Share

6 | Kidnap

Kata-kata yang dilontarkan Alex Willis terus berulang. Ciuman singkatnya juga masih membekas. Pria itu tanpa berkata apapun meninggalkanku yang berhasil mematung selama beberapa menit di area parkir. Mungkin Alex berubah pikiran, lebih setuju untuk pergi ke bengkel mobil, ketimbang menyaksikan runwayku.

"Lily, ini pakaianmu. Segeralah bersiap." Suara Aiden menyadarkanku. Aku menerima dress dengan warna dominan putih dan aksesoris kecil pada bagian depan, pakaian semi formal untuk menghadiri pesta.

Dalam dua menit aku sudah siap, diikuti dengan makeup artist yang memoles tipis sekitaran wajah dan leherku. Berdiri tepat di belakang Emily Campbell, kami saling memberikan semangat lalu tertawa untuk menghilangkan rasa gugup. Biasanya aku tidak setegang ini. Semoga saja semua berjalan lancar.

Menghela nafas, aku mengangkat daguku lurus dan tatapan mataku seketika berubah menjadi tajam, namun tetap hangat –itulah yang selalu berbagai majalah kerap katakan disetiap ulasan mereka. Aku berjalan santai, langkahku ku sesuaikan dengan ritme menghentak lagu pengiring. Seorang pria berkacamata hitam yang menduduki kursi paling depan menyunggingkan senyuman. Jujur itu membuatku bergidik. Aku menjadi lebih santai setelah mengingat ucapan Alex, bahwa aku harus.

Nyatanya semua tidak berjalan lama, sebuah tembakan di udara terdengar dan semua orang berteriak histeris. Lututku lemas, tak kuasa menahan beban tubuhku sendiri. Aku tersentak mendengar pelatuk pistol dilepaskan untuk kedua kalinya. Menutup kedua kuping dengan gemetar, aku ingin berlari seperti yang lainnya, tetapi aku begitu sulit menggerakkan kedua kakiku. Aku kian menegang mendapati pria yang membawa pistol tersebut menarik paksa tanganku.

"Ikut aku." Dia menyeringai, seraya ujung pistolnya sengaja ditaruh di kepalaku.

Dua orang security tidak berkutik karena ancaman pria tersebut. Aku melihat sekeliling, berharap bisa menemukan Alex. Aku membutuhkan dia. Orang-orang berhamburan di jalanan, sementara pria tersebut mendorongku untuk menaiki sebuah jeep. Seorang pria lain dari dalam mobil memukul tengkukku saat aku melawan.

"Diamlah, jalang. Aku tidak segan untuk membunuhmu saat ini juga." Aku mengigit bibirku, menahan tangisanku sebisa mungkin. Pada akhirnya aku lebih memilih diam saat salah satu dari mereka menutup mataku dan mengikat kedua tanganku ke belakang. Aku terlalu takut.

"For god's sake! Dia terlalu cantik untuk jadi mayat."

"Tutup mulutmu, brengsek! Kau bisa menghancurkan rencana kita!"

Mayat? Jadi mereka benar-benar akan membunuhku? Aku mencoba melepaskan ikatan tali pada lenganku, tetapi sia-sia karena ikatannya terlalu kuat. Tidak berselang lama mobil berhenti. Mereka menarikku ke suatu tempat. Aku tidak yakin pasti bangunan ini rumah atau apa, mengingat mataku yang masih tertutup jadi aku hanya mampu menebak asal.

"Duduk." Perintah salah satu dari mereka. Aku diam tak menurutinya, hingga ada seseorang yang mendorongku, membuatku tersungkur di lantai kayu. Di sini lembab dan bau ruangan yang sudah lama dikosongi.

"Buka penutup matanya."

Mataku seketika menelusuri tempat di mana aku berada. Ruangan ini lebih tepat jika disebut gudang, sebab begitu gelap dan pengap.

"Sudah puas melihat-lihat?" Ujar pria berjanggut, yang menarikku saat runway berlangsung.

"Siapa kau? Kenapa kau melakukan semua ini?" Tanyaku mencoba untuk tidak terlihat ketakutan.

"Kau tidak mengenalku, tapi bisa ku pastikan kau kenal dengan bosku." Dia menertawaiku, diikuti pria di sampingnya yang tengah memutar-mutarkan pistolnya.

