Share

PART 5

Melewati banyak kendaraan hingga sampai di Tempat Pemakaman Umum Tanah Kusir - Jakarta Selatan, Dewa menghentikan laju mobilnya untuk turun dari sana. Dewan menghampiri pedagang bunga yang lapaknya banyak berseliweran di dekat pintu masuk pekuburan, namun dari arah berlawanan kedua matanya tak sengaja melihat sosok itu. Cinta Andini sang pujaan hati. Niat pun buyar seketika, berganti dengan mengejar punggung berbalut kemeja kotak-kotak di depannya. 

"Akhirnya, Sayang. Kamu muncul juga," gumam Dewa masih setia mengikuti dari belakang. Sejujurnya ia ingin berteriak dan membawanya langsung ke dalam dekapan hangat, namun satu kejutan mungkin saja lebih baik terjadi, sebelum mengutarakan apa yang sejak tadi menumpuk di hatinya.

Pelan tapi ia melangkah mengikuti jejak kaki Cinta dan tujuan wanita itu memang adalah makam mendiang ayah kandungnya, tempat di mana Dewa yang memilih dan mengurus semuanya sesaat sebelum ia kembali ke New York untuk kedua kalinya.

Ada perasaan duka yang ikut bercampur padanya saat itu, namun janji tak bisa terungkap tatkala dirinya masih bergantung di kaki kedua orang tua. Kini, ketika segalanya sudah selesai diraih, ide untuk melontarkan janji pun sudah Dewa persiapkan. Memang tidak sematang pria lain dengan memakai segala atribut romantis semanis madu, tetapi tulus tanpa berniat untuk mengingkari. 

"Bapak, Cinta sudah datang. Lagi apa, Pak? Sudah makan siang belum?" Suara Cinta yang meskipun tidak lantang, tetapi masih bisa terdengar di telinga Dewa dan membuatnya tersenyum semakin lebar. 

Dengan sengaja Dewa masih menunda langkahnya untuk merapatkan diri ke gundukan tanah yang ditutupi oleh rumput hijau, mencari banyak udara untuk terus meyakinkan dirinya. Ketika ponselnya yang sudah Dewa senyapkan bergetar, saat itu isi kepalanya mulai terbagi. Ia memikirkan tentang reaksi yang akan diterima ketika mengabarkan tentang Cinta di dalam keluarga kecil Djatmiko. 

Memang tidak akan semudah itu, terlebih dirinya tak memiliki saudara atau saudari yang ikut bersamanya di dalam rahim ibu. Pro dan kontra akan selalu ada untuk aksi pilihannya, sebab hal tersebut bisa jadi bertolak belakang dengan pemikiran orang tuanya. Meski begitu, tak ada niatnya untuk berhenti berjuang dan menyerah, bahkan semakin besar. 

"Cinta sudah ngelunasin utang-utang itu, Pak. Sekarang udah keluar dari sana, terus tinggal di kosan dan tinggal nyari duit halal biar bisa mewujudkan keinginan bapak supaya Cinta jadi sarjana itu lho, Pak. Bapak masih ingat kan?" Dan wajah sumringah milik Dewa pun tiba-tiba terasa pias, ketika ucapan tersebut masuk ke indera pendengarannya. 

"Cinta mau kuliah? Dia nggak mau nikah sama aku?" Ekspresi cepat pun terlontar begitu saja dengan suara yang lumayan keras, membuat Cinta pun terkejut, berdiri dan mematung tanpa kata. 

Pandangan keduanya bersirobok lurus, nyaris menghabiskan detik menuju menit dan Dewa adalah orang pertama yang memutuskan aksi diam tersebut. Ia membalikkan tubuh, bersiap untuk melangkah pergi.

"Kenapa pergi? Kamu mau ketemu sama Bapak juga kan?" Namun Cinta menghentikan kaki-kaki tinggi itu dengan cara menegurnya. Ia tidak mengerti mengapa dua baris pertanyaan tersebut bisa keluar dari bibirnya, terlebih ketika keduanya tidak memiliki janji temu. 

"Salam aja sama Bapak. Maaf aku buru-buru," jawab Dewa tanpa berbalik, membuat kesenangan yang sempat Cinta rasakan memudar sedikit demi sedikit, menjadi kebimbangan berujung nestapa. 

Langkah cepat Dewa dikejar Cinta dari arah belakang, dan pelukan erat pun berhasil menghentikannya. Dua tangan cantik yang kini melingkari pinggang Dewa, mendapat perhatian utama dari pria itu kini, membawa senyum hambar tanpa rasa terpatri di bibirnya. 

