Di sebuah ranjang luas dan mewah, Olevey terbaring. Wajahnya pucat pasi, dan napasnya telihat berat. Keningnya dihiasi anak-anak rambut yang menempel erat sebab keringat dingin terus mengucur deras dan membuat rambutnya yang halus serta mengembang dengan indah, kini terlihat lepek. Olevey tampak begitu tersiksa dengan kondisinya yang tentu saja terasa tidak nyaman.
Seorang pria berjubah tampak memeriksa Olevey dengan sihir yang berpendar biru gelap. Pria itu menarik tangannya dan menggeser tubuhnya. Ia membungkuk pada Diederich yang rupanya berdiri di dekat kaki ranjang. Diederich tampak cukup berbeda dengan rambut hitam legamnya yang kini berubah menjadi sewarna dengan netranya yang sewarna dengan rubi. Ini adalah rupa Diederich ketika bulan merah tengah berpendar dengan sempurna. Hal yang berubah dari Diederich memang hanya warna rambutnya, ini membuktikan jika Diederich memiliki kemampuan kontrol diri yang tinggi.
“Bagaimana?” tanya Diederich.
“Mohon maaf Yang Mulia, dengan tubuh manusianya yang lemah, rasanya sangat tidak mungkin untuk selamat dari danau kegelapan. Para iblis saja, tidak bisa selamat saat sudah tenggelam di sana, apalagi manusia seperti Nona Elevey. Sekarang, jiwanya sedikit demi sedikit sudah diserap oleh energi danau kegelapan. Mungkin, tinggal menunggu beberapa waktu lagi hingga ia ma—”
Pria itu tidak bisa melanjutkan apa yang ia katakan, karena lehernya sudah lebih dulu dililit oleh rantai merah yang terasa membara. Pria yang berstatus sebagai seorang ahli sihir dan obat di istana milik Diederich tersebut segera berlutut setelah sadar jika dirinya sudah melakukan kesalahan yang fatal. “Ma-maafkan saya Yang Mulia! Saya melakukan kesalahan!” seru ahli sihir bernama Zul itu.
“Aku memanggilmu untuk menganalisis dan mencari solusi, bukan memutuskan apa dia bisa hidup atau tidak,” ucap Diederich dingin lalu menarik kembali sihirnya yang membentuk rantai merah berselimut api membara yang melilit leher Zul.
“Sekali lagi saya meminta maaf, Yang Mulia,” ucap Zul meminta ampun.
“Sekarang pikirkan baik-baik, dengan cara apa kondisinya bisa kembali normal,” perintah Diederich pada Zul. Tentu saja, Diederich tidak akan membiarkan Olevey mati begitu saja.
Zul lalu teringat dengan buku yang diturunkan oleh leluhurnya sebagai seorang ahli sihir dan obat yang senantiasa berada di sisi Diederich sebagai raja iblis. “Yang Mulia, saya teringat dengan buku yang leluhur saya. Sepertinya, akan ada jawaban di sana. Hanya saja, apa pun caranya, pasti akan ada bayaran mahal yang perlu dibayar,” ucap Zul yang tentu saja dapat dimengerti dengan mudah oleh Diederich.
“Lakukan saja.” Diederich mengatakannya tanpa menatap Zul, dan malah menatap Olevey yang dari waktu ke waktu terlihat semakin tersiksa. Hal itu terlihat dari kernyitan pada keningnya dan napasnya yang semakin memberat.
Mendapatkan persetujuan dari Diederich, Zul pun mengulurkan tangannya dan tiba-tiba sebuah buku tebal yang tampak usang muncul di telapak tangannya. Zul merapalkan mantra dan buku yang terlindungi sihir tersebut terbuka. Zul tenggelam dalam buku leluhurnya yang ditulis dengan bahasa kuno, di mana tidak sembarangan orang bisa membacanya. Sementara itu, Diederich yang semula masih mengawasi Olevey merasakan kehadiran Exel, bawahannya yang paling setia.
