Share

Lexa 5

Selama minggu pertama kuliah, Marcus dan Lexa selalu pergi dan pulang bersama bahkan tak jarang mereka berkumpul dengan teman-teman lainnya yang yang sudah akrab sejak pesta di club.

Kini, Lexa dan Marcus sedang berada di stan pendaftaran organisasi Akuntansi, alias Marcus yang menyuruh Lexa untuk mendaftarkan diri karena hanya Lexa yang belum mendaftarkan diri. Awalnya Lexa tidak ingin gabung, karena emang dirinya malas ikut organisasi. Tapi karena Marcus yang selalu menakuti Lexa dengan berbagai macam alasan seperti, dipersulit dosen saat skripsi atau susah mendapat nilai A waktu ujian. Sehingga mau tidak mau Lexa mendaftarkan diri.

Selagi Lexa sedang mengisi form pendaftaran via Ipad yang disediakan oleh senior di meja pendaftaran, Marcus sesekali menanyakan progress selama periode pendaftaran bagi mahasiswa baru. Dan untuk tahun ini, hampir 50% mahasiswa Akuntansi mendaftarkan diri ke organisasi, entah mereka memang antusias mengikuti organisasi atau memang karena banyak cowok ganteng di angkatan senior mereka untuk sekedar cari muka.

Antara sadar atau tidak, Amanda adalah salah satu panitia sekaligus anggota organisasi yang sedang berjaga di meja pendaftaran.

Tapi Lexa benar- benar tidak peduli dengan itu semua karena ia daftar hanya untuk memenuhi kriteria pada saat skripsi nanti. Terserah apa kata senior nanti kalau ia dan Marcus adalah sepasang kekasih, ia benar-benar tidak peduli. Amanda yang melihat Lexa sedang sibuk mengisi form menatap sinis. Apakah Amanda bisa menyingkir satu junior ini? Amanda tidak peduli Lexa ada kekasih Marcus. Intinya Marcus yang milik Amanda seorang, Amanda akan memikirkan seribu cara untuk mendapatkan hati Marcus. Persetan dengan harga dirinya yang nanti akan diinjak.

Setelah Lexa selesai, Marcus dan Lexa memutuskan untuk menyusul teman-teman mereka yang sedang bersantai di kafe sebrang kampus.

Selagi mereka menyebrang, Marcus menoleh kesamping matanya melotot ketika seorang pengendara motor melaju ke arah mereka dengan sangat kencang. Dengan cepat ia menarik lengan Lexa kencang sampai menubruk dada bidang Marcus.

Lexa begitu shock atas kejadian yang hampir menimpanya. Ia sendiri tidak sadar ada pengendara motor yang akan menabrak mereka. Marcus yang peka bagaimana perasaan Lexa, ia masih mendekap erat tubuh mungil Lexa mengelus punggungnya dengan pelan sambil bergumam 'it's okay' sampai Lexa kembali tenang.

"A-a-apa yang terjadi?" Tanya Lexa terbata.

"Sstt... it's sekarang sudah aman. Nanti biar aku mencari tau sendiri dengan teman aku. Sekarang kita lanjut jalan ke kafe ya."

Lexa mengangguk pelan sambil melepaskan pelukan Marcus dengan perlahan. Kemudian mereka kembali berjalan sampai akhirnya mereka masuk ke kafe dimana tempat teman-teman mereka berkumpul.

-The X Cafe-

Seluruh teman-teman Lexa dan Marcus menyapa mereka ketika mereka masuk ke dalam kafe tersebut.

Kafe yang dibilang cukup elite di kawasan Sudirman ini sekaligus restoran dimana memiliki menu makanan yang sangat enak dimulai dari side dish, breakfast, signature dish, bahkan sampai dessert.

"Kamu mau pesan apa?" Tanya Marcus sambil buka buku menu yang baru saja disodorkan oleh pelayan.

"Aku mau Mushrooms Tagliatelles, Whit Truffles Cream, Black Truffles. Minumnya Macchiato."

"Saya samakan dengan dia." Marxus memberikan kembali buku menu kepada pelayan setelah sang pelayan membacakan pesanan mereka.

"So, what's your decision?" Tanya Lauren membuka percakapan mereka.

