Share

Liana

Liana tercenung memandang bungkusan yang diberikan Pandu, satu persatu ia mengeluarkan isinya dengan tangan gemetar. Sebuah ikat pinggang, dua buah dompet, dan sebuah bandana yang berlumuran darah.

Gadis yang menggunakan kaca mata tebal itu tertawa frustrasi, kenapa polisi tidak memeriksa bandana yang berlumuran darah dan tidak memeriksa ikat pinggang yang banyak menggoreskan luka lebam di tubuhnya. kenapa polisi hanya melihat orang tuanya sebagai korban pembunuhan. Orang tuanya bukan korban, Liana, adalah korban yang sesungguhnya. 

Liana masih ingat, bagaimana awal ikat pinggang yang ia pegang memberikan tanda pada seluruh tubuh mungilnya, bagaimana bandana yang tergelatak penuh darah itu mengunci raungan memohon ampun Liana, yang tidak dihiraukan oleh kedua orang tuanya yang sangat kejam.

Hari minggu yang cerah, setelah mengerjakan tugas kuliah di rumah Mahia sahabatnya, Liana bertemu dengan Aqsad dan Janna, kedua temannya mengajak gadis bertubuh mungil itu untuk ikut dengan mereka menikmati makan siang di sebuah cafe. Selama ini Liana dikenal sebagai gadis pemurung oleh teman-temannya, tidak pernah mau bergabung jika diajak berkumpul bersama.

Melihat Aqsad, pemuda pindahan dari kota sebelah, membuat Liana yang merasakan getar-getar di hati, enggan menolak ajakan Janna. Mereka bertiga berjalan seiring menuju cafe yang tidak jauh dari tempat kos Mahia, di mana mereka bertemu tadi.

Belum sepertiga jalan, Ahkam yang kebetulan melintas, melihat Liana dan mengajak putrinya untuk pulang ke rumah, meski enggan tetapi 

Liana adalah anak yang terkenal penurut, tidak pernah membantah sekali pun ia tidak menyukainya. Dengan berat hati gadis itu mengikuti perintah Ahkam untuk masuk ke mobil, ayah Liana memberikan senyum yang teramat manis pada kedua sahabat putrinya, sebelum berlalu melajukan mobil menuju ke rumah mereka.

“Kau perempuan licik, pintar sekali berbohong! Apa kau sudah merasa cukup dewasa untuk menjadi jalang murahan?” umpat ayah Liana.

Begitu berbeda perlakuan ayah Liana ketika mereka hanya berdua di dalam mobil. Sepanjang perjalanan Ahkam mengeluarkan caci maki dan hinaan kepada putrinya yang hanya diam tanpa berani membantah.

“Sejak kapan kau mulai berani menjadi pembohong seperti seorang pelacur hina? Aku membiayakan sekolahmu untuk menjadi manusia berbudi dan pintar tidak untuk menjadi perempuan sundal mencari laki-laki di pinggir jalan!”

Tiada ampun untuk Liana, begitu mereka tiba, Ahkam langsung menarik putrinya masuk ke dalam rumah, menyeret gadis bertubuh mungil itu ke dalam sebuah gudang yang dirancang kedap suara. 

Namla yang baru saja turun dari lantai atas bertanya pada Ahkam kenapa memperlakukan Liana seperti itu, apa kesalahan yang telah putri mereka lakukan. Sementara Liana hanya mampu menangis ketakutan tanpa suara, sudah terbayang seperti apa siksaan yang akan ia terima.

“Kau lihat putrimu, liar seperti perempuan sundal yang mencari laki-laki.” Geram Ahkam.

 “ Apa kau pikir selama ini hidup kami mudah, melahirkan putri yang tidak tau diuntung sepertimu?” teriak Ahkam pada putrinya, ia melepas ikat pinggang yang akan digunakan untuk memukul tubuh mungil Liana. 

Namla berjalan mendekati Liana yang terlihat gemetar menahan sakit dan rasa takut.

‘Liana ... kau melanggar perintah Mama lagi? Mama sudah bilang padamu untuk segera pulang jika tugas kuliahmu sudah selesai!” seru wanita setengah baya itu.

Tangannya mengelus pipi Liana dengan lembut, tetapi detik berikutnya sebuah tamparan keras ia layangkan pada wajah gadis itu.

“Ampun, ma. A-aku ti-tidak melanggar perintah, Mama. A-ku baru selesai dan arah pulang bertemu Pa-pa,” jawab gadis itu terbata. Kedua tangannya menahan rambut yang dijambak oleh Ahkam dengan keras. 

Namun, Namla jauh lebih buruk dari suaminya, wanita paruh baya itu tidak mendengarkan penjelasan Liana. Ia melepas bandana yang dipakai dan mengikatnya pada mulut gadis yang sudah tak berdaya itu. Dengan kasar kedua orang tua Liana melepas paksa pakaian putrinya yang semakin gemetar ketakutan, menelanjangi gadis itu tanpa rasa belas kasihan. 

Namla menarik rambut pendek Liana, dan menyeret tubuh telanjangnya mengitari seluruh gudang yang lantainya kotor dipenuhi dengan serpihan duri kayu berserakan, menyebabkan tubuh gadis itu bagaikan landak, penuh dengan tancapan duri. Liana menjerit merasakan puluhan duri kayu menancap di tubuh telanjangnya.

