Sudah sebulan lebih sejak peristiwa Revano memberi hadiah pada Tamara di bukit itu dan sudah sebulan lebih hubungan keduanya semakin dekat. Tak hanya itu, bahkan Revano berani mengajak Tamara ikut berkumpul dengan anggota The Crush.
Tentu saja hal tersebut membuat banyak siswi iri dan terus meneror Tamara – mengirimkan sesuatu yang aneh ke rumah Tamara secara terus-menerus dengan berbagai surat ancaman. Bahkan Tamara pernah mendapat kiriman sebuah bangkai burung yang kepalanya sudah lepas dari badannya. Di situ Tamara juga mendapati secarik kertas yang ditulis menggunakan darah dengan kata-kata penuh ancaman bahwa jika Tamara masih nekad untuk dekat dengan Revano dan tak mengakhiri hubungan mereka, Tamara akan celaka.
“Lo kenapa udah jarang banget ngobrol sama gue? Lo juga kalau di sekolah terkesan kayak menjauh gitu. Setiap kali gue lihat lo dan lo lihat gue, bukannya lo nyapa gue, lo malah ngelengos gitu aja,” tanya Revano. Ia melontarkan pr
Sudah seminggu Revano dan Tamara berpacaran, tapi keduanya tak ingin memublikasikan hubungan mereka, terlebih di depan seluruh siswa di sekolah. Revano tak ingin Tamara mendapatkan teror yang lebih jahat dari bully yang dilakukan oleh beberapa siswi penggemarnya di sekolah. “Ra,” panggil Revano ketika keduanya sedang berada dirooftopsekolah berdua saja. “Hm?” “Nanti malam aku mau basket sama The Crush.” “Nggak ada acara berantem-beranteman, ‘kan?” “Nggak kok.” “Beneran?” “Iya, Sayang,” jawab Revano seraya mencubit pipicubbyTamara dengan gemas. “Ya udah, nggak apa-apa asal nggak berantem. Oh, iya, aku ke kantin dulu, ya,” kata Tamara pamit. Akan tetapi, lengannya dicekal oleh Revano. “Kenapa?” Revano merarik tubuh Tamara hingga memeluknya, lalu mencium bibir Tamara singkat. “Udah, sana. Hati-hati,” kata Revano.
Revano menyerahkan sebuah kartu berwarna biru pada Tamara. “Apa ini?” tanya Tamara bingung. “Ini ATM, Ra. Biar kamu nggak perlu bingung cari duitmu di mana lagi,” jawab Revano. Ia teringat kejadian beberapa minggu yang lalu, ketika itu Tamara panik dan mengatakan jika ia kehilangan uang. Namun, akhirnya Tamara menemukan uangnya di balik buku tebalnya. Tamaranyengirketika mengingat kejadian memalukan itu. “Gajimu udah aku transfer lewat ATM-mu ini, ya,” kata Revano lagi. Tamara manggut-manggut. Gadis itu melirik jam yang menggantung di dinding ruang tamu berwarna putih itu. Sudah pukul 19.24. “Mau ke mana?” tanya Revano ketika melihat Tamara tergesa-gesa mengemasi barang-barangnya. “Pulanglah. Udah malem ini,” jawab Tamara tanpa menoleh sedikit pun ke arah Revano. “Kalau diajak ngomong itu lihat lawan bicaranya dong,” protes Revano merajuk. Tamara tersenyum, lalu menoleh, bersamaan dengan Rev
“Lo mau ikut nggak, Van?” tanya Brian ketika anggota The Crush berkumpul. “Ikut ke mana?” “Camping, Revano.” “Lo ikut nggak?” Revano balas bertanya. Brian menggeleng. “Kenapa?” “Gue ada kumpul sama anak-anak HIMA di kampus,” jawab Brian. “Halah, alasan doang, ‘kan, lo? Tumben banget aktif di organisasi? Biasanya juga cuma jadi mahasiswa kupu-kupu alias kuliah-pulang, kuliah-pulang,” ledek Revano. Ia tahu betul jika saudara kembarnya tak serajin itu, meski tetap jauh lebih cerdas darinya. Brian terdiam mendapat ledekan itu dari Revano. “Lo lagi deketin Ody, ‘kan?” goda Revano seraya menyipitkan mata. Mata birunya yang sipit bertambah sipit ketika ia seperti itu. “Ody siapa lagi?” tanya Rizky penasara. “Ody yang—” Dengan segera Brian membungkam mulut Revano. Saudara kembarnya itu tak jarang mempermalukannya dengan tingkah-tingkahabsurddan mulut emberny
Pagi ini kelas XI IPA 1 tampak jauh lebih gaduh dari biasanya. Pasalnya usai mendengarkan amanat kepala sekolah yang begitu lama di tempat yang tak kalah panas itu, mendadak guru matematika yang terkenalkilleritu meminta izin untuk tidak mengajar selama jam pertama hingga terakhir karena anak sulungnya mengalami kecelakaan.Kejadian yang merupakan musibah itu justru menjadi sorak-sorai bagi siswa-siswi kelas XI IPA 1 tersebut. Situasi tersebut dimanfaatkan mereka untuk menjalani aktivitas masing-masing dengan bebas.Ganjarand the gangsudah melompat ke pojok belakang kelas. Apalagi kalau tidak membuka situs terlarang. Jika sudah seperti itu, mereka akan tenang, tidak mengganggu siswa lainnya.“Mau ke mana?” tanya Revano begitu melihat Tamara beranjak dari kursinya.
