Share

Hipotesa Raksi

Pandu mempelajari hasil autopsi yang baru saja tiba di meja kerjanya. Beberapa kali, mata tajam pemuda itu mengerenyit tanpa ia sadari. Ada beberapa hal yang membuat dirinya berada dalam zona merah menentukan arah perkembangan kasus mutilasi ini.

Sahabat dan kerabat mengetahui korban sebagai pribadi yang baik, tetapi di lingkungan tempat tinggal kedua korban, sangat dikenal dengan sikap anti sosial. Keluarga Ahkam sangat terkenal tidak pernah berkunjung ke rumah tetangga, jangankan pada hari biasa, saat hari besar atau ada pesta di sekitar lingkungan rumah mereka, Ahkam dan Namla tidak pernah Hadir.

Menurut keterangan warga sekitar, keluarga korban sangat tenang, tidak pernah terjadi pertengkaran atau keributan. Liana anak mereka satu-satunya, juga dianggap warga sebagai anak yang manis dan penurut.

Jika keluarga korban sebaik ini, bagaimana kedua korban bisa dibunuh dengan cara yang sangat sadis? Sahabat dan rekan kerja korban juga mengatakan jika pasangan suami istri itu sangat royal, ramah, dan baik sehingga sedikit kemungkinan mereka memiliki musuh. 

Pandu jadi teringat pembicaraan singkatnya dengan anak korban, di balik kata-katanya, tersirat bahwa korban sering didatangi banyak orang serta tidak sedikit yang mencari keberadaan korban, apakah mereka memiliki tanggungan hutang? 

Pandu memutuskan untuk menghubungi Raksi, sahabat sekaligus seorang psikolog yang cukup handal dalam membantu pandu menganalisa sebuah kasus. Sering kali Pandu meminta bantuan Raksi, hipotesis wanita itu jarang ada yang meleset.

"Bagaimana menurutmu?” tanya Pandu pada seorang gadis yang terlihat sangat tekun membaca buku catatan yang diberikannya.

Ia dan Raksi sedang mendiskusikan kasus pembunuhan yang baru saja menggemparkan seluruh warga kota, di salah satu sudut cafe yang memberikan pemandangan tepi sungai sangat indah. Tempat favorit Raksi saat bersantai atau pun memikirkan sesuatu.

"Setiap membutuhkan bantuanku, kau selalu memberikan buku catatan, tidak berkenankah menunjukkan file aslinya padaku?” tanya Raksi, mata jernihnya tetap fokus membaca tulisan cakar ayam milik Pandu.

Pandu hanya tersenyum mendapatkan protes dari gadis berhidung mancung tersebut, dirinya sudah terbiasa menerima komplain dari Raksi. Asalkan ia bisa mentraktir gadis itu secangkir kopi di cafe favoritnya, semua akan aman.

"Asalkan kau masih bisa membaca, aku pikir tidak masalah,” jawab Pandu sambil tersenyum, membuat mata gadis itu mendelik sesaat.

Raksi menyobek selembar kertas dari bukunya, kemudian menyalin beberapa catatan milik Pandu, dan menggambarkan sebuah struktur.

"menurut catatanmu, di dalam tubuh korban terdapat Chlorophyll. Ini adalah salah satu jenis obat bius yang berbentuk spray, bisa membuat orang jatuh tertidur, kurang lebih empat hingga lima jam,” jelas Raksi, sebelum ia melanjutkan hipotesisnya

"Selanjutnya kedua korban disiksa terlebih dahulu sebelum dibunuh, dan setelah meninggal pun kedua korban ditusuk secara membabi buta oleh pelaku. Terakhir sekali, jarak kematian korban yang hanya selisih beberapa jam.” 

Raksi menarik napas panjang dan menghembuskannya perlahan, menutup mata sesaat sebelum meneruskan kata-katanya. Seperti ada yang menyayat di hati gadis itu.

"kenapa? ada yang membuatmu tidak nyaman?” tanya Pandu hati-hati. 

Melihat raut wajah Raksi yang seketika berubah, Pandu dapat merasakan, ada sesuatu yang mengiris hati perempuan berambut sebahu itu.

"Tidak akan ada orang yang pernah merasa nyaman dengan sebuah kasus pembunuhan, apalagi dilakukan dengan penuh cinta,” jawab Raksi, lirih.

"Pembunuhan? Dengan penuh cinta? Sangat menarik!” Pandu semakin tertarik dengan hipotesa Raksi.

"Pelaku memiliki dendam, pada korban. Tetapi selain dendam, pelaku juga masih memiliki rasa kasih sayang pada kedua korban,” lanjut Raksi.

Wanita yang memiliki ketenangan luar biasa itu, seolah dapat membaca kenapa kedua korban dibunuh dengan brutal.

