Share

Curiga

Sekelompok remaja terlihat berkumpul di cafe dengan latar pinggiran sungai yang indah. Kelap kelip lampu yang berasal dari rumah penduduk di seberang sungai terlihat seperti kerlip bintang yang hampir menjejak bumi. 

Kelompok remaja yang berjumlah tak kurang dari enam orang itu, tampak asyik berbicara sesama mereka. ada yang sibuk saling merayu, berdiskusi tentang kelas yang telah lewat, dan ada juga yang saling bercanda. 

Hanya seorang gadis yang terlihat berbeda, walau ia berada di tengah-tengah sahabat yang saling menggoda, tetapi remaja berkacamata tersebut tampak tenggelam dalam dunianya sendiri. Ia terlihat tenang membaca sebuah buku, tidak terusik sedikit pun dengan kebisingan di sekitar, sesekali matanya liar menyapu pandang ke seluruh ruang cafe.

Denting pintu cafe berbunyi diiringi sepasang manusia yang masuk dan langsung memilih kursi yang berada di sudut ruangan. Posisi paling strategis untuk memperhatikan setiap pengunjung yang keluar masuk.

“Kenapa kau sangat senang sekali, memilih duduk di sudut ini?” tanya Pandu pada Raksi yang sedang memilih menu untuk makan malamnya.

“Malam ini kau yang traktir ‘kan? Kalau begitu aku memilih, menu nasi ayam,” ucap Raksi sambil menyerahkan buku menu pada waitress.

“Kau bertanya apa tadi? Kenapa aku memilih tempat duduk di sudut ini? kau lihat tempat yang strategis untukmu memantau siapa saja yang keluar masuk, terlindungi dari banyak pasang mata tetapi kau tetap bisa melihat ke seluruh ruangan tanpa ada yang mempedulikanmu," jelas Raksi.

Pandu mengikuti petunjuk Raksi, matanya menyapu seluruh ruangan, dalam hati ia membenarkan semua perkataan gadis itu. Harus Pandu akui, wanita hebat di sampingnya ini memang memiliki pikiran tajam dan selalu penuh pertimbangan, setiap tindakannya selalu dengan pemikiran yang luar biasa.

Tanpa sengaja mata Pandu menemukan satu pemandangan yang unik, sekelompok remaja yang sedang asik bercengkerama. Namun, bukan itu yang menjadikan pemandangan tersebut luar biasa, melainkan kehadiran Liana, anak dari korban pembunuhan, gadis remaja itu terlihat duduk santai bersama teman-temannya. suatu kejanggalan untuk seorang anak yang baru saja kehilangan kedua orang tua.

Walau Liana terlihat tidak menikmati acara kumpul-kumpul tersebut dan menyibukkan dirinya dengan bacaan, tetapi dalam pandangan masyarakat sekitar hal tersebut sangat tidak lazim.

Raksi mengikuti arah pandangan Pandu, melihat ke sekelompok remaja yang tampak sedang menghabiskan malam penuh gembira.

“Ada apa? Mendapatkan sesuatu yang unik?” tanya Raksi. Gadis itu ikut memperhatikan Liana, sambil menikmati makan malamnya. 

“Kau lihat remaja perempuan berkacamata itu?”

“Ya, wajahnya manis tapi terlihat suram.”

“Tidak, bukan itu maksudku. Gadis itu adalah anak dari korban pembunuhan yang kita bicarakan beberapa hari lalu,” jelas Pandu. Laki-laki itu menyalakan sebatang rokok tanpa mengalihkan perhatiannya dari Liana.

Raksi yang sedang menikmati makan malamnya, tersedak, mendengar penjelasan Pandu. ia segera mengeluarkan buku catatan dan mencatat deskripsi profil Liana, ada yang menarik dari gadis itu dan Raksi dapat merasakannya.

Intuisi Liana yang tajam dan jarang meleset, memperingatkan gadis itu, bahwa ada orang yang sedang memperhatikan dirinya. Dari balik buku, Liana dapat melihat dua orang yang duduk di pojok ruangan sedang memperhatikannya tanpa berkedip.

Liana meletakkan buku yang ia baca, mencoba untuk berbaur dengan semua sahabat agar tampak normal di hadapan yang lain. Melalui ekor matanyanya, Liana dapat menangkap bayangan Pandu dan Raksi, berjalan mendekati dirinya dan teman-teman.

“hai, Liana, kebetulan sekali, ya?” sapa Pandu. “Bagaimana kabarmu? apa kau mempunyai informasi tentang kematian kedua orang tuamu?” 

