Bastian memijit pundaknya pertanda ia sudah lelah. menyibukkan diri di tempat kerja dan cafe membuat waktu Babas tersita sangat banyak. namun sebenarnya ia sengaja melakukan itu semua agar tak terlalu mono dan diam.
Hari ini ia juga sudah menemui Tian untuk membicarakan kontrak kerja pembukaan cabang ke perusahaan Tian yang ada di Padang.
ia meminta Tian untuk memberinya izin kalau biar saja cabang itu dia yang mengurus, setidaknya selama sebulan ia tak ada di Jakarta, namun keinginannya ditolak mentah-mentah oleh Tian. jadilah ia memilih lanjut ke Cafe.
sekarang Babas sudah menginjakkan kaki lagi di rumahnya, rumah dimana di dalamnya ada Ara, wanita yang baru ia nikahi tiga hari yang lalu.
entah kenapa ia tak bisa menerima Ara ada dalam hidupnya. ia tahu kejadian malam itu adalah sebuah insiden yang tak ia harapkan terjadi, tapi mau bagaimana lagi.
Ara juga salah menurutnya, karena wanita itu mau saja diminta datang dan saat itu hanya dirinya saja yang mabuk, jadi bisa saja Ara menolaknya, tapi wanita itu justru mau melakukan hal itu dengannya.
Bastian berhenti melangkah saat ia memasuki rumah dan mendapati Ara tengah tertidur di sofa. Bastian juga melihat ada makanan yang terhidang di meja makan.
Bastian menatap sinis istrinya itu.
istri?
tentu itu hanya sebuah status bagi Bastian. ia tak sungguh-sungguh memerankan dirinya sebagai suami bagi Ara.
apa dirinya bisa dikatakan jahat? jika ia, terserah kalian saja.
Bastian melirik Ara sebentar lalu berjalan menuju kamar. ia membersihkan tubuhnya lalu memutuskan untuk tidur.
******
Pagi ini Ara terbangun dengan tubuh yang sedikit sakit. leher dan pinggangnga terasa kram karena sofa yang ia pakai untuk tidur tak cukup panjang menampung tinggi badannya.
menggeliat sebentar, Ara langsung kaget karena jika sekarang sudah subuh, itu artinya ia tidur semalaman di sini?
"Bastian?"
Ara langsung bangkit dari tidurnya dan langsung berlari ke atas menuju kamarnya. ia membuka pintu dengan hati-hati dan cukup terhenyak melihat Bastian tidur nyenyak di bawah selimut tebal.
kenapa Bastian tak membangunkannya?, Batin Ara lirih.
Ara masuk ke dalam dan menutup pintu secara perlahan.
ia berjalan mendekati Bastian dan berjongkok, sejenak ia menatap wajah Bastian yang tenang dalam tidur.
"Jika aku tak diizinkan untuk masuk ke sini, katakan Bas, aku tak akan masuk lagi ke sini.." Ara berucap pelan.
ia berdiri lalu berjalan menuju kopernya. beruntung semua pakaiannya belum ia keluarkan dari koper.
Ara menarik kopernya secara perlahan dan menutup kembali pintu kamar dengan tenang lalu berjalan menuju kamar tamu yang ada di bawah.
Ara membersihkan tubuhnya di kamar tersebut. Setelah bersih dan mengenakan oakaian santainya, Ara langsung berjalan menuju dapur.
Ia melirik jam yang terpajang di ruang keluarga yang bisa terlihat dari dapur.
"Jam setengah tujuh.." Ia melirik bahan makanan yang ada di atas meja yang ia keluarkan tadi subuh.
Jujur ia sudah malas masak. Untuk Bastian apalagi. Karena setiap ia masak tak akan dimakan oleh pria itu.
Padahal di luar sana banyak yang belum makan, tapi pria itu seperti orang kaya yang tak mempedulikan soal makanan.
"Ya Tuhan, apa aku harus patuh sebagai istri saat suamiku seperti itu?" tanya Ara sembari menatap ke atas.
Ara menarik nafas dalam dan menghembuskannya pelan. Dadanya terasa sesak mendadak jika harus mengingat nasib percintaanya.
