Sampai di kamar, Freya langsung membanting tubuhnya ke ranjang. Ia tak bisa membendung air matanya. Ucapan Argasangat menyakitkan baginya. Ia sudah bersusah payah untuk belajar merias wajahnya. Freya pikir, itu akan berdampak baik baginya. Tapi, ia justru salah.
Keputusannya itu, justru membawa kekecewaan mendalam baginya. Suara Arga masih terngiang di telinganya. Bagaimana pria itu menyamakan Freya dengan badut dan bagaimana teman-teman David tertawa. Sesaat, ia memikirkan ucapan Dita. Memang benar kata sahabatnya itu. Berubah untuk orang lain hanya membawa sakit hati untuknya.
Setelah beberapa lama menangis, Freya beranjak. Ia duduk di depan cerminnya sambil mengasihani dirinya sendiri. “Aku bersumpah tidak akan melakukan hal ini lagi.” Ucap Freya dengan marah. Dengan cepat Freya menghapus riasan wajahnya yang sudah bercampur dengan air mata. Ia lalu termenung.
“Sejak awal aku benar. Tidak mungkin pria populer seperti Arga akan menyukaiku.” Gumam Freya.
“Itu hanya terjadi di drama dan film.”
“Ck, betapa bodohnya aku. Kenapa aku bisa mengharapkan pria seperti itu?”
“Aku begitu menginginkannya hingga aku melakukan hal bodoh seperti ini.”
Lagi-lagi Freya bercermin. Ia tersenyum kecut melihat dirinya sendiri. Ia sendiri tak pernah suka dengan fisik yang ia miliki. Ia selalu berharap memiliki fisik seperti gadis-gadis lainnya.
“Apa aku begitu tidak pantas?”
“Apa salahku hingga aku menerima kata-kata kasar seperti itu?”
“Apa aku tidak boleh menyukaimu?”
“Apa hanya gadis-gadis cantik yang boleh menyukaimu?”
“Ya, mungkin aku ini hanya sampah untuk pria populer sepertimu.”
“Aku juga tidak tahu kenapa aku bisa menyukaimu. Aku menyukaimu begitu saja.”
“Kenapa kau tidak bisa memperlakukan aku seperti gadis lainnya?”
Tangan Freya mengepal. Ia sudah sangat lelah dengan perlakuan yang ia terima dari para pria di sekitarnya.
“Baiklah, aku tidak akan peduli siapapun lagi.” Ucap Freya.
“Aku tidak akan peduli pria manapun, termasuk kau Arga.”
Setelah lama menenangkan pikirannya, Freya memutuskan untuk membersihkan tubuhnya. Dan setelah itu, ia langsung tidur. Ia tahu, hanya itu satu-satunya cara untuk melupakan apa yang terjadi hari ini.
***
Pagi hari, Freya terbangun dengan mata sembabnya. Kali ini ia sama sekali tak terburu-buru merias wajahnya. Tidak seperti kemarin. Lagipula, untuk apa berusaha jika berakhir dengan luka?
Seperti biasa, setelah membuka matanya Freya masih bermalas-malasan di ranjangnya. Ia masih bermain dengan ponselnya. Setelah tiga puluh menit, Freya baru beranjak dari ranjang lalu bersiap kuliah.
Sebelum sampai di kampus, Freya menyempatkan diri membeli sebuah roti dan air mineral. Setelah hatinya patah, ia tidak mau tubuhnya ikut tumbang.
Sampai di kampus, beberapa teman menanyai Freya perihal kenapa dia tidak memakai riasan wajah hari ini. Freya hanya tersenyum, ia terlalu malas untuk menjawab pertanyaan satu per satu.
“Frey, kau baik-baik saja?” tanya Dita.
“Aku baru belajar sesuatu yang berharga kemarin.” Jawab Freya sambil tersenyum.
“Frey, ada apa? Kau bisa memberitahuku kalau kau punya masalah.” Jawab Dita.
“Ini bukan masalah Dit, sudah kubilang ini pembelajaran.” Jawab Freya.
“Jangan berbohong padaku. Kataka ada apa?” kata Dita.
“Aku menyukai orang yang salah.” Jawab Freya sambil tersenyum.
“Maksudmu, Arga?” kata Dita heran.
“Aku tidak ingin membahas hal ini lagi. Aku juga tidak mau peduli lagi padanya.” Jawab Freya dengan dingin.
