Share

PART 3

"Sampai juga kamu akhirnya, Cin. Aku pikir nggak jadi tinggal bareng kita," ujar Nona, setelah pintu taksi terbuka dan menampakkan wajah cantik Cinta di sana. 

Selembar rupiah pecahan seratus ribu berwarna merah pun berpindah ke tangan sopir taksi, lalu memeluk dan bercanda Cinta lakukan atas sambutan yang Nona berikan padanya, "Terus aku bakalan tinggal di mana kalau nggak di sini, Beb? Kamu itu ada-ada aja mikirnya. Udah ah. Bantuin aku dong." 

Sedikit terseok akibat dua koper besar miliknya, Cinta meminta bantuan pada Nona untuk meringankan bebannya. 

Dengan senang hati Nona menyanggupi, namun kelakar masih mewarnai di awal pertemuan itu, "Aduh-aduhhh... Belum apa-apa aja udah manja gini yes, Cin? Kerjaan yang bisa aku tawarin ke kamu itu OG lho. Siap nggak nanti?" 

"Ya ampun, Non. Becanda gue!" Membuat tawa lepas Cinta terjadi dan Nona pun demikian. 

Sifat humoris milik office girl yang sengaja hari ini sengaja tidak masuk kerja dengan alasan sakit naik ke permukaan satu demi satu. 

Obrolan merambat ke perasaan ingin tahu Nona yang belum terbayarkan tempo hari, "Jiah! Belajar ngoceh lo gue dari mana, hm? Pacarmu yang ganteng kemarin tuh mana?" 

"Pacar? Yang mana?" Namun Cinta masih berusaha menutupi, juga membungkus sebisanya dengan berpura-pura.

Lebih detail Nona menjelaskan maksudnya, tetapi sedikit kebablasan sampai ke masa lalu Cinta dan meminta maaf, "Alah! Yang ganteng kemarin itu lho. Yang jadi pelanggan pertama— egh, sorry. Hehe..." 

Bersama tawa hambar dan juga wajah yang berpaling akibat sudah tak mungkin lagi mengelak, cerita pendek tentang Dewa pun mengalir, "Ck! Santuy aja kali, Non. Lagian emang bener dia orang pertamanya. Cuma ya itu. Kami berdua nggak ada hubungan apa-apa selain gituan doang, Beb. Kan dia baru pulang dari New York tuh, jadi mungkin aja lagi pengen ya udah bobok bareng deh di luar pas minggu libur kemarin itu."

"Oh gitu. Ya nggak asyik banget dong. Aku kira kalian berdua pacaran terus pas udah bebas dari Mami Chika bakalan serius gitu." Menciptakan sedikit iba di hati Nona, menerka bahwa mungkin saja sahabatnya itu juga mengalami hal yang tak jauh berbeda dengannya. 

"Jangan, Non. Kasihan aku sama orang tuanya nanti. Masa punya menantu yang modelnya kayak aku." 

"Emangnya kamu kenapa? Cantik gini apa yang salah coba?" 

"Derajatnya, Nona Marisa. Kamu sendiri sama Fandy gimana? Ya aku juga sama sekarang ini. Berusaha cari kebahagiaan masing-masing yang terbaik ajalah. Daripada pusing dan jadi bumerang nantinya. Bener nggak?" Dan dugaan Nona akurat seribu persen tanpa tercela lagi. 

Tawa hambar pada akhirnya menular untuk bibir penuh Nona Marisa, meski sudah berusaha ia lengkapi dengan gurauan ala dirinya, "Hehe... Perasaan itu bahasa punyaku deh. Copy paste aja. Hahaha..." 

"Jaman sekarang copas emang lagi musim kali, Beb. Haha... Udah ah. Yuk masuk. Lapar berat nih aku. Masak nggak tadi?" Nona sadar betul ketika Cinta membalas ucapannya dengan kalimat lain yang tidak ia harapkan. 

"Masak dong. Tapi ya itu. Menunya nggak ada yang spesial, Beb. Cuma Tempe Orek sama sayur Capcai doang. Tunggu ya makannya, nih minum dulu aja." Tetapi Nona tak ingin repot-repot memperpanjang dan merusak hari kebebasan Cinta, jadi kali ini secepatnya ia menarik koper berwarna biru untuk ditempatkan ke sisi kiri kamar kos dan melengos ke arah dapur untuk mengambil segelas air putih. 

Cinta menerima gelas itu dan meneguknya hingga tandas, membuat tawa Nona semakin nyaring terdengar. 