Aku menelan ludah, mulai takut dengan pemikiran bahwa pistol pria tersebut akan melukai jantungku, membuatnya berhenti berdetak selamanya. Pintu terbuka lebar, menimbulkan suara decitan yang nyaring. Seorang pria lainnya berpakaian serba hitam dan topeng muncul. Ini kah bos mereka? Dia berjalan mendekati, dan berjongkok tepat di depanku. Tangannya menangkup wajahku dan detik selanjutnya tamparan di pipiku terasa keras.

Plak!

Aku meringis menahan nyeri. Kini aku mulai meronta lagi. Jika aku tetap diam, aku yakin tidak lama lagi nyawaku akan hilang di tangan mereka. Pria bertopeng itu mengambil pistol yang telah disediakan sebelumnya, kemudian memainkan pelatuknya, seraya memperhatikanku yang tengah bersusah payah untuk membebaskan diri.

"Lily, sebutkan permintaan terakhirmu?" Aku terdiam mendengar suara pria bertopeng tersebut. Tunggu dulu, mengapa suaranya tidak asing? "Sebutkanlah, sayang. Waktumu tidak banyak sebelum kau mati dengan membawa dendamku."

"Apa salahku?"

"Tanyakan pada ayah sialanmu!"

Ayahku? Apa yang dia maksudkan?

Dering ponsel pria bertopeng itu membuatnya menghentikan aksi gilanya. "Fuck, kenapa lagi dia ini?!" Geramnya saat melihat caller id yang masuk.

"Jaga jalang ini! Jangan sampai dia kabur." Ancamnya pada dua pria yang merupakan suruhannya. Dia pun berlalu, membanting pintu dengan seluruh tenaganya.

Alex, kau ada di mana?

*****

Aku merintih kesakitan ketika tersadar dari pingsan. Ku rasakan seseorang tengah berusaha membukakan ikatan tali pada kakiku. Pandanganku menemui bahwa dua orang suruhan pria bertopeng tadi sudah tekapar tak berdaya. Mereka sudah dipukuli dengan darah yang membuatku meringis ngeri.

"Kau baik-baik saja? Apa ada yang terluka?"

"A-Alex? Kau kah itu?"

Pria tersebut membuka penutup mataku, kemudian yang ku temui selanjutnya adalah mata hijau Alex yang sudah memerah. Tak segan dia pun memelukku. "Ya, ini aku. Maafkan aku tidak bisa menjagamu."

Aku hanya mengangguk lemah, walaupun di satu sisi entah mengapa aku merasa perlu marah padanya. Aku sebenarnya ingin memukulnya karena dia menghilang. Dia tidak tahu ketakutan seperti apa yang telah aku lalui.

"Biarkan aku menggendongmu." Alex bergumam saat tengah memapahku.

"Tidak perlu." Ujarku pelan. Tiba-tiba saja dia menarik tanganku, dan langsung menyembunyikanku di dada bidangnya. "Fuck!" Alex mengumpat, lalu tubuhnya seakan refleks memelukku lebih erat. Ada apa dengannya?

Mulutku terbuka, mendapati seorang pria yang tadinya sudah pingsan kini tengah memukuli punggung Alex. Alex langsung merebut dan membuang balok kayu yang dipegang pria bertubuh gempal itu.

"Brengsek! Seharusnya aku menghabisi nyawamu sedari tadi!" Teriak Alex lantang. Urat-urat disekitaran lehernya nampak jelas, seakan dia menumpahkan seluruh emosinya saat berkata demikian. Alex terlihat bersungguh-sungguh.

Alex melayangkan tinjuan cukup keras. Yang dipukuli turut membalas, mengenai perut bodyguardku. Aku terkesiap, bingung harus berbuat apa. Melihat balok kayu yang tadi tergeletak, aku pun mengambilnya. Tanganku dengan bergetar memukul penjahat itu. Alex terbatuk seraya menjauhkanku dari pertikaian mereka. Keadaan pun berbalik dalam hitungan detik, penjahat tersebut sudah tersungkur dengan darah yang mengalir disekujur tubuh.

"Sudah, Alex. Hentikan."

Jujur aku terkejut melihat Alex bersikap seperti orang yang kerasukan. Bagaimana tidak, penjahat tadi benar-benar sudah pingsan ataukah... mati? Sementara Alex masih menambahkan pukulannya secara bertubi-tubi. Mengusap permukaan tangannya, aku terus membujuknya. Tanpa sadar air mataku mengalir, merasa begitu bodoh karena tidak tahu harus berbuat apalagi untuk menghentikan perbuatannya.

Alex menggeram, lalu meludahi lawannya yang terkapar. Tatapannya mulai melunak ketika memperhatikanku yang tengah terisak. Cukup lama dia diam bergeming, dan dengan satu hentakan dia membawaku pergi.