Hari itu, Freya memutuskan untuk menghentikan kebiasaanya melihat Arga latihan basket. Untuk melupakan pria itu, Freya memilih pergi ke perpustakaan. Tempat favoritnya yang sudah lama tidak ia kunjungi.
***
Arga dan teman-temannya tengah duduk bersama ketika mereka melihat Freya dari kejauhan. “Hey, bukankah dia yang kemarin?” tanya seorang teman.
Arga memperhatikan langkah Freya. Gadis itu sudah berbeda dengan kemarin sore. “Bukankah dia biasanya melihat kita bermain basket?” sahut yang lain.
“Mungkin dia sudah tidak mau karena kejadian kemarin.”
“Apa aku keterlaluan?” tanya Arga.
“Mungkin.” Jawab yang lain.
“Tapi, bukankah kemarin memang dia seperti badut? Sama sekali tidak cantik dengan riasan wajah itu.” Jawab Arga sambil tertawa kecil.
“Mungkin dia menyukaimu.” Sahut teman Arga.
“Ck, tidak mungkin aku menyukai dia. Lagipula, kenapa harus dia?” tanya Arga.
“Masih banyak gadis lain yang lebih cantik darinya.”
Sontak, mereka semua tertawa. Memang benar, banyak gadis cantik lain yang ada di sekitar Arga. Kalau Arga sampai memilih Freya, berita itu pasti akan tersebar di kampus.
“Tapi, bermain dengan gadis itu mungkin menyenangkan.” Batin Arga sambil tersenyum tipis.
Setelah teman-temannya pergi, Arga melancarkan aksinya. Ia melangkah ke perpustkaan lalu mencari-cari sosok Freya disana.
Tak lama, ia melihat seorang gadis duduk di sudut ruangan sambil membaca buku tebal. "Ck, kutu buku seperti dia kenapa bisa menyukaiku?" batin Arga.
"Ah iya, aku lupa. Aku cukup populer, aku tampan, aku kaya, siapa yang tidak menyukaiku." batin Arga dengan sombong.
Arga melangkah mendekati Freya lalu duduk di sampingnya. Berbeda dengan kemarin, kali ini gadis itu begitu dingin padanya.
"Hei, kau yang kemarin bukan?" tanya Arga. Freya hanya melirik ke arah Arga tanpa mengucapkan apapun.
"Aku minta maaf atas ucapanku kemarin." ucap Arga dengan lembut.
"Aku tidak bermaksud menghinamu."
"Kenapa aku harus percaya padamu?" tanya Freya.
"Namamu Freya bukan?" tanya Arga.
Freya mengernyitkan dahinya. Ia sedikit heran, bagaimana bisa Arga tahu namanya.
"Aku sudah memperhatikanmu sejak lama. Tapi kupikir, kau lebih baik tanpa make-up kemarin." ucap Arga
"Kau lebih cantik natural seperti ini."
Mata Freya membulat setelah mendengar ucapan Arga. Kali ini, hatinya sedikit luluh. Rasa benci yang kemarin terasa kuat di hatinya, sedikit demi sedikit hilang.
"Sebagai permintaan maafku, kau mau makan bersama denganku?" tanya Arga.
Otak Freya ingin sekali menolak, tapi hatinya tak bisa. Meski belum sepenuhnya memaafkan, tapi akhirnya Freya pergi bersama Arga.
Mereka mulai mengobrol dan lebih akrab sejak saat itu. Freya pun mulai melihat Arga dari sisi yang berbeda. Dan akhirnya, Freya merasa nyaman ada di sisi Arga.