Ara berjalan menuju bahan masakan tersebut dan mulai mengolahnya.
Ia mengambil teflon dan baru saja ia ingin meletakkannya di atas kompor, Aktivias Ara seketika dihentikan oleh suara bel rumahnya yang berbunyi.
Ara melirik jam di dinding, masih pukul tujuh kurang, siapa yang datang pagi-pagi begini.. Pikirnya.
Ara berjalan menuju pintu dan membukanya.
Sama dengan ekspresinya, ekspresi gadis muda di depan Ara juga sama yaitu bingung.
"Cari siapa?" tanya Ara sopan.
"Apa benar ini rumahnya Babas? Atau saya salah rumah ya? Tapi bener kok ini..atau Babas salah kasih alamat?" gadis muda itu bermonolog sendiri.
"Iya ini rumahnya Babas..." jawab Ara singkat.
Gadis tersebut menatap Ara dengan tatapan bingung, "Lalu kamu siapa?" tanya gadis tersebut.
"Saya istrinya Babas.." jawab Ara tegas, namum dalam hitungan detik, gadis yang di depan Ara langsung tertawa keras. Seolah mengejak ucapan Ara barusan.
"Anda siapa? Istrinya Bastian? Oh heloooo..udah pagi mbak, jangan lupa bangun.."
Mendengar ucapan gadis di depannya, Ara mendadak emosi. Namun segera ia tahan. Berkelahi di pagi hari itu bukan dirinya.
"Panggilkan Babas..!!" perintah gadis tersebut.
"Cih! Kalau boleh saya tahu, anda siapa?" tanya Ara dengan nada yang tidak sopan.
"Gue? Mama gue Naima, pacarnya Bastian. Lo panggilin Bastian sana.." jawab gadis bernama Naima itu.
Ara semakin dibuat panas. Sudah cara bicaranya tak baik, gadis ini juga mengaku pacarnya Bastian.
"Panggilin Bastian deh. Lelet banget sih lo.."
Jika bukan karena aturan main karate, sudah dipastikan ia akan memecahkan mulut gadis ini.
Ara menghembuskan nafasnya kasar, ia berbalik masuk ke dalam dan naik ke lantai atas menuju kamarnya dan Babas.
Ara membuka pintu tanpa mengetuk, dan sedetik kemudian, Ara terpekik keras.
Dengan jelas di depan matanya ia melihat Bastian tengah memakai pakaian.
Dan saat ia masuk tadi, Bastian baru saja selesai mengenakan celana dalamnya.
Ya Tuhan. Apa itu.. Ara melirik bagian bawah Bastian. Seketika kejadian dimana keperawanannya di ambil membuat Ara merinding ngeri.
Apa benda sebesar itu yang merusak keperawanannya dulu? Oh Tuhan, pantas saja sakitnya sampai empat hari.
"Ada apa? Kau bisa mengetuk dulu pintunya.." ucap Bastian dingin.
"Oh i..itu.. Di bawah ada gadis bernama Naima.."
Bastian yang tengah mengenakan bajunya langsung terhenti.
"Siapa?" ulang Babas.
"Naima. Namanya Naima, dia..."
Tanpa mendengarkan ucapan Ara lebih lengkap, Bastiam langsung berlari ke bawah. Ara yang penasaran langsung ikut berlari namun langkahnya segera terhenti saat netranya melihat Bastian memeluk gadis itu erat.
Ara merasakan hatinya dicubit. Dengan hati yang tak terima, Ara langsung turun ke bawah dan dengan cepat menarik Bastian untuk melepaskan pelukan menjijikkan itu.
"Kalian apa-apaan!" teriak Ara kesal.
Naima melirik Ara tak suka, sedangkan Bastian menatap Ara tajam.
"Apa-apaan lo!" ucap Bastian sinis.
"Kamu yang apa-apaan. Kenapa peluk-peluk perempuan lain.."
"Itu hak gue..." Ara terrtegun dengan kata Gue yang bastian pakai padanya.
"Bas, aku istri kamu lho.."
