Share

Part 4

Detik demi detik terlewati, hingga tak terasa, dua minggu sudah Binar terbaring koma setelah kecelakaan yang menimpanya. Di sebelah wanita cantik itu, Rigel senantiasa menemani---menantinya membuka mata---kadang ditemani kedua orangtua pria itu. Sampai kemudian, jemari lentik wanita itu bergerak, begitu pun kedua netranya yang perlahan mengerjap dan terbuka.

"Binar, akhirnya kau sadar juga." Air muka Rigel begitu terang saat melihat istrinya siuman. Namun, tak ada balasan sama sekali dari istrinya. Binar hanya diam dengan wajah sendu. "Kau haus?" tanyanya yang pada kemudian dijawab sebuah anggukan lemah.

Rigel memosisikan tubuh Binar menjadi duduk, membantunya minum sedikit demi sedikit. Setelah itu, ia segera memencet tombol yang berada di dinding di atas brankar agar dokter segera hadir. Tak lama kemudian, sang dokter pun hadir untuk memeriksa perkembangan Binar dan melepas elektoda di tubuh wanita itu.

"Kenapa kaki kanan saya terasa mati rasa, dok?" tanya Binar seraya menyentuh kakinya.

"Tulang kaki Anda mengalami patah sehingga harus dipasangi pen dan gips setelah reposisi agar tulang bisa terbentuk ke posisi semula. Mati rasa itu wajar, apalagi Anda terbaring koma selama dua minggu ini. Beberapa minggu ke depan Anda sudah bisa merasakan kaki Anda. Dua minggu lagi kita akan kembali melakukan rontgen sebelum melepas gips untuk mengetahui perkembangan kaki Anda," papar dokter.

"Apa saya bisa berjalan seperti semula?" tanya Binar cemas.

"Tergantung sejauh mana kaki Anda berhasil setelah melakukan fisioterapi. Untuk beberapa bulan ke depan Anda membutuhkan kruk untuk berjalan. Di bulan ketiga dan keempat, pen Anda bisa dilepas. Setelah itu, di bulan kelima dan keenam, Anda mulai bisa berjalan tanpa kruk, meski masih tidak boleh melakukan aktivitas terlalu berat. Pada beberapa kasus dibutuhkan waktu bertahun-tahun untuk bisa berjalan normal seperti semula, bahkan pahitnya ada yang tidak bisa berjalan," sahut dokter menjelaskan.

"Maksudnya, kemungkinan saya juga bisa lumpuh, dok?" tanya Binar kembali.

Dokter menghela napas. "Anda harus semangat dan terus melakukan terapi. Jangan pernah putus asa. Berdoalah, karena kita tak pernah menduga betapa dahsyatnya doa," jawabnya menyemangati. "Kalau begitu saya permisi," pamitnya.

Hati Binar mencelos. Takdir seolah tak berhenti menyakitinya. Setelah matanya melihat bagaimana suaminya bermesraan dengan wanita lain dan telinganya menangkap ungkapan cinta suaminya pada wanita lain, kini ia harus menelan pil pahit bahwa kakinya tak bisa berjalan normal. Ingin rasanya ia berteriak pada dunia, memrotes bahwa ia tidak kuat. Namun, semua itu ia pendam.

Sepeninggal dokter, air mata Binar yang sedari tadi menuntut keluar tertahan, hanya kebisuan yang ia perlihatkan dengan pandangan mata yang tertuju pada satu arah memperlihatkan kehampaan. Ia harus kuat, karena air mata hanya akan memperlihatkan betapa lemahnya ia dan itu semua pasti mengundang tawa bagi Rigel dan Naresha.

"Maaf." Kata itu meluncur dari bibir Rigel. Pria itu menundukkan kepalanya, sedangkan satu tangannya menggenggam tangan istrinya.

Binar menoleh, memperlihatkan wajah datar. "Untuk apa?" Pertanyaan itu bagai sebuah bom yang membuat Rigel telak mati rasa.

"Untuk semua," jawab Rigel. Ia kemudian mengembuskan napas kasar lalu berkata, "Aku dan ... Naresha."