Cinta memaksa Dewa untuk membalikkan tubuhnya saat itu juga, "Kamu tahu aku di sini dari mana, hm? Kok sudah mau pulang aja? Maafin ya? Aku nggak bermaksud untuk menghindar. Aku—"

"—Lepaskan tanganku, Cinta! Aku nggak suka berhubungan dengan tukang PHP!" Namun Dewa sedikit bertingkah setelah Cinta berhasil membuatnya berbalik. 

Dewa menghardik cengkeraman tangan Cinta dan membuat wanita itu terkekeh geli, menciptakan ruang tawa yang melebar di sana, "Idih! PHP? PHK kali."

"Aku capek, Cintaaa...! Kamu tahu apa? Ada rapat penting di kantor yang aku tinggalkan cuma buat nyariin kamu keliling Jakarta, tapi pas sampai sini kamu malah gitu." Satu pengeluhan muncul dengan spontan dari mulut Dewa tanpa bisa dicegahnya. 

"Gitu? Gitu gimana maksudnya?" Dan rasa bersalah mulai merambati diri Cinta, membuatnya terus saja bergurau dengan tujuan kembali mendapatkan sikap manis Dewa. 

Menyerah dengan apa logikanya sendiri, rasa di dalam hati adalah sang pemenang. Dewa menarik pergelangan tangan Cinta mendekat ke makam ayahnya, "Sini ikut aku. Ayo kita lanjutin ngobrol sama Bapaknya." 

"Ih? Tadi katanya—"

"—Udah deh ah! Nggak usah bawel dulu bisa kan, Sayang?" Lalu bantahan Cinta turut menambah perlakukan Dewa untuk memaksa pujaan hatinya itu.

Setali tiga uang, Cinta pun luluh dengan apa yang menjadi keinginan Dewa. Ia meletakkan dua potong kardus yang dibawanya dari kosan, menimbulkan kecurigaan itu mengalir padanya, "Bisa dong. Ya udah. Ayo duduk sini. Aku udah bawain kardus juga kok tadi biar pantatnya nggak kotor." 

"Kamu udah tahu aku ada di sini, Yang? Kok bawa dua? Siapa yang bilang? Nona?" 

Benar saja, dugaan tersebut memang tidak meleset sedikit pun, ketika Cinta mengutarakan kejujurannya, "Iya. Maaf ya? Aku yang suruh dia untuk jaga rahasia. Aku udah matikan handphone tapi dia telepon ke tempat ibu kos, jadi ya terpaksa deh." 

"Aku emang udah sempat mikir gitu kali. Cuma dia terus aja menyangkal nggak ada kamu di kosannya. Terus." Dewa memberi jawaban singkat, juga meminta agar Cinta melanjutkan ucapannya.

"Terus apa? Kamu ngaku pacar aku ke dia kan? Emang kita pacaran gitu?" Cinta yang bingung pun menjawab asal, namun setelah itu ia kembali berbicara, saat mengingat apa yang Nona katakan padanya tentang kejelasan hubungan mereka. 

Nada mengejek dari bibir manis Cinta, menghadirkan rasa gemas yang tiada terkira untuk diri Dewa pribadi. Ia meremas jemari Cinta dan menautkan jemarinya di sana pula, lalu ikut membuat ledekan yang sama, "Kamu belum tahu ya kita pacaran, Yang? Aku kan calon suamimu juga." 

"Hah? Masa, sih? Sejak kapan kita jadian? Kamu aja nggak pernah nembak aku kok." Semburat semerah jambu, mengisi di kedua  pipi Cinta, juga semakin menambah kecantikan alamiah itu terpancar dari wajah Cinta. 

"Lha! Masa kamu nggak ngerasa, sih, Yang? Udah dari lima tahun lalu sampai kemarin juga aku selalu tembak kamu sama senjataku ini kan?" Nyaris Dewa tak dapat menguasai dirinya untuk segera menerkam Cinta, bahkan jawaban yang keluar dari bibirnya pun sudah tak bisa lagi terkontrol. 

Mabuk kepayang atas daya pikat milik seorang Cinta Andini begitu kuat, yang harus Dewa Djatmiko ketahui bahwa sejujurnya lawan jenisnya itu pun tak jauh berbeda. Cinta yang sedang menata ulang degupan kurang ajar di jantungnya, pun membalasnya dengan satu cubitan manja, "DEWAAA...! Astaga! Kamu siang-siang omes ya di kuburan? Kesambet jin betina baru tahu!"