"Nggak peduli gue asal lo tahu.." jawan Bastian santai.
"Kita ke kamar yuk sayang.."
Bastian menarik jemari Naima dan membawa gadis itu menaiki tangga dan masuk ke kamar.
Ara tak habis pikir dengan yang Bastian lakukan. Apa? Kamar? Ia mengajak gadis itu ke kamar mereka? Yang benar saja..
"Bastian!" Ara menatap Bastian lirih. Apa benar Ara tak ada lagi hak di sana.
Tapi ia yang lebih hak atas diri Bastian karena dirinya lah istri sah.
Ara mengikuti kedua anak adam tersebut.
Ia membuka paksa pintu kamar dan menemukan Naima tengah duduk di atas ranjang. Sepertinya Bastian sedang di kamar mandi, Batin Ara.
Dengan emosi yang memuncak, Ara berjalan mendekati Naima dan langsung menarik rambut gadis tersebut kuat membuat Naima terpekik.
Pekikan Naima ternyata terdengar oleh Babas membuat Babas yang tengah berada di kamar mandi langsung keluar.
"ARA!!" bentak Babas keras namun tak di dengarkan oleh Ara.
Sungguh miris pernikahannya, belum genap seminggu namun sudah seperti ini.
"Bastian tolong. Kepala aku sakit..!!" Naima memekik meminta bantuan namun Ara tak kunjung melepaskan sampai satu tarikan dari Babas mampu membuat Ara oleng dan nyaris jatuh.
"Kau tak apa?" tanya Babas khawatir pada Naima.
Ara melihat dengan jelas bagaimana Bastian memanjakan gadis itu. Semua nampak jelas di mata Ara.
"Kau!" tunjuk Babas pada istrinya itu. "Jangan pernah sentuhkan tangan kotormu itu padanya lagi.." ucap Bastian sinis.
Ara berdecih, "Kotor? Kau mengatakan aku kotor? Lalu apa dirimu?" ucap Ara tajam.
Bastian melirik tepat di mata Ara, ia mendekat sampai jarak mereka hanya tinggal sejengkal. "Jangan kau pikir kau bisa bebas di sini."
"Dan aku menyesal menangis saat tahu kau merebut perawanku. Harusnya kau ku hajar sampai mati saat itu.." Balas Ara dengan sangat tajam. Tak peduli lagi dengan statusnya sebagai istri.
100 hari untuk cinta?
Bulshit!
Ara melirik ke arah Naima, ia menyingkir dari tubuh Bastian dan berjalan mendekati Naima.
"Dan kau pelacur kecil,"
"Jaga bicaramu!" sinis Naima.
"Hoh? Kau bilang jaga bicaraku? Aku berhak mengataimu pelacur, karena tak akan ada perempuan baik-baik masuk ke dalam kamar pria beristri.."
"Ara!!"
"Aku belum selesai bicara Bas. Dan biarkan aku memberikan sedikit kata mutiara untuk si pelacur kecil ini.."
PLAAKKK!