Binar mengulas senyum kecil pada suaminya. "Bukankah aku yang seharusnya minta maaf? Aku adalah penghancur hubungan Kakak dan dia," ucapnya seraya melepaskan genggaman tangan suaminya.

Rigel menelan saliva dengan susah payah saat mendengar penuturan istrinya. Tenggorokannya mendadak kering. Ucapan istrinya terdengar bagai sebuah sindiran yang menusuk, apalagi senyum yang diperlihatkan. Ia bingung harus berkata apa. Jelas-jelas menurut penuturan Nira secara tidak langsung ialah yang menjadi penyebab kecelakaan itu terjadi.

Bulir-bulir bening yang Binar perlihatkan menyiratkan bahwa wanita itu terluka dan kecewa. Itulah yang Rigel tangkap dari layar CCTV perusahaan yang ia lihat untuk mengetahui bagaimana kronologi kecelakaan itu terjadi. Batinnya pun meringis saat dokter mengatakan bahwa perut istrinya kosong---menandakan belum makan. Ia berpikir, kemungkinan istrinya ingin sarapan bersamanya. Istrinya sudah sudah payah memasak untuknya. Tapi nyatanya, ia justru mengecewakan istrinya dengan sarapan bersama wanita lain. Selama ini, ia sudah membohongi istrinya.

"Binar ... aku ... aku minta maaf. Tak seharusnya pemandangan itu kau lihat," ujar Rigel.

"Memangnya, apa yang seharusnya aku lihat? Semua itu memang seharusnya terjadi. Pernikahan kitalah yang tak seharusnya terjadi. Seharusnya aku bisa menolak perjodohan itu. Seharusnya aku pergi jauh dan bersembunyi di suatu tempat agar Kakak dan Kak Naresha masih bisa bersama tanpa harus merasa bersalah padaku," sahut Binar seraya tersenyum, meski jauh di dalam lubuk hatinya menyiratkan kegetiran yang mendalam.

"Ini bukan salahmu. Aku pun menyetujui perjodohan itu," ujar Rigel. Tangannya kembali ingin menyentuh tangan istrinya, tapi secepat kilat Binar menarik tangan---tak mau disentuh.

"Tidak masalah jika Kakak ingin bersama Kak Naresha. Tapi, aku mohon jangan sekarang. Jangan ketika Kakak masih berstatus suamiku. Bukan karena aku egois, tapi karena aku tidak ingin nama baik Kakak dan keluarga kita tercoreng.

"Selama ini Kakak mungkin berhasil menyembunyikan apa yang Kakak dan Kak Naresha lakukan, seperti makan bersama, pergi bersama, bahkan membeli sebuah cincin yang begitu indah. Ah tidak, bukan berhasil menyembunyikan, tapi tak ada orang yang menegur kalian saat bersama, sehingga kalian terus bersama. Namun di balik semua itu, Kakak tidak tahu bahwa ada orang yang melihat kalian lalu membicarakan kalian di belakang, hingga sampai ke telingaku.

"Coba katakan padaku, jawaban apa yang pantas aku beri saat ada yang bertanya mengapa suamiku pergi bersama wanita lain? Haruskah aku berbohong kalau wanita itu adalah saudara dari suamiku?" Sontak pertanyaan Binar begitu telak menampar hati Rigel. Pria itu membeku, bingung harus menjawab apa, sedangkan Binar malah terkekeh. "Ah, aku tidak berbohong, kalian memang saudara sesama umat manusia, 'kan?"

Sungguh, kekehan Binar semakin mengiris hati Rigel, memperlihatkan betapa brengseknya ia. Tapi, mau bagaimana lagi? Semua itu terasa sulit baginya. Tak ada orang yang mampu melepas orang terkasihnya demi sosok baru, bahkan Binar sekalipun. Padahal baginya, setelah ibunya, nama Binar-lah yang terpatri sebagai wanita yang berharga di hatinya.

"Binar ...," panggil Rigel lirih. Ia ingin menangis, tetapi tak bisa.

