdua saja. “Hm?” “Nanti malam aku mau basket sama The Crush.” “Nggak ada acara berantem-beranteman, ‘kan?” “Nggak kok.” “Beneran?” “Iya, Sayang,” jawab Revano seraya mencubit pipicubbyTamara dengan gemas. “Ya udah, nggak apa-apa asal nggak berantem. Oh, iya, aku ke kantin dulu, ya,” kata Tamara pamit. Akan tetapi, lengannya dicekal oleh Revano. “Kenapa?” Revano merarik tubuh Tamara hingga memeluknya, lalu mencium bibir Tamara singkat. “Udah, sana. Hati-hati,” kata Revano.
Revano menyerahkan sebuah kartu berwarna biru pada Tamara. “Apa ini?” tanya Tamara bingung. “Ini ATM, Ra. Biar kamu nggak perlu bingung cari duitmu di mana lagi,” jawab Revano. Ia teringat kejadian beberapa minggu yang lalu, ketika itu Tamara panik dan mengatakan jika ia kehilangan uang. Namun, akhirnya Tamara menemukan uangnya di balik buku tebalnya. Tamaranyengirketika mengingat kejadian memalukan itu. “Gajimu udah aku transfer lewat ATM-mu ini, ya,” kata Revano lagi. Tamara manggut-manggut. Gadis itu melirik jam yang menggantung di dinding ruang tamu berwarna putih itu. Sudah pukul 19.24. “Mau ke mana?” tanya Revano ketika melihat Tamara tergesa-gesa mengemasi barang-barangnya. “Pulanglah. Udah malem ini,” jawab Tamara tanpa menoleh sedikit pun ke arah Revano. “Kalau diajak ngomong itu lihat lawan bicaranya dong,” protes Revano merajuk. Tamara tersenyum, lalu menoleh, bersamaan dengan Rev
“Lo mau ikut nggak, Van?” tanya Brian ketika anggota The Crush berkumpul. “Ikut ke mana?” “Camping, Revano.” “Lo ikut nggak?” Revano balas bertanya. Brian menggeleng. “Kenapa?” “Gue ada kumpul sama anak-anak HIMA di kampus,” jawab Brian. “Halah, alasan doang, ‘kan, lo? Tumben banget aktif di organisasi? Biasanya juga cuma jadi mahasiswa kupu-kupu alias kuliah-pulang, kuliah-pulang,” ledek Revano. Ia tahu betul jika saudara kembarnya tak serajin itu, meski tetap jauh lebih cerdas darinya. Brian terdiam mendapat ledekan itu dari Revano. “Lo lagi deketin Ody, ‘kan?” goda Revano seraya menyipitkan mata. Mata birunya yang sipit bertambah sipit ketika ia seperti itu. “Ody siapa lagi?” tanya Rizky penasara. “Ody yang—” Dengan segera Brian membungkam mulut Revano. Saudara kembarnya itu tak jarang mempermalukannya dengan tingkah-tingkahabsurddan mulut emberny