“Yang Mulia, saya kembali,” lapor Exel.
“Bagaimana?” tanya Diederich tanpa basa-basi.
“Pelayan itu sama sekali tidak berbohong. Ia tidak memiliki hubungan apa pun dengan kejadian yang membahayakan Nona Olevey. Namun, Jennet memang tidak bisa melawan perwujudan dari energi danau kegelapan yang tiba-tiba muncul dan menyerangnya. Setelah menyerang Jennet, perwujudan energi itu menyerang Nona Olevey hingga terjatuh ke dalam danau dan hampir tenggelam,” jelas Exel. Ia memang ditugaskan untuk mengusut tuntas masalah yang menimpa Olevey.
Diederich mengangguk. “Sepertinya, energi danau kegelapan saja tidak bisa menahan diri untuk menarik Olevey. Meskipun pelayan itu tidak memiliki keterkaitan dengan masalah ini, jangan biarkan dia untuk kembali melayani Olevey. Asingkan dia.”
Exel tentu saja mengangguk. Ia tidak mungkin melawan perintah yang sudah diberikan oleh Diederich. Toh, Jennet memang perlu mendapatkan hukuman atas kelalaiannya yang tidak bisa melindungi Olevey sebagai seorang pelayan. Bertepatan dengan Diederich yang selesai memberikan perintah pada Olevey, Zul pun berkata, “Yang Mulia, saya sudah mendapatkan cara yang bisa menyelamatkan Nona Olevey.”
Diederich menatap Zul dan bertanya, “Apa caranya?”
Zul menatap kedua netra jungjungannya dan menjawab, “Tanda. Berikan tanda kepemilikian Yang Mulia padanya, maka dia akan selamat.”
Exel yang mendengar hal itu jelas terkejut, sementara Diederich mendengkus lalu terkekeh pelan. “Sepertinya, takdir memang senang bermain denganku,” bisik Diederich dengan nada mengerikan.
***
Diederich melangkah menyusuri lorong gelap yang sangat jarang dilewati oleh siapa pun. Hal ini terjadi karena area ini adalah area terbatas di mana tidak sembarang orang bisa memasukinya. Diederich berdiri di hadapan sepasang pintu berukuran berkali lipat dari tubuhnya yang terbilang sudah tinggi besar. Diederich adalah iblis yang paling menawan. Bagaimana tidak menawan jika dirinya memiliki tinggi hampir mencapai seratus sembilan puluh sentimeter. Bahunya lebar, dan otot tubuhnya terbentuk dengan sempurna. Tentu saja, semua itu membuat sosoknya semakin siap untuk menawan hati wanita mana pun yang melihatnya.
Poin utamanya adalah pada wajahnya yang terpahat tanpa cela. Hidungnya tinggi berpadu dengan tulang pipi dan rahang tegas. Jika Diederich datang ke dunia manusia, sudah bisa dipastikan jika siapa pun bisa menyimpulkan bahwa Diederich adalah seorang aristrokat yang terpelajar, dan tidak mungkin berpikir jika Diederich adalah seorang raja iblis yang hanya memiliki kekejaman dalam dirinya. Kali ini, Diederich menggunakan jubah hitam dengan sulaman merah darah di beberapa bagiannya membuat sosok Diederich semakin misterius saja.
Pintu besar tersebut terbuka. Dan Diederich disambut oleh sebuah ruangan yang cukup remang-remang. Namun, Diederich masih bisa melihat jika di tengah ruangan tersebut terdapat sebuah ranjang berkelambu merah. Hanya saja, sekeliling ranjang tersebut, adalah air yang terlihat begitu dalam. Ya, bisa dibilang jika ranjang tersebut berdiri di atas air. Diederich melangkah di permukaan air. Benar di atas permukaan air, dan Diederich sama sekali tidak tenggelam. Bahkan, kakinya sama sekali tidak basah. Tibalah Diederich di samping ranjang berkelambu tersebut. Ia menyibak kelambu dan akhirnya melihat sosok cantik bergaun merah rubi yang berbaring di tengah ranjang.
