Share

PART 7

"Wa, aku takut," ujar Cinta masih menarik lengan kemeja Dewa dan pria itu semakin mengeratkan tautan di tangannya, mencoba menenangkan dengan bahasa tubuhnya. 

Deg deg deg

Saat ini jantung Dewa pun sejujurnya sedang berdebar kencang, akibat keputusannya membawa Cinta di hadapan kedua orang tuanya. Dewa bahkan harus mengajak Cinta untuk berbohong, "Cin, nanti kalau aku bilang kamu sudah hamil anak—" 

"—Apa?! Nggak mau ah!" 

"Ssttt...! Ini demi kebaikan kita berdua juga, Sayang. Biar Papa sama Mama cepat kasih izin." Membuat Cinta tersentak, menolak mentah-mentah pendapat itu dan Dewa harus kembali merayunya.

Dewa mengatakan tujuannya, namun Cinta merasa hal tersebut terlalu berlebihan, "Tapi nggak kayak gitu juga kali, Wa. Aku kan malu!"

Usaha pun terus saja Dewa lakukan tanpa kenal lelah, "Nggak usah malu, Yang. Papa sama Mama baik kok. Nanti kalau ditanya berapa bulan, kamu bilang aja udah tiga minggu terus kalau di tanya kerja di mana, bilang juga kalau kamu Mahasiswi gitu. Kalau Papa tanya kampusnya di mana, kamu—" 

"—Di kampus biasa aja. Jangan ngarang di kampus elite atau di kampus negeri karena belum tentu nanti aku bisa masuk ke sana." 

"Lha, pesimis amat." 

"Aku udah lima tahun di luar, Dewa. Beda sama kamu yang otaknya masih panas gitu efek sering dipakai."

"Panas? Dipakai? Yang bawah ini juga suka panas lho, Yang. Malah aku pakai terus kalau pas ketemu sama kamu." 

"Dasar mesum! Gituan melulu yang ada di otaknya!" 

"Haha... I love you, Cinta Andini. You're my one and only. Forever, Baby." 

"Alah, gombal!" 

"Aduh, makin ngegemesin deh. Pengen aku terkam aja seka—" 

"—Ehem!" Sampai akhirnya kedua orang tua Dewa muncul dari balik sekat tembok dan keduanya pun berhenti berbincang. 

Deg deg deg 

Dewa kembali merasakan debar-debar yang tadi sempat menderanya, bahkan membuat telapak tangannya menjadi basah kini. Ia berusaha untuk berbasa basi busuk seperti biasanya ketika ia melakukan kesalahan, "Eh, ada Papa sama Mama. Maaf ya, Pa? Tadi Dewa—" 

"—Kamu masih niat kerja atau enggak, hm? Kan tadi Papa udah bilang rapat itu penting sekali untuk perusahaan kita, Dewa! Kenapa kamu nggak datang, heh? Kelayapan sampai malam gini baru pulang lagi! Dari mana aja kamu?!" Tetapi Raja  lebih dulu memotong ucapannya, mencecar dengan sejumlah kalimat pedas.

Sampai-sampai Kemuning yang melahirkan pun angkat bicara sembari menatap ke arah Cinta, "Udah, Pa. Biar anaknya istirahat sebentar kenapa, sih? Baru juga datang dia." 

"Jangan dibela terus, Ma! Dia sudah bukan anak kecil lagi kan?" Namun lagi-lagi suara tegas Raja kembali terdengar dan pemandangan di depannya terasa menyiksa bagi Dewa.

Dewa terbata, meninggalkan dua kata saja di sana, "An..nu, Pa." 

"Anu apa?! Kenapa kamu diam aja? Cepat bicara!" Menyebabkan amarah Raja kian menjalar hingga ke ubun-ubun. 

Dewa menyempatkan diri untuk menatap sekilas wajah cantik Cinta, lalu dengan terbata dirinya mengutarakan kebohongan tersebut, "Pacar Dewa hamil, Pa. Jadi—" 

"—APA?!" Membuahkan keterkejutan yang sama dari bibir kedua orang tuanya. Raja bahkan nyaris menggerakkan tangan, tapi dengan cekatan Kemuning mencengkeramnya.

Pria paruh baya itu menoleh ke arah sang istri, dan dari arah samping, tampak jelas bagaimana rahangnya mengeras menahan amarah yang siap terlontar. 

"Maaf, Pa. Makanya tadi Dewa nggak bisa ikutan rapat di kantor Papa itu. Soalnya Cinta pingsan dan Dewa bawa ke klinik gitu," dusta Dewa mengambil telapak tangan Cinta untuk ia genggam. Tubuh wanita di sampingnya itu juga ikut menegang, untuk hal yang sama sekali belum pernah dirasakannya. 

"Te..terus?" Pertanyaan tersebut, lahir dari bibir Kemuning yang begitu kecewa, namun harus berpura-pura kuat di depan dua lelaki kesayangannya. 

Benar saja. Raja pada akhirnya bersuara keras, namun tidak disertai gerakannya yang mulai mengendur akibat bahasa tubuh kemuning, "Terus ya apalagi, Ma? Sudah berapa bulan, hm? Astaga, Dewa! Kamu baru satu bulan lebih pulang ke Jakarta udah bikin perkara kayak begini! Memangnya hubungan kalian sudah berapa lama, sih?" 