Tak mau kalah dengan kelucuan Nona, Cinta secepatnya membalas ejekan kecil untuknya itu, "Ngakak aja. Haus aku tuh. Makasih ya, Beb? Ngomong-ngomong soal Tempe orek sama sayur capcai, itu tuh udah enak kali. Makan gratis ini." 

"Enak aja gratis. Habis makan cuci piring dong. Hahaha..." 

"Beres, Bos! Haha..." Dan masa bergulir membawa dua wanita itu untuk saling berbagi tawa, sejenak melupakan kisah asmara yang belum juga berpihak dan memilih. 

Merapatkan pintu kos, Nona mengajak Cinta terus menuju ke dapur minimalis miliknya di dalam sana, mengisi perut sampai kenyang bersama keadaan bahagia yang harus selalu dijaganya. Cinta akan berteduh di atap yang sama dengannya untuk sementara waktu sembari menunggu kamar kos di kanan kiri sudah tak lagi berpenghuni, jadi kesedihan sebisa mungkin harus disingkirkan sejauh-jauhnya. 

Tuhan Maha Pengasih lagi Maha Penyayang, dan yang selalu Nona Marisa percaya adalah si tulang rusuk itu tak mungkin tertukar. Pun Cinta akan mendapatkan penguatan tersebut darinya kelak, namun tidak memaksa, melainkan berjalan seperti lelehan air dari ketinggian menuju ke bawah. Pelan, terkadang cepat tapi pasti.

***

Langkah kaki Dewa nyaris serupa dengan setrika rusak sedari beberapa jam lalu. Ia bahkan mengabaikan ajakan makan siang dari sekretaris dan tentu saja ayahnya, sebab sejak tadi Cinta tak membalas chat darinya. 

Nomor ponsel Cinta bahkan tidak pernah aktif dan panggilan telepon Dewa hanya dijawab oleh operator provider, "Nomor yang Anda tuju sedang tidak aktif atau berada di luar jang--" 

"Argh...! Sialan kamu, Cin! Kenapa hapemu nggak aktif kayak, sih? Lagi tidur sama cowok lain? Shit! Masa bodoh sama jam kantor yang belum kelar-kelar. Aku harus ketemu sama Cinta dan mastiin dia buat nggak terima tamu sialan dari manapun juga karena minggu depan semua rencanaku selama ini sudah bisa terwujud!" Menghasilkan rasa kesal yang kian memuncak dan tak lagi bisa ditahan oleh Dewa. Ia menyambar kunci mobil sekaligus dompet dari laci pertama di meja kerjanya, lalu bergegas pergi meninggalkan ruangan tersebut. 

Di depan pintu ruangan, Rani yang menjadi sekretaris pun menghadang langkah Dewa dengan sejumlah rasa penasaran, "Maaf, Pak. Mau kemana? Jam makan siang sudah habis dan rapat sama—"

"—Saya mau cari ganjalan perut. Tadi saya belum sempat makan siang kan? Ulu hati saya sudah mulai perih nih!" Namun terpotong oleh sikap geram Dewa. Ia sudah melangkah lagi sebanyak dua kali saat itu, tapi suara Rani masih saja terdengar, kian merusak suasana hati. 

"Ya sudah saya aja yang pergi ke—"

"—Nggak usah. Saya bisa sendiri. Suruh Pak Raja tungguin saya sebentar!" Lagi-lagi Dewa memotong suara yang Rani perdengarkan sebelum ia menghentikan langkahnya dan berbalik. 

Aura kepemimpinan memang tergambar jelas dalam diri Dewa saat itu, sebab terbukti Rani dengan cekatan mengangguk tanpa bantahan. Nyaris sampai di depan pintu lift khusus yang hanya diperuntukkan bagi para petinggi perusahaan, suara dari balik punggung Dewa pun terdengar lantang. 

"Hei, mau kemana kamu! Kita ada rapat sebentar lagi, Nak." Dan Raja Djatmiko adalah si pemilik suara, ayah kandung Dewa Djatmiko tentunya. 

Kikuk dan mulai berpikir cepat untuk mencari alasan logis, Dewa berbalik sembari mulai berakting. Ia memegangi perutnya, "Dewa laper, Pa. Mau ke kantin sebentar aja." 

"Lho! Kamu belom makan toh tadi?" 

"Belom, Pa. Tadi sibuk beresin laporan yang Rani kasih di meja. Banyak banget soalnya yang harus diteliti dan ditandatangani," dusta Dewa menciptakan kerutan di kening datar ayahnya. 

Dua baris celetukan pun keluar lagi dari mulut Raja, "Ke kantin kok bawa kunci mobil segala? Emang kantinnya di mana, hem?" 

Skakmat

"Egh? Anu, Pa." Membuat Dewa semakin kebingungan harus menjawab apa. 