Jujur, Rigel merasa terpojokan dalam situasi seperti ini. Ia pun merasa bahwa tatapan karyawannya mencemohoon kedekatannya dengan sang kekasih---Naresha. Orang-orang itu tak mengerti perasaannya. Binar dan Naresha bukanlah pilihan. Mereka punya tempat spesial masing-masing di hatinya. Ia menyayangi Binar, tapi ia mencintai Naresha. Bajingan? Ia tak peduli julukan itu tertuju padanya.

Binar mendesah pelan. "Satu tahun," ucapnya, membuat Rigel menatapnya dengan sebuah kernyitan. "Aku tahu itu terlalu lama. Tapi, bercerai saat ini tidaklah tepat, terutama bagi perasaan keluarga kita. Selagi menunggu, bisakah Kakak berpisah dengannya dulu selama satu tahun? Setelah itu, kita akan bercerai, lalu Kakak bisa menikah dengan Kak Naresha."

Rigel menggeleng. "Binar, aku tidak mau kita bercerai."

Binar tertawa miris. "Maksud Kakak, Kakak ingin berpoligami? Maaf, aku bukan Saudah binti Zam'ah yang rela membagi hati. Aku ingin seperti Khadijah binti Khuwailid yang menjadi satu-satunya hingga akhir hayat. Tuhan memang membalas surga bagi wanita yang suaminya berpoligami. Tapi perlu digaris bawahi, itu adalah hadiah bagi wanita yang ikhlas. Dan maaf, aku bukan wanita yang tercipta dengan hati seikhlas itu."

"Bu---bukan itu maksudku," elak Rigel.

"Lalu apa? Bermain di belakang dan menumpuk dosa?" tanya Binar retoris. "Meski Kakak tidak menganggap pernikahan ini, aku tidak ingin suamiku berdosa. Karena itulah, aku minta Kakak bersabar selama satu tahun ini. Kakak juga tidak perlu khawatir, jika Kak Naresha benar-benar mencintai Kakak, dia akan sabar dan setia menunggu."

Rigel menggaruk tengkuknya yang sama sekali tidak terasa gatal. Semakin ke sini, ucapan Binar semakin menusuk batinnya. Rasanya, ia ingin menenggelamkan diri ke dasar laut. Tapi, sekali lagi ia tak tahu harus berkata apa.

"Selama satu tahun ini, seperti biasanya, aku akan melakukan kewajibanku seperti seorang istri. Namun, kita tak perlu tidur satu kamar." Binar kemudian memalingkan wajah ke arah jendela seraya menyembunyikan kedua manik matanya yang berkaca-kaca. "Dengan begitu Kakak tidak perlu lagi menyiksa diri dengan tidur di ruang kerja atau di sofa untuk menghindariku yang jijik ini."

Lagi-lagi Rigel tercengang, bukan hanya soal kebersamaannya dengan Naresha dan cincin yang mereka beli, tapi soal tidur. Ia menggeleng, meski itu percuma karena tak bisa dilihat Binar. Ia pun membalikkan tubuh istrinya, kemudian memeluknya erat.

"Maafkan aku. Demi Tuhan, aku tidak jijik padamu," sesal Rigel. Sementara itu, tanpa permisi air mata yang sedari tadi ditahan akhirnya lolos sudah, membasahi wajah Binar. Wanita itu terisak dalam pelukan suaminya. Tak kuasa menahan sakit yang begitu menyesakkan dada.

"Kumohon, jangan acuhkan aku, perlakukan aku seperti saat-saat kita sebelum menikah. Setelah itu, aku akan pergi sejauh mungkin. Aku janji," pinta Binar seraya terus menumpahkan getir yang dirasakannya.

Mungkin memang inilah jalan yang harus Binar tempuh. Terlampau sakit, tetapi tak ada jalan lain yang bisa ia lewati. Mau tak mau ia harus tetap melangkah di atas ribuan jarum yang membuatnya tertatih bersama tetes demi tetes darah yang setia menemani.

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Tita Zetta Amanda
sedih aku thor...
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status