Obrolan pun bergulir semakin panjang di sana, "Aku serius, Sayang. Ngakak aja." 

"Serius apa, sih? Tadi ngambek sekarang serius."

"Ayo kita menikah, Cinta. Aku serius mau kamu jadi istriku, ibu dari anak-anakku, juga oma dari para cucu yang entah berapa jumlahnya nanti. Mau kan?" Bahkan terdengar sangat serius ketika Dewa meminta kesediaan Cinta untuk menjalin satu keseriusan dengannya. 

Deg deg deg

Debar-debaran sialan datang silih berganti dalam diri Cinta di sepersekian detik kemudian, membuatnya tidak sengaja melempar lelucon, "Dewa? Kamu... sakit?" 

Dewa pun menjadi kesal di sana, mencecar Cinta dengan berbagai kata untuk segera mengakhiri candaannya, "Ck! Aku serius, Cintaaa... Astaga! Kamu bisa romantis sedikit nggak, sih, jadi cewek? Kok kayaknya dari lima tahun lalu aku terus yang doyan manis-manis. Kamunya enggak."

"Ih! Bukannya terbalik? Lupa ya aku yang ngajakin kamu ganti nama panggilan jadi sayang aja bukan nama? Apa gimana?" 

"Udahlah. Capek berdebat soal itu. Jadi gimana jawabannya, hm? Aku diterima nggak ini?"

"Apanya?" 

"Ya ampun, Cintaaa...! Yang tadi itu tuh." 

"Yang tadi? Yang man— Eits! No no no!" Tetapi Cinta urung melakukan, kembali berulah dan Dewa nyaris meraup bibir seksi itu mendekat ke arahnya. 

"Cin, tolong fokus dan jujur tanpa berpura-pura. Aku sudah selesaikan semua tuntutan Papa sama Mama aku untuk belajar sampai ke Magister, dan kamu tahu itu. Aku juga sekarang sudah ikutin kemauan mereka, kerja di kantor buat gantiin posisi Mama, tapi beliau sekarang malah sering ngeluh untuk cepat nimang cucu. Well, yang aku mau itu kamu, Cinta. Aku nggak mau munafik soal pernah pacaran sama cewek lain di sini atau di luar negeri, tapi yang selalu bikin nyaman ya memang cuma kamu, Sayang. Kamu tempatku kembali, jadi udah mentok dan nggak bisa diganggu gugat!" Sedikit lelah, namun Dewa mencoba untuk terus berusaha. Ia bukanlah seorang pecundang, juga tak ingin melabeli dirinya sebagai si tuan pemaksa. 

Benar saja, keseriusan pun hadir juga dari dalam diri Cinta, mencecar Dewa dengan kastanya yang paling rendah, "Wa, aku cuma seorang pelacur. Aku—"

"—Ssttt... Kamu sudah keluar dari tempat terkutuk itu, Sayang. Bahkan bukan karena aku yang menyuruh tapi karena keinginanmu sendiri kan? Aku juga barusan dengar kalau kamu mau kuliah biar bisa jadi sarjana, jadi yang sekarang harus kita lakukan adalah menikah dan aku bakalan ngebantuin sampai kamu jadi sarjana. Bisa kan, Sayang?" Namun tak sampai selesai ketika Dewa memotong ucapannya, memberi angin surga tentang rencana masa depan yang digadang-gadang olehnya. 

Memang janji dari bibir Dewa, nyaris menerbangkan tubuh mungil Cinta hingga ke awang-awang. Ia terdiam tanpa kata untuk beberapa detik ke depan, namun segera tersadar ketika bias kecoklatan itu hadir dan pergi secepat kilat di waktu yang bersamaan. 

Kekhawatiran terurai dari tumpukannya dalam jumlah yang kecil, "Nggak bisa sekarang, Wa. Aku takuttt..."

"Tenang. Ada aku di sampingmu, Sayang. Bisa kan?" Tapi Dewa tetaplah Dewa, yang bertekad untuk terus mencoba berjuang hingga titik darah penghabisan. 

Dewa menautkan jemari besarnya di  jari-jari Cinta, membungkus tautan tersebut dengan satu telapak tangannya yang bebas, berusaha menyalurkan hasrat melindungi serta mengayomi. 

Menyerah pada keadaan, Cinta menegaskan apa yang sedang ia rasakan, "Ceritain dulu apa rencanamu deh. Pusing kepalaku."

"Belum makan pasti ya?" Namun Dewa menanggapinya dengan serius, secara harafiah. 

