Langit mendung tampak menghias malam. Cahaya purnama serta pijar sang bintang enggan untuk muncul dan memilih untuk bersembunyi di balik tebal awan. Perlahan, tetes-tetes rintik air tercurah dari langit seolah ikut menemani tangis kesedihan Shenling.
Shenling tidak pernah mengerti mengapa Chenyang begitu membencinya. Dulu persahabatan mereka begitu baik. Dia juga selalu memperlakukan Chenyang dengan baik, tetapi kenapa gadis itu justru malah membencinya? Menaruh dendam yang begitu dalam hingga berniat merusak setiap kebahagiaan yang dimiliki Shenling.
'Di mana letak kesalahanku? Kenapa Chenyang begitu membenciku? Mengapa dia tega berbuat sejauh itu hanya untuk menghancurkanku?' ucap gadis itu bertanya-tanya.
Shenling juga teringat pada sosok Leewan. Pemuda itu langsung begitu saja mempercayai semua perkataan Chenyang hanya karena wajah Chenyang mirip dengan tuan putri Lanshang.
'Dia sama s
Leewan duduk termenung. Seorang diri di dalam kamarnya. Hatinya dipenuhi bimbang. Shenling atau Chenyang? Tapi Shenling sudah membohongi dia. Sedang Chenyang adalah tuan putri Lanshang yang selama ini begitu dihormati. 'Aku tidak akan tertipu lagi,' ucapnya dalam hati."Aku harus percaya pada putri Lanshang." Suara ketukan di pintu mengejutkan dia dari lamunan. Pemuda itu bergegas bangun dari tidurnya. "Aku tahu kau pasti gelisah dengan kata-kata Shenling, tapi kau tidak perlu mendengarkan dia," ucap Chenyang sambil mengajak Leewan keluar dari kamar. Mereka lalu duduk di ruang depan yang berhias ornamen unik. "Sebelum bisa menemukanmu, aku sudah mencari tahu tentang Shenling. Dia itu gadis jahat yang berpura-pura baik untuk memanipulasi dan memanfaatkan orang lain. Yang terpenting adalah kau jangan pernah percaya padanya," ucap Chenyang sambil mengulurkan tangan dan meraih jemari pemuda itu.&nbs
Shenling mendesah pelan seraya menatap langit di luar rumah yang tampak gelap karena mendung tebal. Lagi-lagi di malam hari, purnama dan bintang masih saja bersembunyi di peraduannya. Shenling berdiri diam sambil bersidekap. Ingatannya selalu melayang pada sosok Leewan. Entah mengapa begitu susah menghapus bayangan pada sosok itu? Padahal dulu dengan begitu mudah, dia menghapus kenangan akan Yanche meski hatinya juga tetap merasa sakit. Hanya saja perasaan yang dia miliki kepada Leewan memang lebih dalam. 'Mungkin karena aku tidak pernah benar-benar mencintai Yanche,' ujarnya dalam hati. Shenling masih mengingat jelas betapa dulu Yanche terus saja berusaha mengejar-ngejar dirinya. Setumpuk hadiah dan karangan bunga mawar merah muda selalu saja tidak pernah terlambat datang. Akan tetapi, yang membuat Shenling mau menerima cinta Yanche adalah perhatian pemuda itu kepada sang ayah. Selama beliau
"Chenyang, kau sedang apa?" tanya Shenling sambil bergegas menghampiri sahabatnya itu. Dua gadis berkulit kuning langsat tersebut tampak manis dengan seragam sekolah mereka. "Diamlah di situ!" perintah Chenyang. "Kenapa? Aku mencarimu dari tadi. Jam pelajaran akan segera dimulai." "Ih, kau ini. Kusuruh diam juga masih aja nyerocos. Nih, rasain," ujar Chenyang sambil mengoles krim kue ke pipi sahabatnya itu. "Kamu tuh apaan sih. Jadi kotor 'kan?" gerutu Shenling sambil membersihkan wajahnya. "Kamu lupa lagi. Setiap tahun kamu selalu lupa," balas Chenyang. Shenling mengerutkan kening sambil menatap sahabatnya. "Sia-sia sudah aku membeli kue tar untukmu, sedang kau sendiri malah tidak ingat." "Apa maksudmu?" "Sahabatku, kau lupa hari ini hari apa?" "Hari Rabu. Tunggu sebentar, apa
Shenling diam terpaku. Suasana di sekeliling yang semula ramai seolah berubah sunyi. Orang-orang menghilang dan waktu seperti terhenti. Di tengah keramaian, mereka seolah hanya berdua. Larut dalam bius rasa yang membuat jantung berdetak keras oleh gairah. Leewan tersenyum saat mengakhiri ciuman. Dia lalu meraih tangan gadis dan mengajak pergi. Shenling hanya menurut dalam diam. Mereka tiba di sebuah danau buatan yang dihiasi oleh lampu-lampu mungil sebagai penerangan. Sebuah jembatan yang telah dihias dengan meriah juga terdapat di sana. Perahu-perahu mungil beraneka warna tampak melintas tidak jauh dari tempat Shenling dan Leewan berdiri. "Aku tidak menyangka tempat seperti ini juga masih ada di jaman sekarang. Suasana tempat ini benar-benar membuatku teringat pada masa lalu. Dulu festival seperti ini selalu diadakan setiap malam tahun baru. Kami, para prajurit kerajaan, bahkan hampir tidak pernah bisa m