Gaun yang ia kenakan tampak menerawang dan menunjukkan lekuk tubuhnya yang menggoda. Sebenarnya, bahannya tidak terlalu menerawang, tetapi karena sosok cantik tersebut berkeringat dengan derasnya. Diederich mengernyit saat mendengar napas sosok cantik itu terdengar berat dan sesekali terdengar begitu kesulitan. Benar, sosok cantik tersebut tak lain adalah Olevey yang sudah dipersiapkan untuk mengikuti ritual kepemilikian. Diederich memejamkan matanya sebelum menghela napas. Ia membuka matanya dan naik ke atas ranjang.
Tepat saat itu, atap ruangan di atas ranjang tersebut terbuka. Hal itu membuat cahaya bulan merah yang sudah kembali berpendar menyirami sosok Diederich yang melepaskan jubah yang ia kenakan. Rambut Diederich kembali pada warna aslinya, hitam kelam. Penampilan Diederich terlihat begitu menawan dengan bagian tubuh atas yang polos, dan membuat perut, bahu, dan punggungnya yang dihiasi otot terlihat begitu sempurna. Diederich membungkuk dan mengungkung Olevey yang masih tak sadarkan diri.
Ia menyeka keringat yang membasahi kening lembut Olevey. “Ini mungkin akan terasa sakit, tetapi aku harus melakukannya,” bisik Diederich.
Apa yang akan dilakukan oleh Diederich memang tidak sepenuhnya atas kemauan Diederich. Ia terdorong oleh situasi. Jika saja, ini bukan jalan satu-satunya untuk menyelamatkan nyawa Olevey yang kini digerogoti oleh energi gelap danau kegelapan, Diederich tidak akan melakukan hal ini. Diederich menunduk, lalu menancapkan giginya yang meruncing tepat pada tulang selangka Olevey. Sengatan sakit yang disebabkan oleh gigitan tersebut membuat Olevey yang semula masih tidak sadarkan diri, mulai menggeliat dan tersentak bangun.
Olevey menangis terisak. “Sakit,” erang Olevey lalu berusaha untuk mendorong Diederich yang memeluknya dengan erat.
Namun, Diederich sama sekali tidak mau melepaskan Olevey. Ia malah memperdalam gigitannya dan membuat Olevey semakin menjerit karena siksaan rasa sakit yang seakan-akan menusuk hingga tulang-tulang di sekujur tubuhnya. Kepala Olevey pening bukan main. Rasa panas tiba-tiba menyebar dari bekas gigitan Diederich, begitu Diederich melepaskan gigitannya dan menjilat darah yang menetes dari sudut bibirnya. Napas Olevey semakin memberat dan pandangannya mengabur. Ketika Diederich mengeluarkan sepasang sayap hitam yang lebar, dan dihujani cahaya bulan merah, Olevey kembali jatuh tak sadarkan diri.
Diederich menghela napas panjang. Ia mengulurkan salah satu tangannya untuk mengusap lembut sisi wajah Olevey yang basah oleh keringat. Diederich pun bergumam, “Ini belum selesai.”
Diederich membawa Olevey yang masih tak sadarkan diri dalam gendongannya yang kokoh dan hangat. Ia membawa Olevey kembali ke dalam kamar pribadinya yang tentu saja adalah kamar paling luas, paling mewah, dan paling ketat penjagaannya. Diederich membaringkan Olevey di tengah ranjang. Namun, Diederich sama sekali tidak beranjak dari sisi Olevey. Ia malah ikut berbaring di samping gadis yang kini tampak sudah jauh lebih barik kondisinya. Napas Olevey sudah cukup teratur, tidak terlihat lagi jika Olevey kesulitan bernapas. Diederic mengulurkan tangannya dan merasakan suhu tubuh Olevey yang sudah kembali normal.