Sejak makan siang bersama beberapa waktu lalu, Arga dan Freya semakin dekat. Tak jarang, Freya memberikan hadiah-hadiah kecil untuk pria pujaan hatinya itu. Hari-hari terasa semakin indah bagi Freya. Tak jarang, Arga pun memberikan perhatian-perhatian khusus pada Freya. “Frey, apa yang kau bawa?” tanya Dita. “Ah ini, makan siang untuk Arga.” Jawab Freya. “Kau semakin dekat dengannya. Apa ada hubungan spesial?” tanya Dita. “Aku nyaman dengannya. Dia juga mungkin menyukaiku.” Ucap Freya.“Kami sering pergi bersama akh
Freya duduk sendirian di tepian jalan. Malam makin larut tapi Freya tak peduli. Ia merasa sangat hancur. Dan sekarang penampilannya pun sudah sangat lusuh. Pipinya basah oleh air mata. Dress yang ia pakai sudah kusut dan kotor karena Freya duduk begitu saja di jalanan.Tiba-tiba sebuah mobil berhenti tepat di depan Freya. Lalu seorang pria turun menghampirinya. “Hai nona, kau butuh tumpangan?” tanya pria itu. “Tidak, pergilah. Aku tidak butuh siapapun.” Jawab Freya lirih.“Tapi ini sudah hampir larut. Tidak baik seorang gadis sendirian disini.” Jawab pria itu.“Percayalah padaku, aku akan mengantarmu
Setelah wisuda, Freya berusaha mencari pekerjaan yang layak untuknya. Ia terpaksa berpisah dengan sahabatnya untuk mencari kesempatan yang lebih baik. Freya pindah ke sebuah tempat di pinggiran kota. Ia berharap bisa mendapat pekerjaan di salah satu perusahaan kecil disana. Lagi-lagi Freya tinggal di kamar kos yang sempit dengan perabotan seadanya. Tidak jauh beda dengan kamar kosnya yang dahulu. Freya sadar, ia tidak seberuntung orang lain. Ia tidak memiliki cukup uang untuk membangun bisnis sendiri atau melanjutkan kuliah. Yang Freya tahu ia hanya harus bekerja. Setiap hari ia berjalan mencari-cari lowongan pekerjaan. Satu demi satu lamaran pekerjaan ia sampaikan di gedung-gedung perusahaan kecil. Sayangnya, setelah menunggu dua minggu belum ada satupun perusahaan yang memanggilny
“Terimakasih.” Ucap Freya.David kembali tersenyum. Ia tak tahu kenapa gadis itu terasa menarik bagi Freya. Dan memang benar, dialah yang membuat David bertahan di tempat makan menjijikan seperti tadi. Entah apakah tempat itu pantas untuk disebut tempat makan. David yakin ada yang berbeda dengan gadis itu. Kalau tidak, tidak mungkin David mau membawa gadis itu pergi. “Frey, bagaimana jika kau berangkat bersamaku besok?” tanya David. “Hmm sebelumnya, aku tidak bermaksud apa-apa.” “Kupikir, itu akan menghemat uangmu bukan?”
David berjalan dengan gelisah di ruangannya. Sudah pukul setengah sepuluh, tapi sosok Freya belum juga muncul. “Sudah terlambat tiga puluh menit, kenapa dia tidak datang?” ucap David.“Apa dia tidak mempercayaiku?” “Arrgghhh!” Tiba-tiba pintu ruangannya terbuka. Krisna masuk dengan santainya ke ruangan itu. “Ada apa? Kau terlihat gelisah.” Ucap Krisna.‘Aku sedang menunggu seseorang.” Jawab David.
Krisna membuka pintu ruangan David. Ia begitu terkejut melihat sosok wanita yang duduk di ruangan itu. “Freya?” ucap Krisna.“Kris, hai!” seru Freya dengan gembira.“Kau bekerja disini?” Krisna mengangguk. “Dan kau tahu apa yang lebih istimewa? Dita juga bekerja disini.” Kata Krisna. Freya berteriak gembira. Ia sama sekali tak tahu kalau sahabatnya itu berada di kantor yang sama dengannya. “Benarkah?” ucap Freya.“Kalian saling kenal?
Dita melangkah bersama kekasihnya untuk kembali ke ruang kerja mereka masing-masing. “Rasanya sedikit aneh.” Ucap Dita.‘Sejak kapan ada lowongan untuk menjadi asisten David?” “Setahuku tidak ada lowongan kerja di posisi itu selama ini.” “Memang benar.” Kata Krisna.“Lagipula, untuk apa David butuh asisten? Sepertinya dia lebih nyaman bekerja sendirian.” Jawab Dita. “Apa ada sesuatu antara mereka?” “Tapi kelihatannya Frey
Krisna cepat-cepat menghampiri Dita dan Freya yang sudah menunggunya. “Aku tidak bisa mengantar kalian pulang kali ini. Aku ada urusan mendadak.” Ucap Krisna. “Baiklah kalau begitu.” Ucap Freya. Dita masih terdiam sambil memasang wajah cemberutnya. “Kau bilang mau membelikanku es krim.” Gerutunya. “Besok pasti akan kubelikan. Tapi kali ini aku minta maaf sekali, aku tidak bisa mengantarmu pulang.” Ucap Krisna.