Shenling tetap diam dalam perjalanan pulang dari rumah sakit. Berbagai pikiran bercabang dalam benak gadis itu. Dia tidak menyangka Leewan berencana untuk melamar. Bukannya dia tidak suka, hanya saja dirinya tidak tahu bagaimana nanti jika Leewan menghilang. Bagaimana dia harus mengatasi rasa kehilangan tersebut? Begitu banyak keraguan yang menghantui diri. Namun, di sisi lain, dia juga senang, perasaan Leewan ternyata tulus padanya. Pemuda itu bersungguh-sungguh dengan hubungan mereka, bahkan berniat melamarnya. "Kenapa wajahmu muram seperti itu setelah aku melamarmu?" tanya Leewan. Suasana sore itu tampak indah dengan bunga-bunga sakura yang menjatuhkan kelopaknya di sepanjang jalan. Mereka tampak seperti rintik salju yang tengah bertaburan mewarnai hari. "Kenapa kau tidak terlihat bahagia? Apa kau tidak benar-benar mencintaiku?" tanya pemuda itu lagi saat melihat gadis tersebut hanya diam men
Lanshang berlari menuju kamar. Dia tidak ingin mendengar lagi kata-kata ayahnya. Tadi dia dipanggil menuju aula utama, karena sang ayah ingin membicarakan pernikahannya dengan seorang pangeran dari negeri seberang. Wuyan-nama pangeran itu- memang berparas tampan dan rupawan. Alis mata yang bertaut indah di wajah yang terukir sempurna membuatnya terlihat anggun menawan hati. Hidung mancung dan sepasang mata bersinar menjadi nilai tambah untuk paras sempurnanya tersebut. Namun semua itu tidak menggoyahkan hati Lanshang. Meski sang pangeran bersikap ramah, Lanshang tetap saja bersikap dingin dan langsung pergi begitu saja. "Lanshang," tegur Lanzhou yang tadi segera mengikuti adiknya. "Kakak, aku tidak bisa menerima semua ini. Kakak tahu aku masih menunggu Leewan. Meski ini sudah lama, aku yakin dia pasti akan kembali," sahut gadis itu. "Kakak tahu," jawab Lanzhou sambil meraih tangan adiknya.
Hari istimewa tersebut akhirnya tiba juga. Shenling terlihat sangat cantik dengan tatanan rambutnya yang dibentuk sanggul mungil, sedang sisanya dikeriting. Lalu ada hiasan bunga-bunga kecil serta mutiara di rambutnya. Tidak lupa tusuk konde serta kerudung putih yang menutupi wajahnya. Meski begitu, wajah nan ayu yang duduk di depan meja rias tersebut terlihat sedih. 'Hari ini seharusnya menjadi hari bahagiaku, tetapi Ayah dan Chenyang tidak berada di sini. Tanpa mereka, kebahagiaan ini tidak terasa lengkap,' ucap Shenling dalam hati. Titik air mata tampak mengalir membasahi pipi. Suara pintu yang dibuka di belakangnya tidak membuat gadis itu menoleh. "Kupikir kau akan tertawa bahagia karena berhasil mengalahkanku dan membuatku mendekam di penjara, ternyata kau malah bermuram-durja. Kenapa? Apa kau merasa bahwa mautmu akan menghampirimu?" tegur sebuah suara mengejutkannya. Shenling langsung berb
Kondisi Leewan sudah pulih. Dia juga telah bertugas seperti biasa. Meski begitu, pemuda itu masih terus menghindari Lanshang. Lanzhou yang menyadari itu segera menemui Leewan. Pemuda itu sedang berlatih bela diri pedang dengan anak buahnya. "Aku ingin bicara denganmu," ujar Lanzhou. Bukannya menjawab, Leewan justru mengarahkan pedang ke arah Lanzhou. Yang lain segera menyingkir. Kedua pemuda bertubuh perkasa kemudian beradu pedang. Perkelahian tidak berlangsung lama setelah Leewan mengalah dan Lanzhou memukul jatuh pedang tersebut. "Ada apa denganmu?" tanya sang pangeran lagi saat keduanya berdiri dan melihat pasukan yang kembali berlatih dengan pedang di tangan masing-masing. "Ada banyak hal yang terjadi sewaktu aku menghilang. Aku berada di tempat berbeda. Bertemu dan menjadi akrab dengan orang-orang di sana." "Lalu apa hubungan semua itu denga