Polisi gagah itu sengaja bertanya kabar pada Liana, ingin melihat reaksi gadis itu menanggapi pertanyaan Pandu tentang kedua orang tuanya.

Liana berdiri, menyambut hangat jabat tangan dari Pandu dan Raksi, segaris senyum tipis ia berikan pada kedua orang yang ada di hadapannya. Sahabat Liana hanya memperhatikan dan memberikan senyum tanda kesopanan, meski mata mereka memancarkan pandangan ingin tahu.

“Kebetulan yang sangat tidak kebetulan,” jawab Liana diplomatis. “Maaf, aku tidak memiliki jawaban untuk pertanyaan Anda pak Polisi, kecuali jika Anda berminat untuk bergabung bersama sekelompok remaja seperti kami.”

Pandu dapat menangkap sikap penolakan dari gadis tersebut, ia tersenyum dan memberikan sebuah kartu nama pada Liana, sebelum meninggalkan remaja itu bersama teman-temannya.

“Anda tau, Pak? Aku tidak memiliki apa pun untuk dikatakan, tetapi aku selalu menunggu kedatangan Anda membawakan kabar baik untukku!” 

Kata-kata Liana membuat langkah Pandu dan Raksi terhenti, pemuda itu memandang Liana dengan tatapan tajam penuh arti, sementara Raksi menangkap sebuah pesan terselubung dari sinar redup mata gadis itu.

Raksi dan Pandu kembali ke meja mereka, menikmati hidangan makan malam yang sempat tertunda, dalam diam kedua orang tersebut saling melempar pandang penuh arti.

“Kami tidak pernah tau, kalau orang tuamu meninggal. Kau tidak pernah bercerita apa pun, Lie!” ujar Janna. Remaja itu mulai bertanya-tanya tentang kehidupan Liana yang selama ini jarang mereka ketahui.

“Tidak ada yang harus diceritakan tentang kematian orang tuaku, untuk apa? Mencari simpati? Aku tidak membutuhkannya,” jawab Liana lugas.

“Tidak semudah itu, Lie. Kau sahabat kami, sedihmu, sedih kami juga. jika kau memiliki kesulitan bicaralah pada kami,” tutur Aqsad.

Perhatian dari Aqsad, pemuda tampan yang selama beberapa minggu ini selalu menghiasi mimpi Liana, membuat senyum di wajah gadis itu merekah. Mahia, Kelana dan Nanda hanya memberikan lirikan nakal pada sahabat mereka yang sepertinya sudah mulai dihinggapi virus cinta.

“Bisa keluar bermain dan berkumpul bersama kalian saja, sudah membuatku cukup bahagia. Selama orang tuaku hidup, mereka terlalu mengekang pergaulanku, dan di saat mereka telah tiada aku sedikit merasa bahagia,” ungkap Liana jujur.

Pengakuan gadis remaja itu membuat semua temannya terkejut, ternyata selama ini Liana bukanlah gadis yang sombong seperti dugaan mereka, melainkan orang tuanyalah yang terlalu keras pada gadis itu. 

“Aku harus pulang, sekarang. Semoga besok, kita bisa berkumpul lagi seperti ini,” ucap Liana penuh makna.

Ia memasukkan buku yang tadi dibaca ke dalam tas, memakai sweter, dan berlalu meninggalkan sahabatnya yang masih meneruskan acara kumpul-kumpul mereka. Liana melangkah menyusuri trotoar, ia terhenti tepat di sebuah apotek yang tak jauh dari cafe.

Masuk ke dalam sebentar untuk membeli sebuah obat semprot, gadis itu melanjutkan langkahnya kembali menuju pinggir jalan raya untuk menghentikan taksi.

Dari kejauhan Gama yang ditugaskan Pandu untuk mengikuti Liana, ikut masuk ke dalam apotek sesaat setelah gadis remaja itu keluar. Gama menanyakan kepada petugas apotek, obat apa yang dibeli oleh Liana, setelah mendapatkan informasi yang dirasa cukup, pemuda itu segera keluar, namun ia telah kehilangan jejak gadis itu.

Sementara itu dari dalam sebuah taksi, Liana memperhatikan semua gerak gerik Gama, ia tersenyum ketika melihat Gama memasuki Apotek yang tadi di singgahinya. Gadis itu mengeluarkan sebuah botol yang bertuliskan Chlorophyll dari kantong pembungkus.

Mereka terlalu bodoh Papa. Kerjanya sangat lambat, padahal aku sudah meninggalkan banyak jejak. Batin Liana

Percuma saja ia selalu mengintai dan memberikan banyak petunjuk pada polisi itu agar bergerak cepat, tetap saja mereka bergerak seperti siput yang kelelahan.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status