*****
Jangan lupa kasih ratting lima nya ya..^^
Aku melirik cermin di kamar tamu yang kini aku tempati. "Sialan, jejak tangannya benar-benar membuatku kesal.." gumamku sambil menyentuh pipiku yang memerah akibat tamparan dari Naima.Walaupun Ara membalasnya kembali, namun sikap Babas yang lebih membela Naima membuat Ara kesal. Ia tak habis pikir, siapa sebenarnya yang berhak atas Babas.BAAAMM..Suara keras bantingan pintu membuat Ara terkejut.Ara segera melirik ke arah pintu, di sana ia menemukan Bastian dengan wajah murka dan sekarang Babas tengah mendekatinya."Minta maaf pada Naima!" perintah Babas dingin.Cih! Tak akan sudi, batin Ara membalas."Kau dengan aku? Minta maaf pada Naima!""Harusnya dia yang melakukan itu.." balas Ara dingin."Apa?""Harusnya dia yang minta maaf padaku karena secara hukum dan agama aku, adalah istrimu.." lanjut Ara sambil menatap mata Nanas lirih."Cih! Istri? Kau pikir aku menganggapmu istri?"Ara
Seperti yang diperintahkan Tian, Selama Tian belum kembali, Ara diminta untuk tetap berada di rumahnya bersama Riani. Sebenarnya tujuan Tian membiarkan Ara di sana juga ada, yaitu menjaga Riani sampai ia kembali."Hei...udah mendingan?" Riani memukul pelan pundak Ara yang saat itu tengah bermenung di kursi lipat yang ada di pinggiran kolam berenang Rumah Riani.Ara tersenyum, ia meraih minuman dingin yang Riani sodorkan padanya."Aku tak apa Ri.." jawab Ara singkat dan masih sama yaitu tersenyum."Kamu nggak bisa bohong dari aku. Kamu bisa jujur. Sebenarnya kamu suka sama Bastian kan?" tebak Riani namun masih dalam memancing Ara dengan sebuah pertanyaan.Ara menundukkan wajahnya lesu lalu menggeleng. Ia tak menjawab 'iya' ataupun 'tidak'. Hanya saja hembusan nafas Ara meyakinkan Riani jika Ara sudah menyukai Bastian bahkan sebelum mereka menikah.Mungkin karena intensitas pertemuan keduanya yang sering. Apalagi Bastian yang mem
Tian baru saja sampai di rumah Babas. Saat masuk gerbang, pria itu melihat mobil Damian dan mobil yang tak ia kenal terparkir di sana.Tian berjalan menuju pintu masuk lalu menekan bel. Tak lama kemudian, pintu terbuka dan memunculkan sosok gadis yang ia kenal. Gadis yang sebenarnya tak diharapkan muncul di kehidupan Babas lagi, namun harapannya tak dikabulkan.Naima.Gadis yang tak ingin ia temui itu kini ada di hadapannya."Tian?? Ya Ampuuunn, aku kangen banget.." Naima berhamburan masuk ke dalam pelukan Tian. Namun sebisa mungkin Tian berusaha melepaskannya.Dari belakang Naima, Tian bisa melihat Babas. Ia menatap Bastian tajam.Dengan sedikit kasar, Tian menghentakkan lengan Naima membuat Naima terkejut."Tian.. Kok kasar banget.." rajuk Naima."Sorry, gue punya istri.." ucap Tian sambil menatap Babas.Babas yang mendengar pernyataan Tian itu sadar sangat sadar jika dirinya tengah disindir Tian.
Sudah setengah jam Ara berdiri di luar rumahnya dan masih belum ada keinginan untuk masuk ke dalam.Bahkan supir Tian yang mengantarnya tadi sudah kembali.Ia masih ragu untuk masuk ke dalam. Walaupun jam sudah menunjukkan pukul sepuluh malam dan di luar juga terasa begitu dingin.Ara menarik nafas dalam. Ia menatap langit yang tak berbintang. Sepertinya malam ini hujan akan turun.Tak mungkin berlama di luar,Ara pun mulai melangkah masuk. Dengan hati-hati ia membuka pintu rumah. Beruntung pintunya tak di kunci.Ia mengendap masuk dan menutup pintu kembali tanpa mengeluarkan suara sedikit pun.Ia segera menuju ke kamar tamu, namun langkah Ara terhenti saat melihat televisi masih menyala.Ara heran kenapa layar besar tersebut masih hidup padahal sudah malam begini. Jika Babas? Ia tak yakin Bastian betah di luar jika dirinya ada.Dengan penasaran, Ara mendekat ke arah sofa dan betapa terkejutnya ia saat mendapati Ba
