Share

Part 3

"Apa?!" Air muka Rigel mendadak pucat saat resepsionis menelepon untuk mengabarkan kalau baru saja terjadi kecelakaan. Bukan hanya itu, batinnya mendadak nyeri saat mengetahui siapa korbannya.

Tanpa memeduli Naresha yang hampir terjungkir dari pangkuan Rigel, karena pria itu beranjak cepat, pria itu bergegas keluar dari ruang kerjanya, menekan tombol lift yang terasa lama terbuka.

Hati Rigel terus berdoa---berharap kalau apa yang didengarnya beberapa menit lalu adalah suatu kebohongan. Ia sendiri masih tak percaya akan kehadiran Binar di perusahaannya. Ada perlu apa wanita itu kemari? Pikirannya bertanya-tanya. Namun, kerumunan yang dilihatnya saat ia sudah sampai di lokasi kejadian begitu menarik hatinya.

Rigel mengurai, mendesak masuk di antara kerumunan itu. Sejurus kemudian, kedua netranya terbelalak tatkala melihat wanita yang menjadi istrinya selama sebulan ini sedang terbujur tak berdaya di atas pangkuan Nira. Tubuh wanita itu mengeluarkan darah, membuat batinnya menatap tidak tega. Perlahan tubuhnya merosot, lalu diraihnya tubuh sang istri dari sekretarisnya.

"Binar ... bangun. Binar ...." Berapa kali pun Rigel memanggil, istrinya hanya membisu dengan mata terpejam damai. Ia mendongak, menatap nyalang satu per satu para karyawannya. "Kenapa kalian hanya berdiri, huh?! Cepat cari bantuan!"

"Kami sudah menelpon ambulance, Tuan. Sepertinya sebentar lagi akan segera sampai," ucap Nira dan benar saja, selang beberapa menit kemudian ambulance pun datang.

Para tim medis segera menurunkan tandu ambulance, membopong Binar, menaruhnya di atas tandu, kemudian memasukkannya ke dalam ambulance. Di saat Rigel hendak masuk ke dalam ambulance, sebelah tangannya tiba-tiba dicekal oleh Naresha.

"Kau tidak berniat masuk ke sana, 'kan?" tanya Naresha dengan tatapan tidak suka, terutama ketika Rigel hanya diam tak menanggapi. "Aku tidak mau naik mobil mengerikan itu. Lebih baik kita naik mobilmu saja," lanjutnya.

"Tapi dia membutuhkanku, Sha," sahut Rigel.

Naresha berdecak kesal. "Apa kau tidak lihat, sudah ada tim medis yang menemaninya?"

Terlihat mulut Rigel sudah terbuka. Pria itu berniat membantah ucapan wanita pujaannya. Entah mengapa, meski sudah ada tim medis yang menemani istrinya, ada rasa tidak rela jika ia harus meninggalkan istrinya. Ada rasa tanggung jawab yang dipikulnya. Sementara itu, beberapa pasang mata menatap nyalang kepadanya. Suami brengsek, mungkin itulah yang sedang dipikirkan para karyawannya. Namun, saat ini ia tidak peduli.

"Biar saya saja yang menemani Bu Binar, Tuan," usul Nira. Pada awalnya, Rigel ingin menolak, namun tarikan Naresha di tangannya membuatnya mengangguk.

***

Rigel duduk di sisi brankar Binar dengan sebelah tangan yang membelai wajah pucat wanita itu. Di atas brankar itu, istrinya terbaring tak berdaya dengan kepala yang dibalut perban dan kaki kanan yang dibalut gips setelah operasi pemasangan pen, karena tulang kakinya patah. Beberapa elektroda pun menempel di bagian dadanya untuk mengetahui irama jantung. Tak hanya itu, masih banyak beberapa lecet di tubuh wanita itu. Bahkan, wanita itu harus mendapat donor darah akibat benturan di kepalanya begitu keras, sehingga mengalami pendarahan yang memicu syok hipovolemik, yaitu kondisi darurat di mana jantung tidak mampu memasok darah yang cukup ke seluruh tubuh akibat volume darah yang kurang. Tak jauh dari posisinya, Naresha sedang duduk di sofa tunggu sambil memainkan ponselnya.

Naresha membanting ponselnya ke sofa, kemudian menjatuhkan pandangannya kepada kekasihnya. "Mau sampai kapan kau terus memandanginya, huh?! Nanti juga sadar sendiri. Lebih baik sekarang kau antar aku pulang. Aku bosan di sini."

Usapan lembut Rigel terhenti. Pria itu kemudian memutar tubuhnya dan menatap Naresha. "Aku masih harus di sini, Sha. Jika kau ingin pulang, pulanglah sendiri. Maaf, aku tidak bisa mengantarmu," lirihnya.

Naresha beranjak, kemudian menyilangkan kedua tangan di dada. "Maksudmu, kau lebih memilih wanita sialan itu daripada aku?!" tanyanya tak terima.

"Kumohon, mengertilah, Sha, dan jangan pernah kau mengatai istriku wanita sialan," sahut Rigel dengan lembut. Mendengarnya, napas Naresha memburu, karena tidak terima.