"Anu apa, hm? Udah sana cepat. Jangan sampai terlambat masuk ke ruangan rapat. Ngerti?" Tawa yang terendam oleh barisan gigi rapat, berusaha keras untuk tidak Raja keluarkan di depan anak semata wayangnya, berganti dengan ungkapan tegas seperti biasanya.

"Makasih, Pa. Ashiappp...!" Dewa berbinar kembali atas persetujuan ayahnya. Ia melebarkan senyum di bibir, lalu masuk ke dalam lift yang saat itu pintunya memang sudah terbuka. 

Lantai dasar adalah tujuannya saat itu. Harap-harap cemas terjadi di antara kedua ibu jarinya yang masih setia berselancar di layar ponsel, berharap sepatah kata dari nomor kontak Cinta untuknya tetapi nihil. 

Sejumlah pemikiran kotor kian merasuk, membakar aliran darah dan di sepersekian detik berlalu, Dewa nyaris melemparkan ponselnya ke pintu lift. 

Ting    

Beruntung kotak bergerak itu segera memperdengarkan suara dan pintunya cepat terbuka. Dewa urung menuruti rasa emosional yang naik hingga ke ubun-ubun, berganti dengan lekas berlari menuju ke lobi utama kantor, mencari mobil hitam metalik miliknya.      

Sapaan petugas keamanan yang terdengar, pun tak lagi Dewa indahkan di sana. Cinta membuat dunianya berputar keras tak beraturan, lalu sibuk terbentur ke sana sini sebelum terjengkang dan jatuh semakin dalam. Semua terjadi bukan tanpa alasan untuknya, sebab kian hari rasa di dalam hati seperti enggan berdusta akan keberadaan Cinta, kendati wanita itu hanyalah seorang jalang yang terbuang. 

Rasa cinta memang tak bisa ditebak kapan ia akan datang mengunjungi diri, bahkan seringnya tidak tahu aturan apa yang menjadi kehendak pemilik si darah biru. 

Bersama kaki tingginya yang sudah berada di dalam mobil, deru mesin pun berbunyi hanya di hitungan detik untuk kegilaan Dewa pada Cinta dan ujung dari terik matahari di atas sana adalah rumah bordil milik Mami Chika menjadi tujuannya kini, "Kamu kemana, sih, Cinta! Aku bisa gila kalau kamu giniin aku terus!"   

Tik tok tik tok tik tok     

Tiga puluh menit berpacu di jalanan ibu kota negara yang selalu padat, ada perasaan lega di dalam hati Dewa Djatmiko, ketika kembali berpijak di tempat dirinya pertama kali bertemu dengan Cinta Andini. Sedikit membenahi kemeja kerjanya yang sudah tidak terbungkus oleh jas hitam, Dewa bahkan menyemprotkan wewangian dari atas dash board mobil.      

Jujur saja, itu bukanlah hal yang sedari dulu Dewa lakukan ketika ingin berjumpa dengan Cinta saat kembali dari New York ke Indonesia, namun entah mengapa kali ini ia memulainya, membuat rasa geli tergambar untuk dirinya sendiri.

Terlepas dari itu, ia tak ingin berlama-lama menertawakan dirinya sendiri lagi, melainkan secepat kilat turun dari mobil dan melangkah masuk ke dalam tempat pelacuran itu. 

"Cari siapa, Mas? Aku bantuin yuk?" Lalu sapaan khas dari seorang jalang, sekali lagi harus ia dengar. 

Seperti yang sudah-sudah, gelengan kepala Dewa berikan untuk membentengi dirinya dari godaan wanita-wanita kekurangan bahan pakaian di sana. Langkah kaki Dewa pun kian panjang menuju ke ujung koridor, ingin sesegera mungkin membawa Cinta ke dalam pelukannya. 

Sayangnya belum lagi sampai, dari belakang punggung suara Mami Chika terdengar menegur langkahnya, "Mau cari Cinta ya, Mas Brother?" 

"Egh? Iya, Mi. Ada kan dia?" Karena nama sang pujaan hati ikut disebutkan, maka dengan berat Dewa pun berhenti berjalan, lalu menoleh ke sumber suara sembari berbasa basi busuk. 

Jawaban diberikan lantas diberikan Mami Chika lagi untuk Dewa, berujung dengan ocehan genit tatkala tubuh gempal itu nyaris berdempetan dengannya, "Lha, kamu belum tahu apa gimana? Sudah sange ya? Sama yang lain aja mau?" 

Tentu saja Dewa menolak mentah-mentah penawaran Mami Chika, karena memang bukan itu tujuannya datang ke sana, "Enggak, Mi. Sama Cinta aja." 