Sudah dua minggu sejak kejadian drama itu berlangsung, tapi Revano tetap tak ingin menegur Tamara. Bahkan lelaki itu tak pernah lagi membalas pesan Tamara.Tamara termenung di sudut taman seorang diri, memandang sekeliling dengan tatapan kosong. Pikirannya melayang entah ke mana. Hingga akhirnya matanya menatap dua sosok yang berjarak cukup jauh darinya, tapi dapat terlihat jelas siapa mereka.Revano dan Dinda tampak sangat asyik berbincang, sesekali mereka tertawa – itu tampak sangat jelas di garis wajah keduanya.Tamara mengembuskan napasnya dengan berat. Mau bagaimanapun ini sudah risikonya berpacaran dengan seorang Revano – anak ketua yayasan serta cucu pemilik rumah sakit terbesar di kota ini.Tanpa diduga, Revano juga menatap Tamara, mata mereka saling beradu tatap dalam radius lima
“Ra, buruan! Itu udah ditunggu Vano,” kata Diana sembari melongok ke kamar Tamara. “Iya, Ma,” jawab Tamara yang masih sibuk membenarkan letak dasinya. Gadis mungil itu pun keluar setelah merasa rapi. “Ayo, berangkat,” kata Revano. Tamara mengangguk. Keduanya lalu mencium punggung tangan Diana untuk berpamitan. Revano menyodorkan sebuah helm kecil untuk Tamara, lalu membantu gadis itu untuk bisa naik di jok belakang. Motor merah Revano melaju membelah jalanan kota. “Van.” “Hm.” “Kok tumben banget naik motor?” “Si Burhan lagi sakit.” “Burhan siapa?” tanya Tamara tak mengerti. “Mobilku yang biasanya kupakai ke mana-mana.” “Ada namanya, ya?” “Iyalah, biar keren.” Tamara terkekeh geli. Ia baru tahu jika mobil milik Revano itu bernama Burhan. Ada-ada saja cowok itu. “Emang Burhan sakit apa, sih?” “Dia sakit tonsilis, jadi mogok dan nggak mau ngapa
Sudah dua minggu sejak kejadian teror itu berlangsung. Kini rumah keluarga Pram kembali tenang setelah Revano meminta satpam kompleks untuk memperketat keamanan. “Van, besok lusa Tante Desi ulang tahun lho,” kata Alyana membuka pembicaraan ketika keduanya sedang asyik menonton film di ruang tengah. “Terus?” Revano bertanya dengan cuek, matanya masih fokus pada film yang ditontonnya. “Ih, kok terus, sih?” “Ya terus gimana, Ma? Vano harus gimana? Vano harusrolldepanrollbelakang gitu di depan Tante Desi sama Om Dedi?” Alyana mencubit perut Revano dengan kesal, membuat cowok itu berteriak kesakitan. Rupanya Alyana dan Tamara memiliki hobi yang sama, yaitu sama-sama suka mencubit perut Revano. “Bisa nggak Mama minta tolong Vano buat beli bahan-bahan bikin kuenya?” tanya Alyana sembari memasangpuppy eyesagar anaknya itu iba dan menuruti permintaannya. “Tapi, Ma, b
Sudah dua minggu ini Revano rutin menjenguk Tamara. Sejak meninggalnya Diana, Melati – sahabat Diana itu lah yang merawat Tamara. Wanita paruh baya yang belum menikah itu memutuskan untuk membawa Tamara tinggal bersamanya di rumahnya yang cukup mewah itu. Meski ia yang merawat Tamara kini, tapi Melati tak pernah membatasi siapa pun menjenguk puteri dari mendiang sahabatnya itu, termasuk Revano. Tamara mengamati Revano yang dengan lahap menyantap salat buah yang tadi dibawakan Revano untuk Tamara. “Kenapa?” tanya Revano bingung karena sedari tadi Tamara terus memandanginya. Tamara menggeleng. Revano menghela napas dengan berat, ia meletakkan mangkuk berisi salat buah yang sudah habis setengah wadahnya itu. “Kenapa?” tanya Revano lagi. Kini ia memilih untuk duduk lebih dekat dengan Tamara. “Van, aku sebenarnya nggak apa-apa kalau ditinggal. Beneran deh,” tolak Tamara. “Ra, sini deh,” kata Revano meminta Tamara lebih dekat lagi de