"Masuk!" Perintahnya saat Alex membuka pintu mobil. "Aku bilang masuk, Lily Cansas!"

Aku meremas sabuk pengamanku mengetahui pria ini mengemudikan mobil ugal-ugalan. Speedometernya menembus 180 km/jam. Alex meremas setir mobil kuat-kuat hingga buku jarinya memutih seluruhnya.

"Alex, tenangkan dirimu." Dia mengabaikanku, malah justru semakin menekan pedal gas dalam. "Berhentilah! Berhen--ah awas!" Pekikku, dia nyaris saja menabrak seorang pejalan kaki.

Dengan mengabaikan amukan orang yang hampir ditabraknya, Alex kembali melajukan mobil. Nafasnya memburu, diikuti naik-turun dadanya. Dia memukul setir mobil dengan keras. "Fuck! Aku tolol! Aku tidak becus melindungimu!" Di tengah seluruh makiannya, dia memutarbalikkan arah mobil mendadak.

Apalagi sekarang?

"Aku harus menghabisi mereka. Ya, kedua orang suruhannya harus mati, agar si bangsat itu paham bahwa aku tidak main-main!"

Demi Tuhan, kini aku begitu takut akan sikap Alex. Tangannya yang terbebas dari stir kemudi mengepal, rahangnya mengeras, menunjukkan bahwa dia tengah menahan emosinya agar tidak meledak.

"Aku tidak terluka. Kau bisa lihat sendiri. Sedikitpun aku tidak terluka." Lagi-lagi aku meyakinkan Alex, sekedar berusaha menenangkannya. Aku meraih tangannya yang mengepal hebat, menautkan jari-jariku padanya. "Tenanglah, Alex. Aku baik-baik saja."

Dapat ku rasakan, ketegangannya berangsur-angsur menghilang. Alex membalas genggamanku erat, seakan dia tidak berniat melepaskanku. Kehangatannya menjalar persis selayaknya saat dia menyelamatkanku di pertemuan pertama kami.

Alex Willis selalu ada untukku –membantuku.

"Seandainya aku menyaksikan runwaymu. Seandainya aku tidak pergi ke toko bunga, semua tentu tidak akan terjadi..."

"Bunga?" Selanjutnya aku menemukan satu buket bunga Lily di jok belakang. "Untukku?"

"Ya, maafkan aku. Aku tidak tahu jika akan ada kejadian ini."

Jadi aku mengusapkan ibu jari tanganku pada persatuan tangan kami, sebagai jawaban tersirat bahwa aku tidak marah padanya. Kejadian ini murni bukan atas kesalahannya. Ciuman di permukaan tanganku dia layangkan berkali-kali. Rautnya yang terus gelisah menjadikanku tak mempunyai pilihan selain membiarkannya. Dan perasaan bersalah pada Julian hadir setelahnya.

Tiba di basement apartemenku, aku menoleh pada Alex yang kini terlihat jauh lebih tenang. Walaupun demikian, tidak menutup kemungkinan jika Alex akan kembali ke tempat tadi untuk menghabisi para penjahat yang telah menyekapku. Tidak. Sebisa mungkin aku tepis pemikiran itu.

"Terima kasih atas bantuanmu, Alex. Sampai jumpa be-"

Bola mataku membelak lebar nyaris keluar. Sebab ranum bibirnya menghantam dan mengehentikan ucapanku sepenuhnya. Udara disekitar menipis akibat lumatannya yang bergerak agresif. Lidahnya menyusuri seluruh rongga mulutku, membuat kami bisa saling merasakan saliva satu sama lain.

Sebagai perempuan yang sudah memiliki kekasih, semestinya aku tidak menikmati pergumulan ini. Alex seharusnya sudah menerima tamparan dariku. Tamparan keras sekedar pengingat bahwa Alex Willis telah melampaui batas. Namun bukan itulah yang terjadi. Justru aku tenggelam dan memberanikan diri dengan meraih tengkuknya. Pesonanya berhasil menyihirku. Jemariku meremas helai demi helai rambut halusnya. Di tengah tautan bibir kami, dia terus bergumam bahwa dirinya menyesal.

Samar-samar aku mendengar ketukan pada kaca mobil yang diikuti sahutan seseorang. Alex yang ku yakini juga mengetahuinya, seakan sengaja mengabaikan suara tersebut dengan menurunkan bibir penuhnya pada leherku. Pun aku mendesah tertahan.

"Lily? Lily sayang, kau kah itu?"

Bukankah itu suara Julian?

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status