Kata-kata Raja yang sudah terbiasa hidup dengan mencecar para bawahannya di kantor, sebetulnya tidak berlaku malam itu, namun entah mengapa ia berhasil membuat Cinta menjadi tertunduk dalam.

Sembari tetap menautkan jemarinya, Dewa terus saja menyalurkan kekuatan untuk Cinta, terlebih ketika sedikit kejujuran ikut mengambil bagian, "Kami sudah sama-sama lima tahun lebih, Pa. Dari Dewa lulus SMA pacarannya." 

Ada rasa lega untuk Cinta walaupun hanya sedikit, tetapi degupan jantungnya belum kembali normal seperti sedia kala.

Kemuning yang sadar atas kecanggungan, berusaha untuk menebar vaksin cair berisi lelehan rasa sabar,  "Kok Mama nggak tahu, Mas?" 

"Anu, Ma. Dewa takut dimarahin soalnya belum lulus kuliah." Dan lahirlah keberanian Dewa untuk bersuara sekali lagi. 

 "Oh jadi kalau udah lulus, baru boleh dibawa ke sini sekaligus dihamili begitu?! Anak kurang ajar kamu! Apa kata orang tuanya nanti, Dewa!" 

Kendati Raja tampaknya belum ingin menurunkan volume suara, Dewa masih saja mencari celah terbaik untuk kelanjutan hubungannya dengan Cinta, "Dia udah nggak punya orang tua, Pa. Ibu Bapaknya—"

"—Maaf. Ibu pergi ninggalin Bapak sama saya waktu masih bayi, Om. Sudah dua puluh empat tahun saya nggak pernah ketemu sama Ibu. Kalau Bapak, sudah meninggal dari empat tahun lalu. Kena penyakit gula, Om. Maaf sudah nyusahin Om dan Tante." Dewa mencoba kembali mengarang bebas tentang Cinta, namun wanita di sampingnya memilih untuk berkata jujur, mengenai bagaimana silsilah di keluarganya yang memalukan. 

Wajah Cinta pun bersirobok dengan kecantikan Kemuning yang tetap terlihat segar meski sudah tak muda lagi, membuat wanita paruh baya itu menaruh iba berukuran besar untuknya. 

Kemuning lebih dulu mengesampingkan ego, menegur Cinta dengan sejumlah pertanyaan, "Siapa namamu, Nduk? Tadi si Mas udah ngajak makan belum? Ayo ikut Mama yuk. Tadi Mama sama Mbok Rin bikin kue sus. Itu kesukaannya Masmu ini. Ayo cepat. Biar sekalian Mama buatin susu coklat ya? Jalannya lewat sini."

Hanya Dewa sendirilah keturunan yang bisa ia hadirkan ke dunia ini setelah berulang kali mengalami keguguran, menjadikan rasa sakit menjalar pelan di dalam hati Raja untuk istrinya, "Hemmm... Sudah puas?"

Dewa bukan tak mengerti akan hal itu, tetapi menurutnya memang sudah tidak ada cara lain yang bisa ia gunakan ketika berbicara tentang masa lalu Cinta, "Maaf, Pa. Dewa—"

"—Cepat nikahi dia! Jangan kamu tunggangi terus dan bikin Papa sama Mama lebih malu lagi! Urus semuanya sesuai dengan keinginan Mamamu, tapi jangan bikin dia termasuk pacarmu itu kecapean!" Alhasil, satu keputusan yang diidam-idamkan, kini sudah berada dalam genggaman tangan Dewa, setelah rasa emosional coba Raja keluarkan.

Gegap gempita menyeruak, mengubah awan kelabu yang sempat mengepul gelap di permukaan, "Makasih, Pa! Siap-siap." 

"Sudah selesai kan? Sana samperin. Suruh Mama anterin kopi ke ruangan kerja Papa!" Menghadirkan seulas senyum samar tanpa rasa yang terus disembunyikan oleh Raja. Ia tak ingin mempertahankan ego untuk Kemuning dan hati lembutnya. 

Dewa bersyukur bahwa segala perkara semakin menemukan muaranya, "Iya, Pa. Sekali lagi makasih banyak. Maaf Dewa belum bisa ngasih yang terbaik untuk Papa. Dewa—"

"—Jadilah ayah yang baik untuk anakmu. Cuma itu yang Papa harapkan dari kamu. Dengar?" Namun tidak untuk Raja yang masih menyimpan prasangka.

Begitu banyak tanda tanya yang belum mendapat penjelasan cukup versi dirinya pribadi, tetapi tidak jika harus menghasilkan kekecewaan untuk Dewa, terlebih lagi Kemuning, "Iya, Pa. Dengar."

Tak ingin menjadi-jadi, kaki tua Raja pun berlalu menuju ke ruangan kerjanya di sayap kanan rumah, "Ya sudah sana."

Dewa mengabaikan punggung sang ayah yang masih terlihat dari tempatnya berdiri tadi, sebab mencari di mana keberadaan dua wanita kesayangannya akan lebih baik daripada harus berkutat dengan rasa bersalah.

"Maaf ya, Ma? Pa? Dewa nggak bermaksud untuk ngebohongin kalian berdua, karena Dewa yakin habis ini Cinta pasti bakalan secepatnya hamil dan ngasih cucu yang banyak." Melupakan kebiasaan lama yang sudah membumi, bahwa berjuta kepalsuan akan tercipta, untuk menutupi kebohongan diri sebelumnya.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status