Sementara Ahkam seperti orang yang dirasuk setan, ia menghantamkan kepala Liana berulang kali ke dinding hingga mata gadis itu terasa pendar, menginjak perutnya, membuat Liana mengeluarkan jeritan tertahan. Pria paruh baya itu tidak henti memberikan pukulan dan tendangan bertubi-tubi. 

Setelah puas menyiksa dengan memberikan pukulan demi pukulan, dan berakhir dengan menghantamkan sebuah kayu panjang di tubuh Liana. Namla dan Ahkam meninggalkan gadis itu sendirian, mengunci putri mereka yang tak sadarkan diri, di gudang tanpa rasa iba.

Entah sudah berapa jam Liana meringkuk dalam gudang yang pengap dan gelap, tubuh polosnya mulai merasakan dingin menusuk kulit. Ia meraba-raba di seluruh ruangan mencari kacamata dan pakaiannya yang berserakan. setelah beberapa menit, mata minus Liana mulai terbiasa dengan gelap, melihat samar kulit tubuhnya yang dipenuhi lebam dan bercak darah.

Beberapa serpihan kayu sebesar jari kelingking, menancap di pinggang dan dada Liana. Gadis itu mencabut satu demi satu serpihan kayu yang menancap cukup dalam di tubuhnya, jerit tertahan terdengar saat ia mencabut paksa sebuah duri yang tertancap sangat dalam di bagian depan dada. Darah segar mengalir dari luka bekas tusukan duri kayu, tetapi tidak dihiraukan oleh Liana. 

Masih banyak yang tersisa, tetapi ia sudah terlalu lelah, tak bisa lagi melepas duri kayu itu karena sudah terlalu banyak dan dalam masuk ke daging tubuhnya.

Haus dan lapar menyatu dalam diri Liana, berteriak meminta belas kasihan orang tuanya, percuma saja. Gudang ini kedap suara, jika kedua orang tuanya ingat sedang mengurung putri mereka satu-satunya, maka liana beruntung, tetapi jika lupa, bisa saja ia akan mati kelaparan atau dehidrasi.

Seekor tikus mengintip Liana dari celah tumpukan kayu, seolah mengejek gadis itu dan mengatakan cepatlah kau mati, agar aku dan tikus lain bisa menikmati daging busukmu. Gadis remaja yang baru saja mendapatkan siksaan tiada henti itu tersenyum sinis, tubuh lemahnya bergerak bangun, menggapai sebuah kayu panjang yang sebelumnya dipergunakan Namla untuk memukulnya.

Liana mengayunkan kayu panjang pada tikus yang mengintip, pukulan yang meleset membuat tikus itu kabur sekejap dan kembali lagi beberapa menit kemudian seolah mengejek Liana yang lemah tak berdaya. Kembali senyum sinis Liana berikan pada tikus busuk itu, dengan gerakan kilat ia menghantamkan kayu, hingga tikus tersebut tak bisa menghindar, terkapar dengan tubuh penuh darah.

Liana memegang ujung ekor tikus, menyentuh tubuh berbulunya dengan ujung jari dan memberikan pandangan dingin pada tikus yang sedang sekarat. sesekali ia mengguncang tubuh hewan itu, memastikan jika tikus yang ia pegang belum menjadi bangkai.

“Kau mengejekku tikus, menertawakan diriku yang lemah. Apa kau ingin melihatku menjadi Liana yang kuat?” ucap Liana. Mata nanar gadis remaja itu, memperhatikan tikus yang sudah tak berdaya di ujung jarinya.

“Bagaimana kalau kau, kujadikan korban pertama dari kekuatanku. Kau tikus kecil yang jelek, telah berani mengejekku!” Liana kembali berbicara pada tikus yang sudah mulai kehilangan lembar nyawa tersebut. 

Tawa pelannya terasa menusuk, dingin dan seakan tidak memiliki rasa hangat lagi.

Liana menggapai sebuah serpihan duri kayu yang baru saja dicabut dari tubuhnya. ia menancapkan duri itu pada leher tikus yang hampir menjemput ajal. Hewan itu mencicit kesakitan, menggeliat merasakan perih. 

Liana mengulum senyum, kemudian ia meletakkan hewan itu di lantai dan seolah berperan sebagai dokter bedah, ia menusuk mata tikus itu tanpa ampun, mengorek kedua mata hewan malang itu, hingga suara tikus yang sudah lemah, kembali terdengar nyaring. 

Jerit kesakitan tikus itu, seolah menjadi hiburan untuk Liana, kembali ia menancapkan duri kayu pada perut hewan tak bersalah itu hingga darah segar menyembur dan mengenai wajahnya. 

Geliat nyawa hewan yang menjadi korban kebuasan Liana berakhir, dan tanpa rasa jijik, ia menghirup darah kental hewan itu untuk menghilangkan rasa haus. Namun, rasa dahaga itu tetap pekat seiring bau anyir darah yang menyumbat penciuman.

Liana mematahkan bagian kepala tikus, memasukkannya ke dalam mulut dan mengunyah perlahan. Rasa lapar yang menyambangi gadis itu membuatnya kehilangan rasa jijik. 

Liana kembali membelah tubuh bangkai tikus yang sudah tidak berkepala, menarik perlahan usus hewan itu dan mengeluarkan isi perutnya. kemudian tanpa rasa mual ia mulai memakan daging hewan berbulu tersebut. mengunyah perlahan seakan menikmati tiap gigitan pada daging tikus yang telah ia bunuh.

Senyum mengembang di bibir remaja yang penuh dengan darah tikus, matanya yang semula memancarkan ketakutan, kini memperlihatkan kebekuan hatinya.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status