Share

PART 4

Memutari ibu kota negara untuk mencari keberadaan Cinta ke beberapa tempat yang pernah mereka sambangi ketika hari minggu tiba, Dewa dipusingkan dengan itu semua. Hal tersebut tentu saja karena keduanya lebih banyak menghabiskan waktu untuk menyewa kamar hotel, bercinta bahkan makan pun dilakukan di dalamnya. 

Mengabaikan panggilan telepon yang sejak tadi berdering, sangat jelas Dewa telah lancang melanggar janjinya pada sang ayah mengenai rapat penting itu. Cinta berhasil mengacaukan segala sesuatu, membuatnya nyaris menelan seorang pengamen yang terus saja mengetuk kaca jendela mobil saat ia enggan membukanya. 

Di tengah rasa kesal yang menjalar menuju ke proses kegilaan tingkat nasional, tiba-tiba saja pikiran Dewa dilintasi kejadian saat mereka berdua berjumpa dengan sahabat Cinta, seorang wanita bernama Nona Marisa. 

Sayangnya Dewa tidak mengetahui nama lengkap wanita itu, tidak memiliki gambar wajahnya juga tak tahu di mana persisnya ia bertempat tinggal, "Astaga! Hampir lupa. Kemarin itu aku antar temannya Cinta sampai di mana ya? Di Pluit kalau nggak salah kan? Di depan Alfamart karena orangnya mau beli sabun deh. Tapi habis itu aku harus nyari ke mana lagi dong? Fotonya nggak ada, namanya juga yang aku tahu cuma Nona doang. Gimana ini?" 

Masih dalam mode uring-uringan, Dewa mencoba untuk tetap menuju ke arah  Alfamart di bilangan Pluit, berharap dapat sebuah kebetulan yang entah akan terjadi atau tidak. Dewa Djatmiko yang sepanjang dua puluh lima tahun ini kurang memohon pada sang pencipta, bahkan dengan tulus meratap demi seorang Cinta Andini dan juga sedikit memaksa. Ya, ia bukan hanya meminta, tetapi juga bernazar dalam hati akan membantu kaum fakir miskin jika permohonan besarnya itu dikabulkan. 

Seperti gayung bersambut, ternyata ketika sudah berada di depan Alfamart, wanita bernama Nona itu pun muncul di sana, membuat Dewa menggebu-gebu layaknya seorang bayi yang sedang kehausan.

"Nona! Nona, tunggu!" Teriak Dewa mengejar, ketika Nona nyaris ke atas angkutan kota yang berhenti di depannya. 

Terkejut dengan pemandangan pria tampan yang sempat menjadi subjek ceritanya bersama Cinta, tulang keras di kaki Nona bahkan terasa seperti semangkuk puding biskuit kesukaannya, lemas dan nyaris terjatuh mengingat janjinya. 

"Egh, hai. Siapa ya?" Dan demikianlah kegugupan itu meliputi tubuh mungilnya. Cinta meminta ia untuk merahasiakan keberadaannya dari siapa pun juga, termasuk Dewa sekalipun.

"Waduh! Lupa ya sama saya? Kamu Nona temannya Cinta kan? Cinta yang..." Pun tak jauh beda dengan Nona, entah Dewa harus menjabarkan seperti apa atas hubungan yang terjalin antara mereka berdua, di tengah kepastian jika Cinta nyatanya sudah bukan lagi penghuni rumah bordil milik Mami Chika. 

Karena tak kunjung melanjutkan ucapannya, Nona memutuskan terus melebarkan langkahnya untuk bertemu dengan kekasih di tempat mereka saling bersepakat, "Maaf. Saya buru-buru!"

"Eits, tunggu dulu! Aku pacarnya Cinta Andini, temanmu itu lho. Minggu lalu kita bertiga nggak sengaja ketemu di Plaza Indonesia pas aku lagi cariin iphone buat Cinta, terus ya kami anterin pulang ke sini karena katanya kamu mau beli apa gitu di Alfamart. Ingat?" Namun Dewa secepat kilat menyambar pergelangan tangan Nona, kemudian mencengkeram dengan keras seraya berkata demikian. Ia tidak ingin menyia-yiakan kesempatan, jadi lebih baik sedikit mengertak daripada harus kembali gila tingkat nasional seperti beberapa menit lalu. 

"Ah, iya. Ak..aku ingat! Tapi kok datang sendiri? Cintanya mana?" Bohong! Heh, Nona berpura-pura di tengah terik matahari yang kian meninggi, menahan rasa suka atas tindakan gentle Dewa, mengakui keberadaan Cinta di hidupnya.

Ada penjelasan yang Dewa tebarkan akibat Nona yang masih saja berpura-pura tidak tahu menahu tentang keberadaan Cinta, "Aku malah mau tanya di sama kamu, Non. Dia udah keluar dari tempatnya Mami Chika, terus katanya bakal pulang ke Cimahi tapi aku nggak percaya soalnya kuburan Almarhum Bapaknya kan di sini, di Tanah Kusir." 

"Masa? Lho kan tinggal telepon ke handphone dia kan, Mas? Eh, aku panggilnya apa nih? Mas, Bang, Bro atau—"

"—Panggil Dewa aja. Aku nggak setua itu. Baru juga dua lima." Namun Nona menyempatkan diri untuk bersikap licik, dengan mengecoh pembicaraan inti keduanya, bertujuan mencari ide lain agar tidak menjadi pengkhianat. 