Dewa Djatmiko hanya menginginkan Cinta Andini seorang, namun berita terbaru dari rumah bordil itu pada akhirnya sampai juga di telinganya, "Iya, tapi Cinta tadi pagi sudah melunasi sisa utangnya ke Mami." 

Cinta sudah melunasi utangnya, itu seharusnya merupakan kabar baik untuk Dewa, tetapi tidak ketika firasat buruk mulai menjalar di persendian. 

Dewa bertanya lagi guna memastikan kedua indera pendengaran masih berfungsi dengan baik atau tidak, "APA?! Ma..maksud, Mami?" 

"Ck! Dia udah keluar dari sini, Ganteng. Memangnya kamu nggak dikasih tahu ya sama dia? Bukannya kalian pacaran selama ini, hm?" 

Deg

"Hah? Ke..keluar kemana, Mi?" Dan Mami Chika memang tidak salah berujar, menyebabkan jantung di balik balutan tulang rusuk itu nyaris melompat keluar. 

Netra hitam kecoklatan milik Dewa, ikut terbuka lebar saat pertanyaan terbata itu keluar dari bibirnya. 

Kekehan geli Mami Chika, sungguh terasa bagai sebuah anak panah yang siap terlepas dari busurnya untuk Dewa, "Ya mana Mami tahu! Katanya mau pulang ke Cimahi. Kan kampungnya Cinta memang di sana." 

Deg deg deg

Degupan jantung yang ternyata kian berlari semakin kencang, berhasil menciptakan letupan emosi dan amarah Dewa tercurah keluar, juga membawa langkah kakinya bergerak jauh ke belakang, "Nggak mungkin! Mami pasti bohong kan?! Dia lagi terima tamu kan makanya Mami bilang kayak gini? Aku nggak percaya sebelum ngeliat langsung ke kamarnya Cinta!" 

"Hahaha... Begini nih kalau sudah kasmaran beneran. Tai Kucing aja disangka cokelat ya kan? Hahaha... Silahkan periksa sendiri, Cah Bagus! Pintu kamarnya Cinta nggak Mami kunci kok. Periksa aja pakaiannya di lemari masih ada apa enggak ya? Sekalian periksa ke bawah kolong tempat tidur siapa tahu bekas kondom yang kamu pakai kemarin masih nyangkut di sana belum dibuang! Hahaha...!" Mami Chika jelas merasa semakin geli dengan tingkah yang Dewa suguhkan di depannya. Ia berkelakar hebat mengejek dan merendahkan, menimbun tumpukan kekesalan di dalam diri Dewa untuknya. 

BRAGH!

Setelah membuka pintu kamar dengan begitu kasar, teriakan panjang Dewa yang penuh dengan kekhawatiran mendayu-dayu seperti badai tornado di telinga Mami Chika, "CINTA! Cin, kamu masih ada di sini kan, Sayang?! Cintaaa...! Kamu di kamar mandi ya? Cin, ini ak— CINTA! Cinta, jawab aku! Cin, kamu— kosong?" 

Wanita paruh baya berbadan gempal itu tak henti-hentinya menertawakan, "Gimana, hm? Masih nggak percaya juga sama omongan Mami? Udahlah, Ganteng. Kalau kamu memang udah konak, kan bisa--"

"DIAM! Di mana kamu sembunyikan Cinta, hah?! Di mana cepat katakan!" Memunculkan kegilaan Dewa semakin menjadi-jadi, ketika kedua bahu Mami Chika ia cengkeram dengan keras. 

PLAK

Suara meledak milik Dewa, menularkan rasa yang sama untuk sang mucikari, mendaratkan satu tamparan keras di wajah tampan itu darinya. 

Mami Chika bergegas melepaskan diri, ketika tubuh Dewa terhuyung ke belakang. Ia memanggil para petugas keamanan yang diperkerjakan di sana, "Dasar anak ingusan nggak tahu diri! PARJOOO...! Cepat usir dia dari sini, Jooo...! Panggil Mahmud juga biar sekalian seret dia masukin ke dalam got aja!" 

"LEPASKAN! CINTAAA...!" 

"Ayo ikut! Mba Cinta memang udah nggak tinggal di sini lagi, Goblok! Mahmuddd...! Ayo tarik dia keluar!" Dan ujung dari kisah kasih adalah perlakuan yang tidak mengenakkan itu, harus terjadi untuk dirinya. 

Cinta Andini memang sudah tidak ada lagi di sana, membawa pergi separuh hati Dewa yang enggan berpindah haluan, menahan sakit tanpa lelehan darah. 

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status