"Maksudmu? Korban dibunuh oleh orang yang sangat dekat dan mengenal mereka berdua?”

Mendengar penjelasan Raksi, pandu terpikir tentang kisah cinta segitiga. Bisa saja terjadi dan menurutnya sangat wajar, mengingat kedua korban sangat ramah dan royal, mungkin saja salah satu dari teman mereka ada yang jatuh hati, tetapi berakhir dengan pembunuhan karena cintanya ditolak.

"Menurut hipotesisku, pelaku sangat mengenal kedua korban, tetapi ia juga memiliki dendam. Kau lihat struktur yang kubuat ini? Korban dibius, kemudian disiksa, baru dibunuh. Tidak ada tanda perlawanan, kecuali lecet akibat gesekan di kedua pergelangan tangan korban. Itu Artinya ...?” 

Raksi sengaja menggantung penjelasan sambil menunjukkan gambar struktur, urutan pembunuhan berdasarkan hasil hipotesanya.

"Korban mengenal pelaku secara dekat, dan berpikir bahwa korban tidak akan dilukai oleh pelaku? Atau mungkin Korban berpikir, pelaku bisa dikendalikan oleh mereka? tanya Pandu mulai penasaran.

"Got it! dan pelaku kemungkinan memiliki gangguan kejiwaan, ada tekanan batin yang mendorong dia untuk melakukan pembunuhan,” lanjut Raksi, sambil membereskan kertas yang berserakan.

"Apa kau yakin? Bagaimana jika korban tidak melawan karena masih berada di bawah pengaruh obat bius?” Pandu memutar gambar struktur urutan point pembunuhan hingga menghadap Raksi.

Wanita itu menghentikan kegiatannya sesaat, menuliskan beberapa kalimat dan menunjukkannya pada Pandu.

"Saranku, pergilah mencari informasi pada kerabat korban. Di dunia ini tidak ada buah yang mulus tanpa cacat, begitu pun manusia, dalam kebaikannya pasti ada yang pernah disakiti.” 

Raksi melanjutkan membereskan semua kertas yang bertebaran dan memakai jaketnya.

"Aku harus pergi, ada janji temu dengan seseorang. Jangan lupakan tugasmu untuk mencari orang yang pernah disakiti oleh korban!” 

Pandu tersenyum, ia membaca catatan yang di tinggalkan Raksi, membentuk kertas tersebut menjadi lipatan kecil, menyimpan jadi satu dengan buku catatan miliknya yang tadi dibaca oleh raksi, dan memasukkannya kedalam saku jaket. Tidak lupa dirinya mengucapkan terima kasih pada wanita itu dengan acungan kedua jempol dan lambaian tangan.

Sepasang mata berkabut, memperhatikan Pandu dan Raksi dari balik majalah yang ia baca. Wajah sendu yang tersembunyi di balik majalah itu, mengusap titik bening yang membuat kacamatanya berembun. Beberapa saat pemilik sepasang mata penuh kesedihan itu, beranjak pergi meninggalkan cafe tempat Raksi dan Pandu bertemu, berjalan menyisir trotoar kemudian menghentikan sebuah taksi yang lewat.

***

Liana masuk ke kamar tidur, menatap kosong pada langit-langit, berulang kali ia mengusap kacamata miliknya yang berembun, kemudian memakainya kembali. Tidak lama, remaja itu, mulai tersenyum kecil sendirian kemudian berubah menjadi gelak tawa yang mengerikan. Ia beranjak bangun, menyusuri anak tangga, berjalan perlahan menuju ke bagian belakang rumah dan masuk ke dalam sebuah ruangan yang pengap serta gelap. 

Liana menekan tombol yang terletak di samping pintu, nyala lampu membuat ruangan seketika menjadi terang benderang dan memperlihatkan sebuah pemandangan yang mengerikan. Dua buah kursi kayu saling berhadapan, dipenuhi dengan bercak darah dengan helaian rambut serta kuku-kuku manusia yang bertebaran di sekitar kursi.

gadis itu berjalan mendekat dan duduk di salah satu kursi dengan tali polyethlylen yang masih terikat kendur. Tangan kurusnya terulur, menjumput rambut panjang yang terserak di lantai, duduk dan menyandarkan kepala pada bantalan kursi, gadis itu menciumi rambut panjang tersebut dengan penuh perasaan.

"Bagaimana mama, kau bahagia sekarang? Kalian berdua sudah jadi orang yang terkenal. Hampir seluruh dunia membicarakan tentang mama dan papa, berterima kasihlah padaku, telah membuat wajah kalian berdua hampir setiap jam memenuhi berita di layar kaca televisi.” 

Senyum sinis kembali membayang di wajah gadis remaja itu, tetapi raut wajahnya yang murung tidak dapat menutupi kesedihan yang ia rasakan.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status