Share

Time love chronicles
Time love chronicles
Penulis: Lia

Satu

"Mati kau, Shenling," teriak seorang gadis berpakaian mewah dengan dandanan ala tradisional lengkap sambil menghunus pedang. Di hadapannya, seorang gadis lain tengah terikat dengan tubuh lemah dan babak-belur.

   'Akankah nasibku berakhir di tempat mengerikan ini? Atau mungkin Leewan akan kembali datang menolongku seperti yang selalu dilakukannya?' bisik gadis itu dalam hati. Masih terngiang di benak gadis tersebut janji yang terucap dari bibir sang pemuda.

    "Shenling, apa pun yang terjadi, aku akan selalu melindungimu. Kamu harus tetap percaya padaku."

***

   Yuan Shenling bergegas mengikat rambut panjangnya. Berulang kali dia mematut diri di cermin. Beberapa pakaian berserakan di atas tempat tidur bernuansa biru muda tersebut.

   'Rasanya ini sudah pas. Semoga aku tidak membuat kesalahan lagi dan membuat Pak Huang semakin marah padaku,' ujarnya dalam hati.

    Terbayang olehnya raut wajah bundar sang atasan yang merah padam dan memberengut kesal. Tidak ayal hal itu membuat Shenling tertawa kecil. 

    *Ah, Pak Huang memang imut kalau sedang marah. Sayangnya aku tidak punya atasan tampan seperti di komik. Yang ada cuma bos tambun seperti dia,* ujar gadis itu dalam hati sambil tersenyum kecil. Gadis tersebut menepuk jidat keras. 

     "Berpikiran aneh lagi aku. Pasti karena komik yang kubaca semalam. Lagipula aku sudah punya Yanche," ujarnya lagi sambil bergegas. Gadis itu lalu menuju mobil model lama yang selalu setia menemani dan segera men-starter mesin mobil yang acapkali mogok tersebut.

     Shenling tersenyum riang saat tiba di kantor. Segera dia mengerjakan tugasnya dengan penuh semangat. Dirapikannya semua fail dan buku yang tergeletak tidak beraturan di atas meja berbentuk persegi panjang.

    "Pagi-pagi sudah rajin sekali kamu ini," sapa Chenyang -teman sekantor sekaligus sahabat Shenling sejak SMU-. Shenling hanya tersenyum simpul sambil terus melanjutkan pekerjaan. Chenyang lalu mengambil gelas kertas serta membuat kopi. Setelahnya dia memberikan minuman tersebut kepada Shenling.

    Bruk!

    Cairan tersebut tumpah-ruah karena kedua gadis itu saling bertabrakan.

    "Ya ampun, bagaimana ini? Maafkan aku. Bagaimana ini? Pak Huang pasti marah besar!" seru Chenyang panik.

    "Apa-apaan ini?" teriak Pak Huang yang baru saja memasuki kantor. 

    "Dokumen-dokumen penting. Semua jadi berantakan karena dirimu!" bentak lelaki paruh baya tersebut kepada Shenling.

    "Kalau tidak becus kerja, sebaiknya tidak usah kerja. Kau ini selalu saja membuat masalah. Sia-sia menggaji karyawan bodoh sepertimu!" teriaknya lagi dengan wajah memerah.

    "Maafkan saya, Pak. Ini semua benar-benar tidak sengaja," ucap Shenling pelan.

    "Minta maaf? Dengan mudahnya kau meminta maaf setelah selalu  menimbulkan banyak masalah. Dasar gadis ceroboh. Seharusnya dari awal aku tidak memperkerjakanmu. Kau sama sekali tidak punya keahlian apa-apa. Sekarang juga aku memberhentikanmu bekerja sebelum terjadi bencana yang lebih besar!"

    "Pak, jangan marahi Shenling. Ini semua bukan murni kesalahannya. Saya yang ...."

    "Sudah cukup. Jangan lagi membela temanmu yang tidak berguna. Keputusanku sudah bulat untuk memberhentikan dia!" ujarnya memotong kata-kata Chenyang sambil menudingkan jarinya kepada Shenling.

    "Tapi, Pak ...."

    "Sudahlah Yangyang, aku tidak apa-apa, kok. Aku memang salah. Tidak perlu membelaku lagi," ucap Shenling pelan. Gadis itu lalu kembali menoleh kepada Pak Huang.

    "Pak, saya benar-benar minta maaf untuk semua kesalahan saya," ucapnya sambil membungkuk.

    "Baguslah kalau kau menyadari kesalahanmu. Namun keputusanku tidak berubah. Kau tidak bisa lagi bekerja di sini," ucap Pak Huang. Kemarahannya tampak sedikit mereda.

    "Pak, Shenling ...." 

Kata-kata Chenyang terhenti saat melihat Shenling menggeleng. Pak Huang bergegas keluar dari ruangan itu.