Cinta adalah sahabat rasa saudara yang saat ini ia miliki selain kekasihnya, jadi kelicikan itu sesungguhnya dapat dengan mudah terampuni di tengah situasi terjepit, "Oh, oke. Dewa deh. Ya itu tadi dong. Telepon Cintanya kan beres."

Mendengar jawaban klise milik Nona, Dewa menyempatkan diri untuk menggaruk kepalanya yang tidak gatal, sebelum menjawab lagi, "Kalau itu mah udah ratusan kali, Non. Nomornya nggak aktif nih. Coba ya kamu dengar kalau nggak perca—" 

"—Aduh, bentar-bentar lepasin dulu tanganku nih. Pacarku telepon kayaknya. Soalnya kami lagi janjian ketemu di tempat makan. Tunggu ya?" Dering telepon genggam pun menyelamatkan Nona di sana, sebab memang saat itu ia merasa terjebak dengan keadaan. 

Menjauh sepanjang beberapa sentimeter dari tempat Dewa berdiri, Nona sengaja berujar sekeras mungkin, seolah menyalahkan perbuatan pria itu atas keterlambatannya berjumpa dengan sang kekasih. Kikuk namun harus melakukannya, suka tidak suka Dewa tetap mempertahankan Nona ketika tatapan matanya tak mau terlepas dari wanita di depannya. 

Setelah selesai menjawab panggilan telepon, maka saat itulah akting kembali di mulai. Nona memasang wajah murung dan masam, "Pacarku udah tungguin tuh. Aduh, aku dimarahin nih. Gimana dong?"

"Egh?" Menjadikan Dewa seperti seorang penjahat berdarah dingin akibat merasa berat untuk melepaskan Nona.

Satu tarikan napas yang sengaja dikeraskan Nona sebelum berkata, merupakan bentuk dari kesabarannya menghadapi kekasih sahabat baiknya itu. Ia dengan asal menganjurkan Dewa untuk menyambangi tempat peristirahatan terakhir mendiang ayah kandung Cinta, "Kamu tuh maunya gimana, Dewa? Cinta nggak ada telepon aku, apalagi ketemuan. Coba kamu cari ke makam Almarhum bapaknya aja deh ya? Tadi belum ke Tanah Kusir kan kamu?"

"Hooh. Aku memang belum ke sana, sih." Sebab tadi Cinta sempat berkata demikian, ingin berkunjung lalu juga berniat untuk mengisi lemari pendingin sederhana miliknya di kos-kosan.

Saat ide tersebut mulai disetujui oleh Dewa, Nona juga menguatkan sandiwaranya dengan berniat memberikan nomor ponselnya, "Nah, itu dia. Coba kamu cari dia ke sana dulu. Oh, iya. Nomor handphone kamu berapa? Nomorku mau kamu simpan apa enggak nih? Biar nanti kalau ternyata Cinta nongol di kosan aku, tinggal kuhubungi deh."

"Iya, deh. Siniin handphone-nya biar—"

"—Enak aja. Punyamu aja deh. Handphone aku banyak gambar bugil kali." 

"Ampun! Iya deh iya. Tunggu kubukain kodenya dulu. Nih udah. Isi aja nomormu biar aku miscal sekarang, " Dan itu benar-benar efektif, ketika sebegitu mudahnya Dewa menyodorkan ponselnya untuk mendapatkan nomor ponsel Nona. 

Sederet angka tanpa nama, sudah masuk ke dalam layar ponsel Nona hanya dalam hitungan detik. Wanita itu lekas menyimpan nomor tersebut dengan keterangan kontak yang sama seperti ucapan Dewa saat memperkenalkan diri, lalu sengaja menebar seulas senyum paksanya di sana. 

"Oke. Sekarang aku pergi dulu ya?" Setelah itu, Nona bersiap untuk pergi setelah meletakkan ponselnya ke dalam saku celana jins.

"Aku anterin aja gimana? Mau kemana, sih? Searah sama Tanah Kusir nggak?" Tetapi Dewa masih saja mencegah, mencoba menebus kesalahan yang terpaksa ia lakukan demi sebaris penjelasan tentang pujaan hatinya.

Nona jelas menolak, ketika mengingat tentang kekasihnya yang temperamental, juga sengaja mengancam agar cepat terbebas, "Nggak dong. Kami mau makan terus kencan, Pak Dewa. Jadi bakal sangat berbahaya kalau sampai kamu yang anterin, soalnya pacarku itu sangar. Bisa-bisa kamu dimakan hidup-hidup sama dia. Mau?"

"Idih, amit-amit! Jangan-jangan pacarmu itu adiknya Sumanto lagi."

"Hahaha... Sebelas dua belas deh, Wa. Udah ya? Aku cabut dulu. Nanti ku kabarin. Byeee..." Lalu obrolan pun akhirnya selesai juga, ketika Nona mulai menjauh setelah menyempatkan diri untuk melambaikan tangan. Ia dengan rakus menghirup oksigen untuk melakukan pertukaran udara di dalam paru-parunya, menoleh sekali lagi ke tempat Dewa yang mulai memasuki mobil, juga berharap Cinta segera menyadari kekeliruannya menjauhi pria itu. 

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status