Sinar mentari masuk melalui celah gorden kamar Ara yang tak tertutup rapat. Ia menggeliat meregangkan tubuhnya untuk sedikit mencari kesegaran.Cuaca sudah tak sedingin semalam, bahkan pagi ini mentari pagi terasa hangat mengganti udara di kamarnya.Ara menyibakkan selimut tebal yang hanya menutupi tubuhnya setengah saja.Ia meraba pinggiran bantalnya guna mencari ponsel yang semalam ia letakkan di sana.Setelah mendapatkannya, Ara segera mengaktifkan layar dan melihat jam di sana."Haaahh..masih jam tujuh.." gumamnya.Namun ia harus segera bangun. Karena perutnya juga tengah keroncongan. Dengan sedikit malas, Ara turun dari ranjang dan berjalan menuju kamar mandi.Ia ingin mandi air dingin pagi ini biar rasa segar semakin menyejukkan perasaannya.Setelah mandi, Ara langsung berjalan menuju lemari pakaian dan meraih gaun tidur yang ia beli kemaren. Sebenarnya gaun itu bisa di pakai di rumah dan tak harus untuk tid
Ara baru saja selesai latihan untuk hari ini. Hari ke sembilan dari seratus hari yang ia tetapkan sebelum ia bertanding.Ara duduk di sudut dinding untuk beristriahat sejenak. Ia sungguh kelelahan karena nyaris tiga jam nonstop ia latihan. Bahkan pelatihnya pun dibuat geleng-geleng kepala."Hai Ra.." sapa seseorang padanya.Ara yang tengah minum langsung menghentikan kegiatannya dan melihat siapa yang menyapa.Lelaki itu ternyata Raka, rekan satu tim nya dan juga satu warna sabuk."Oh Ka? Sejak kapan di sini?" Tanya Ara sedikit basa basi."Barusan.." jawabnya. Raka melihat Ara yang nampak kelelahan.Sebenarnya Raka penasaran apa asalan Ara mengambil perlombaan ini. Bukannya Ara baru saja menikah dan juga perlombaan ini sangat berbahaya. Apa tak ada larangan dari suaminya?"Ra...gue boleh tanya nggak? Tapi agak pribadi.." Ucap Raka yang sudah duduk di sebelah Ara.Ara melirik Raka sejenak lalu mengangg
"Kau ingin aku membuatmu medesah?"Aagghh...Bastian mencubit ujung dada Ara membuat istrinya itu memekik."Babas?" teriak Ara berang."Kenapa? Bukannya tak ada halangan lagi untuk kita bercinta?"Deg!Ara tediam. Ia tak bisa bereaksi apapun. Apa maksud ucapan Bastian barusan? Apa suaminya ini sudah menerimanya?"Ba..Babas?" Ara mendadak gugup. Jantungnya serasa tengah berdebuh kencang.Ara melirik tepat di pupil mata Babas. Namun ia hanya melihat tatapan kosong di sana. Kosong dan hanya diisi oleh gairah semata."Ba..Babas aku..""Kau ingin ini kan? Kita lakukan.." Bastian langsung melumat bibir Ara, ia tak membiarkan Ara menjawab ucapannya sedikitpun.Jemari Bastian dengan aktif bergerak mengurai rambut Ara yang hitam panjang, menyisirkan jemarinya di sana dan menahan kepala Ara untuk tak dielakkan oleh wanita itu.Ciuman itu semakin lama semakin panas. Ara bahkan sampai kewalahan dan
Ciuman itu masih saja panas. Dan tak ada yang tahu sudah berapa lama ciuman itu terjadi. Jika bisa Ara menebak, ini sudah lebih dari lima menit. Kenapa mereka ciuman selama ini, dan seperti ia melihat Babas candu dengan bibirnya.Ara yang mulai kesal, seketika langsung memukul Babas kuat membuat Babas mengaduh."Apa-apaan kamu..?" tanya Babas kesal."Lima menit berlalu dan kita hanya ciuman?" geram Ara.Ara langsung mendorong Babas menjauh dan langsung berjalan keluar dari kamar. Saat langkah Ara baru mencapai setengah anak tangga, ia ditarik oleh Babas yang membuatnya langsung terduduk di pijakan anak tangga tersebut."Kalau kau ke sini hanya untuk menciumku, maaf ini sudah perih.." ucap Ara kesal. Ia menepis dan sedikit mendoro Babas untuk menjauh.Sampai di bawah Babas lagi-lagi menahan gerak Ara. Namun tidak di dudukkan di lantai lagi, ia membawa Ara menuju pantri dapur dan mendudukkan Ara di sana.Babas mengangkat k