"Oh, jadi sekarang kau mengakui kalau dia istrimu. Baiklah aku mengerti, kalau di matamu sekarang aku bukan siapa-siapa lagi," desis Naresha. Ia kemudian menarik kakinya menuju pintu keluar. Namun, ketika tangannya sudah mencapai gagang pintu, sebelah tangannya ditarik Rigel. "Lepas!" ucapnya seraya menghentak tangannya.

"Siapa yang bilang kalau kau bukan siapa-siapa?!" Nada bicara Rigel meninggi.

Naresha memalingkan wajah enggan menanggapi, hanya gumaman yang terdengar dari bibirnya. "Seharusnya dia bukan hanya patah tulang, tapi mati."

"Apa kau bilang, Naresha?!" bentak Rigel seraya memalingkan wajah Naresha agar menatapnya.

"Cih, bahkan sekarang kau mulai berani membentakku. Jangan-jangan sekarang kau sudah mencintainya," tuduh Naresha seraya tertawa sumbang. Lain halnya dengan Rigel, air muka pria itu berubah merasa bersalah.

"Maaf, aku tak bermaksud membentakmu. Kau tahu bahwa sedari dulu aku hanya mencintaimu. Tapi kali ini, kumohon izinkan aku untuk menemani Binar," mohon Rigel seraya mengelus pipi kekasihnya. "Aku melakukannya karena saat ini dia adalah tanggung jawabku. Selain itu, apa kau tidak lihat bagaimana karyawanku menatap sinis pada kita? Aku tidak ingin mereka beraggapan buruk padamu," lanjutnya, membuat Naresha perlahan mengangguk.

"Baiklah aku maafkan. Sekarang aku pergi dulu," pamit Naresha. Sebelum pergi, ia menyempatkan diri untuk mengecup pipi kekasihnya.

Tak lama setelah kepergian Naresha, pintu ICU tempat Binar dirawat diketuk, kemudian menampilkan Nira dan seorang pria yang datang. Mata Nira yang langsung tertuju pada istri bosnya menatap dengan pandangan prihatin, sedangkan pria yang datang bersamanya menunduk takut---enggan menatap wajah sang bos.

"Kalian belum pulang?" ucap Rigel pada kedua pegawainya.

"Belum, Tuan," jawab Nira. Ia kemudian memberi kode pada pria di sebelahnya untuk menceritakan kejadian yang sebenarnya. "Ayo, Ndra," bisiknya.

Andra---pria yang berdiri di sebelah Nira---secepat kilat berlari ke arah Rigel, kemudian bersujud di bawah kaki pria itu. "Maaf, maafkan saya, Tuan. Saya tidak sengaja. Tadi saya sedang terburu-buru hingga tidak sempat mengerem saat istri Tuan berlari di depan mobil saya," akunya.

"Brengsek! Apa kau tidak lihat dampak dari perbuatanmu, huh?!" geram Rigel seraya menarik kerah Andra agar pria itu berdiri, kemudian melayangkan pukulan-pukulan di wajah dan perut pria itu. Sementara itu, Andra hanya diam menerima hukumannya. "Nira, cepat hubungi polisi dan jebloskan pria ini ke penjara!" titahnya.

Andra menggeleng. "Jangan, Tuan. Saya mohon." Namun lirihannya sama sekali tak diindahkan Rigel. Bosnya itu malah menyeretnya ke luar, melemparkannya ke satpam rumah sakit untuk segera dibawa ke kantor polisi.

Dengan napas terengah Rigel kembali duduk di sebelah brankar Binar, pun dengan Nira yang duduk di seberangnya. Ada rasa kasihan sebenarnya dalam diri Nira pada Andra, namun ia tidak bisa apa-apa. Lagi pula, Andra memang bersalah.

Untuk beberapa saat, kamar itu terasa hening. Hanya bunyi mesin eletrokadriograf yang terdengar. Sampai kemudian, dengan hati-hati Nira menceritakan bagaimana awalnya Binar datang ke kantor untuk menyerahkan kotak makan dan map yang tertinggal, sebuah luka yang tersirat di matanya saat melihat Rigel sedang bersama Naresha, hingga akhirnya dengan perasaan kecewa Binar berlari secepat mungkin, kemudian terjadilah kecelakaan itu.

"Saya tidak tahu apa alasan Tuan menikah dengan Bu Binar, padahal saya tahu kalau Tuan sudah lama berpacaran dengan Bu Naresha. Tapi, apa pun alasannya, saya mohon mulai sekarang Tuan bisa lebih memahami perasaan Bu Binar. Bagaimanapun, statusnya sebagai istri lebih tinggi daripada Bu Naresha," tutur Nira. Ia menghela napas panjang, kemudian beranjak. "Saya pulang dulu. Semoga Bu Binar segera siuman. Assalamu'alaikum," pamitnya seraya menundukkan kepala.

"Wa'alaikumussalam," sahut Rigel setelah sekian menit ia hanya bergeming seraya mendengarkan ucapan Nira. Di saat mata coklat gelapnya menatap istrinya, ada rasa nyeri bagaikan tersayat sembilu. Ia tak menyangka kalau ia adalah jalan yang memicu kecelakaan itu terjadi. "Maaf," lirihnya bersama setetes bulir bening yang lolos di sudut matanya.


Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status