“Ayah,” panggil Leopold setengah putus asa sembari menatap ayahnys yang tengah duduk di kursi bacanya. Saat ini, gelapnya malam sudah memeluk semesta dengan sempurna. Leopold sudah menyelesaikan tugas hariannya dan kini datang ke ruang baca pribadi milik sang ayah, untuk kembali membicarakan hal yang mengganggunya.Karl menghela napas panjang. Ia meletakkan bukunya di atas meja, lalu menatap sang putra yang duduk di seberangnya. “Kamu sendiri sudah melihat apa yang sudah Ayah dan para Uskup Agung lakukan, bukan? Dunia iblis, dan Raja iblis bukanlah sesuatu yang bisa kita hada
Olevey diantar oleh Slevi menuju aula istana di mana singgasana milik Diederich berada. Tentu saja, Olevey perlu bertemu dengan Diederich untuk membicarakan hal aneh yang terjadi pada tubuhnya. Beruntungnya Olevey, saat ini bukanlah masa di mana bulan merah kehilangan cahaya, hingga Olevey tidak akan melihat bentuk-bentuk iblis yang mengerikan. Bentuk iblis yang mungkin saja bisa membuatnya terkena serangan jantung, dan jatuh tak sadarkan diri karena melihatnya. Namun, Olevey masih bisa merasakan jika para iblis yang bertugas sebagai pengawal, memperhatikan dan mencuri pandang padanya. Tampaknya, apa yang dikatakan oleh Diederich jika ia memiliki sesuatu yang membuatnya menarik di mata para iblis bukanlah omong kosong.
Olevey terbangun dari tidurnya karena tidurnya yang nyaman disambangi mimpi buruk. Olevey tersentak dan membuka matanya menatap langit-langit kamarnya. Setelah sembuh sakitnya, Olevey sudah kembali ke kamarnya yang sudah sangat nyaman dan familier dengannya ini. Jelas, kamar ini lebih nyaman daripada kamar bernuansa gelap yang sebelumnya Olevey tempati ketika sakit. Namun, saat ini Olevey tidak bisa merasakan kenyamanan yang biasanya selalu ia rasakan ketika berada di dalam kamarnya ini. Biasanya, Olevey merasa aman berada di dalam kamar yang memang tidak bisa didatangi oleh iblis-iblis lainnya.O
“Tunggu, apa yang Anda maksud?” tanya Olevey.“Apalagi? Tentu saja aku tengah membicarakanmu, istriku,” ucap Diederich dengan seringai yang membuat bulu kuduk di sekujur tubuh Olevey berdiri.
Olevey berdiri di bawah guyuran bulan merah yang berpendar keemasan. Kening Olevey mengernyit dalam saat melihat keindahan bulan merah keemasan yang belum pernah ia lihat. Olevey mengedarkan pandangannya dan tersadar jika dirinya berdiri dengan dikelilingi pohon pinus yang menjulang tinggi. Olevey tidak mengerti, kenapa dirinya bisa berakhir di tempat yang tidak pernah ada dalam ingatannya. Olevey tentu saja sadar, jika ini adalah dunia iblis, tetapi Olevey tidak pernah menginjakkan kakinya di hutan pinus yang ia kenal sebagai pebatasan menuju portal penghubung.
12. Apa Ini Waktunya?
Olevey berbalik dan mendorong Diederich menjauh darinya, lalu meraih selimut yang berada di dekatnya. Olevey menggunakan selimut itu untuk membalut tubuhnya yang memang hanya menggunakan pakaian dalam. Meskipun merasa sangat malu karena Diederich melihatnya saat berada dalam kondisi yang tidak pantas, Olevey berusaha untuk mengendalikan diri. Termasuk mencoba untuk mengendalikan rasa sakit yang menyerang bahu dan sekujur tubuhnya. Untuk saat ini, hal yang paling penting adalah mengusir Diederich dari kamar sebelum ada hal yang tidak diinginkan terjadi.“Dengan hormat, saya minta Yang Mul