"Yah, seperti yang kalian bayangkan kalau saja aku tidak ikut mendaftarkan diri." Ujar Lexa sambil melirik Marcus sekilas lewat ujung mata elangnya setelah mengucapkan kata sindiran yang memang benar adanya.

Semua teman-teman Marcus tidak kaget lagi dengan sifat posesifnya terhadap Lexa setelah mendiang sang kakak, Marcus merasakan kehilangan yang amat dalam sejak saat itu ia memutuskan untuk melindungi istrinya kelak dengan segenap hati. Sebelum sang kakak meninggal, Marcus bersikap acuh tak acuh terhadap sang kakak memiliki gengsi yang tinggi untuk menunjukan sikap melindungi secara langsung sehingga ia lebih memilih untuk melakukan perlindungan dari jarak jauh, namun kejadian tak terdugapun terjadi. Sebuah kecelakaan menimpa sang kakak di jalan tol sewaktu pulang dari liburan perpisahan setelah sang kakak melaksanakan wisuda Magister Menejemen yang mengakibatkan cider parah di bagian kepala, namun setelah ditindak lanjuti otaknya sudah mati sehingga tidak ada harapan apapun sampai hembusan nafas terakhirnya.

Marvin Leander

Singapore, 21 Januari 1995 - Jakarta, 25 Juli 2018

Putra dari Dirk Hosea Leander dan Fanny Ainsley Parker

Tulisan terukir indah di atas batu nisan makam Marvin -kakak Marcus- akan selalu diingat oleh Marcus seorang.

“Hey, kamu mikir apa?” tanya Lexa yang langsung teralihkan dari pikiran Marcus.

“ Hah? Tadi kamu ngomong apa?”

“Makanannya udah dateng. Ayo dimakan, keburu dingin sayang.” Tutur Lexa dengan senyuman manis yang terpatri di wajahnya. Marcus membalas senyuman Lexa tak kalah manisnya. You are always my sunrise, baby. Batin Marcus.

Mereka semua menyantap makanan masing-masing sambil diselingi canda tawa dan membahas Random topics.

Tak terasa waktu menunjukan pukul 5 sore kini, Marcus dan Lexa sedang dalam perjalanan pulang tapi tiba-tiba Marcus mengambil arah jalan pulang yang berbeda bukan ke arah rumah Marcus dan Lexa melainkan sebuah taman komplek, yang sering Marcus kunjungi dengan Marvin sewaktu mereka masih berusia sekitar 4 atau 5 tahun.

Marcus mengajak Lexa duduk di salah satu bangku yang disoroti lampu jalan, mereka duduk bersisian sambil memandang ke arah langit yang dihiasi beberapa bintang serta bulan sabit yang mulai menampakan diri.

“Ada yang ingin aku ceritakan.” Ujar Marcus sembari menautkan jari Lexa di atas paha kirinya.

“Ada apa?” tanya Lexa pelan, ia sangat tahu kalau suasana hati Marcus sedang tidak seperti biasanya. Marcus menarik nafas dalam lalu menghembuskannya secara perlahan. Entahlah, seluruh kata yang sudah ia susun rapi kini menguap entah kemana. Dadanya terasa sakit sekaligus sesak yang dirasakan ketika harus menggali kembali kenangan masa peñesalan yang sudah ia kubur sejak 2 tahun silam. Lidahnya kelu untuk mengeluarkan satu kalimat, tengoorkannya terasa kering. Bulir sebesar jagung mulai bermunculan di sekitar pelipis.

Lexa yang mengamati perubahan tingkah Marcus seakan paham dan mulai menyeka keringat Marxus. “sstt… tidak apa-apa. Kalau memang belum siap untuk cerita. Aku paham sayang.” Lexa membawa kepala Marcus untuk bersandar di bahu kanan Lexa sambil mengelus punggungnya pelan, tangannya yang di genggam erat, ia mengelus jempol Marcus dengan jempolnya.

Beberapa saat kemudian terdengarlah suara isakan yang berasalh dari mulut Marcus, Lexa semakin bingung ada apa dengan Marcus, yang setiap harinya pria itu selalu tersenyum manis dan jahil tapi sekarang, Marcus menunjukan sisi rapuhnya.

“Tenanglah,, everything is gonna be okay.” Lexa terus menenangkan Marxus yang semakin menangis pilu di bahu Lexa.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status