Sudah barang tentu bukan demikianlah yang sedang berkutat dalam diri Cinta, meluncurkan banyak tanda tanya yang sedari dulu tak pernah mendapatkan jawaban, "Udah kok. Stres aja. Kamu mikirnya apa, sih? Aku nggak mau menikah tanpa perasaan, Dewa! Kamu itu—"

"—Aku sangat sayang sama kamu, Cinta. Kalau nggak punya perasaan ngapain diperjuangkan selama lima tahun ini, hm? Aku mencintaimu, Cinta Andini. Aku sangat mencintaimu dan berharap hubungan kita bisa serius sampai kakek nenek nanti. Apa selama ini masih kurang yakin? Coba kasih tahu di mana letak kekurangannya deh biar aku perbaiki, bisa?" Dewa yang geram lagi-lagi memotong ucapan Cinta di sana, tetapi bukan untuk menyalahkan, melainkan menegas tentang jutaan rasa miliknya. 

Tentu saja keterkejutan terjadi begitu saja, bahkan bibir yang terkatup terlihat begitu menggemaskan di mata Dewa, terbuka lalu tertutup kembali seperti penyepit di surai hitam Cinta saat itu.

Kalimat demi kalimat yang lahir setelah nyaris menyentuh di detik ke enam puluh begitu menyayat bagi Dewa dari Cinta, "Kamu nggak ada kekurangannya, Dewa. Kamu ganteng banget di mataku. Kamu sehat jasmani maupun rohani. Kamu... punya segalanya yang aku nggak miliki, juga kamu selalu berhasil mencuri hatiku kayak hari ini. Aku bisa apa tanpa kamu, Dewa? Bagaimana kalau orang tua kamu nggak ngerestuin hubungan kita?" 

Berujung dengan merengkuh tubuh kecil itu ke dalam pelukan, lalu memberi sejumlah penghiburan tambahan, "Egh, jangan nangis dong! Gitu aja kok repot. Kan aku tinggal hamilin kamu biar cepat dapat restu. Enak aja selama dua puluh lima tahun ini aku sudah jadi anak yang penurut kok sekarang giliran mau menikah malah harus sama orang lain? Harus sama orang yang aku cintai dong. Iya kan? Eh tapi kamunya sendiri gimana, Yang? Kamu cinta nggak sama aku?"

Deg deg deg

Dewa menuntut kali ini. Berubah seperti seorang penjahat yang menodongkan senjata api, meningkatkan debar-debar sialan di dalam hati Cinta. Wanita itu membalas sekenanya, "Ya iyalah." 

"Ish! Kok jawabannya kayak gitu? Nggak ada manis-manisnya sama sekali." Lalu keributan pun tak terhindarkan lagi. 

"Astaga, Dewa! Ajarin dong kalau aku nggak tahu." Terlebih ketika Cinta menyengajakan dirinya untuk terlihat dungu. 

Keduanya seperti sepasang remaja yang baru saja mengenal rasa suka untuk lawan jenisnya, "Ya udah kita ulangi sekali lagi. Aku sangat mencintaimu, Cinta Andini."

"Em, aku... Aku juga sangat mencintaimu, Dewa Djatmiko." Berlomba untuk saling mengutarakan perasaan. 

Untuk kejujuran yang mungkin terlihat receh bagi sebagian orang, Dewa merasa puncak kebahagiaan ada dalam genggamannya ketika Cinta juga memiliki kesamaan rasa dengannya. Ia mengulang tujuan hidupnya sekali lagi di sana, "Terima kasih, Sayang. Di depan makam bapak, maukah kamu menikah denganku?"

"Dewaaa..."

"Jawab, Sayang."

"Bersediakah kamu menikah denganku?" Bahkan ketika Cinta mulai bertingkah lagi, Dewa tetap antusias untuk memantapkan hati. 

Tarikan napas kasar yang dilakukan Cinta, sungguh terasa menyiksa di telinga Dewa yang sedang menanti jawaban pasti, "Ya, aku mau."

"Oh, Tuhannn... Terima kasih banyak. Sini peluk dulu!" Tetapi ketika tiga kata itu sudah terlepas dari pita suara Cinta, Dewa juga melakukan hal yang tak jauh berbeda, menarik napas dalam sebelum kembali berpelukan. 

Jatuh cinta memang selalu terasa indah mana kala ungkapan hati terjadi bukan hanya di satu sisi saja, terlebih ketika bermuara di tempat yang jelas dan terang. Akan tetapi yang menjadi pertanyaan, seterang itukah keduanya melangkah di depan sana saat sang surya sudah kembali di peraduan nanti? Entahlah. Semoga.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status