    "Shenling, bagaimana ini? Kau dipecat gara-gara aku. Ini semua kesalahanku. Aku akan menemui Pak Huang dan menjelaskan semua!" sergah Chenyang sembari bergegas.

    "Jangan!" ujar Shenling cepat sambil mencekal tangan sahabatnya itu.

"Dia sedang sangat marah. Kalau kau bicara dengannya, mungkin akan membuat emosi kembali meluap. Jangan membuat masalah lagi bagimu. Bukankah kau juga membutuhkan pekerjaan ini? Jangan sampai dirimu ikut dikeluarkan gara-gara membela aku."

    "Shenling ...," ucap Chenyang sambil menunduk. Raut wajahnya terlihat sedih.

    "Sudah, aku tidak apa-apa, kok," ujar Shenling sambil mengedipkan sebelah matanya. Chenyang tampak sangat terpukul, karena itu dia berusaha untuk tetap ceria, meski tidak ayal ada kesedihan di dalam hatinya.

    "Sudah ya. Kamu jangan sedih-sedih. Sekarang kita bereskan semua ini. Lalu aku akan segera berkemas. Kamu harus tetap semangat dan meraih jabatan tinggi meski aku sudah nggak kerja di sini," ucap Shenling lagi sambil menepuk pelan pundak sahabatnya itu.

    Chenyang hanya diam dan mengangguk.

***

    'Semangat Shenling! Semangat!' gumam gadis itu sambil terus berjalan. 

'Aku nggak boleh sedih. Pasti ada pekerjaan lain di luar sana untukku.'

    Di kejauhan, Chenyang hanya diam menatap kepergian sahabatnya itu dan kembali masuk ke dalam kantor setelah Shenling tidak terlihat lagi.

    Meski sudah menyemangati diri, tidak ayal rasa sedih dan putus asa hinggap juga di benak Shenling.

   'Bagaimana aku akan membayar uang sewa rumah, juga biaya rumah sakit ayah? Apa yang harus kulakukan? Mencari pekerjaan lagi tentu tidak mudah,' gumamnya pelan.

    Selama ini Shenling memang tinggal hanya berdua dengan sang ayah. Ibunya telah lama meninggal dunia. Dia adalah putri satu-satunya di keluarga tersebut. Namun setelah penyakit diabetes yang menyerang beliau semakin parah, Shenling hanya tinggal seorang diri, sedang sang ayah harus menjalani pengobatan intensif di rumah sakit.

     Gadis itu lalu duduk di bangku yang ada pada sebuah taman. Kegalauan tampak jelas di wajahnya. Tanpa sadar air mata tampak menitik di wajah. Sang ayah adalah segalanya bagi Shenling.

    'Apa yang harus kulakukan sekarang?' ucapnya lagi. Gadis jelita tersebut lalu menggeleng sambil menghapus air mata.

    'Tidak. Aku tidak boleh berputus asa. Aku harus tetap ssmangat. Semua demi ayah!' ucapnya seraya mengangguk. 

'Aku harus segera menemukan pekerjaan baru secepatnya.'

***

    Hari berikutnya, Shenling berjalan ke sana kemari. Keluar-masuk dari satu perusahaan ke perusahaan lain. Namun mereka semua menolak dengan berbagai alasan. Kebanyakan tidak ada lagi lowongan yang tersedia.

    'Bagaimana ini?' ucap Shenling sambil melangkah gontai menuju rumah. Perlahan ia meraih ponsel dan menelepon Yanche. Biasanya saat sedang down seperti sekarang, pemuda itu selalu mendampingi dan menghibur gadis itu. Menciptakan berbagai lelucon lucu hanya untuk membuat Shenling kembali tertawa. Namun, semenjak hari dia dipecat, Yanche sama sekali tidak bisa dihubungi. Nomornya juga tidak aktif.

    'Yanche, di mana kau? Aku sangat membutuhkan dukungan darimu sekarang. Tapi kenapa dirimu justru menghilang?' ujar gadis itu pelan. Rasa putus asa bercampur kesedihan merayap semakin dalam di hatinya.

'Mungkin sebaiknya aku pergi ke rumahnya. Aku sangat membutuhkan dirinya.'

     Shenling segera bersiap. Membersihkan diri dan mengenakan gaun berwarna hijau pupus kesukaan Yanche. Pemuda itu selalu saja memujinya cantik kala Shenling mengenakan gaun tersebut. Seulas polesan tipis make-up mempercantik paras nan ayu tersebut. Tidak lama, Shenling telah mematut diri di depan kaca sambil tersenyum. Dia lalu segera bergegas pergi ke rumah pemuda yang dicintainya itu. Tanpa mengetahui kejutan lain telah menanti di sana.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status