Share

6. Alone

Semua yang Violeta rencanakan berjalan mulus, seperti yang ia inginkan. Tetapi, ada yang tidak di sangka dan di duga. Takdir mengambil kakeknya begitu cepat. Di dalam perjalanan kembali dari kantor notaris, Violeta mendapat kabar dari pihak rumah sakit jika kakeknya mengembuskan napas terakhir, Violeta nyaris tidak mampu berdiri, ia mencengkeram jaket yang Leonel kenakan sambil menangis sejadi-jadinya di dada Leonel, pria yang belum genap satu hari menjadi suaminya. Ia kini benar-benar menjadi sebatang kara di Paris. Ia masih memiliki beberapa keluarga di Swiss, negara asal ibunya tetapi Violeta tidak menginginkan tinggal di sana. Tempat itu asing baginya.

Rencana tinggal di Paris yang semula hanya untuk waktu satu hari, mendadak berubah. Leonel mendampingi Violeta menerima ucapan belasungkawa dari orang-orang yang datang untuk melayat, juga turut andil mengurus pemakaman Mark bersama Samuel, paman Violeta yang datang dari Swiss bersama istrinya. Kemudian atas dasar kemanusiaan, Leonel terus mendampingi Violeta yang masih dalam suasana berkabung. Setiap hari gadis itu pergi ke pemakaman, menaburkan bunga untuk ke empat orang keluarganya yang telah meninggalkannya.

Minggu pagi itu luar biasa dingin, Paris di selimuti hawa dingin yang menusuk ke tulang. Mungkin beberapa hari lagi salju akan segera turun menyelimuti kota itu. Leonel duduk berjongkok di samping Violeta, ia beberapa kali diam-diam meniup kedua telapak tangannya sendiri yang nyaris kaku karena hawa dingin sambil melirik Violeta yang masih diam tidak bergeming menatap makam kakeknya yang masih basah. Gadis itu sesekali menjilati bibirnya yang tampak sedikit pucat, mungkin untuk menghangatkannya. Masih seperti kemarin, Violeta masih mencucurkan air matanya dan Leonel tidak tahu harus bagaimana menghentikan air mata gadis itu,. Meski ia memiliki seorang adik perempuan. Tetapi, ia tidak pernah melihat Alexa menangis karena sedih. Adiknya hanya menangis karena menginginkan sesuatu seperti menginginkan sihir yang harus terjadi dalam sekejap. Sedangkan Violeta, ia menangis karena ia menjadi sebatang kara.

Leonel mengamati langit yang tampak tidak secerah hari-hari yang telah ia lalui selama di Paris. “Sepertinya akan turun hujan, bagaimana jika kita kembali?”

Violeta menyeka air matanya menggunakan punggung telapak tangannya, tanpa menoleh ke arah Leonel ia berucap, “Semua yang kusayangi, mengapa semua meninggalkan aku pergi secepat ini?” isaknya sambil sebelah tangannya mengusap papan salib bertuliskan Mark Hubert.

Leonel beringsut mendekati Violeta, lengannya merengkuh pundak istrinya, telapak tangannya mengusap pundak Violeta pelan dan begitu lembut untuk memberikan rasa tenang. Ia tidak tahu harus berkata apa. Yang jelas ia hanya bisa memberikan itu untuk menenangkan Violeta, ia tidak mungkin mengatakan kepada Violeta bahwa ia tidak akan meninggalkan Violeta sendirian karena pada faktanya mereka tidak terikat apa-apa selain pernikahan di atas kertas yang nyatanya hanya pernikahan palsu.

Leonel kembali mengusap pundak Violeta. “Kelak kau pasti akan menemukan orang yang tidak akan meninggalkanmu.” Suaranya terdengar berat bahkan nyaris tersekat di tenggorokannya.

Violeta mengangguk lemah, ia mencengkeram papan hingga buku-buku jarinya memutih. “Granddad, aku akan mengunjungimu lagi besok,” gumamnya itu disela isaknya.

Dengan gerakan enggan Violeta bangkit dari duduknya di bantu oleh Leonel yang mengulurkan tangannya. “Terima kasih.” Ia meraih uluran tangan Leonel.

Leonel tersenyum samar, sebelah tangannya memperbaiki bagian leher mantel yang di kenakan oleh Violeta karena kerahnya yang sedikit beringsut turun agar Violeta tidak kedinginan.

“Bagaimana jika kita pergi minum kopi?” tanya Leonel. “Maksudku... kau terlalu lama mengurung diri di dalam kamar, sebelum kita kembali bagaimana jika kita....” Suara Leonel terdengar ragu-ragu tetapi ia tidak bermaksud apa-apa selain membuat Violeta keluar dari rasa dukanya yang mendalam karena gadis hanya mengurung diri di dalam kamar sepanjang hari sejak kepergian Mark Hubert.

Violeta menghela napasnya, ia sekilas menatap Leonel. “Kau pasti bosan, ya? Aku membuatmu terperangkap di sini.”

Demi Tuhan, ini sudah Leonel duga. Violeta pasti akan mengira jika ia bosan berada di dalam rumah sepanjang hari. Sama sekali tidak seperti itu karena faktanya ia adalah manusia yang paling menyukai tempat yang bernama kamar. Tempatnya bersantai dan bermalas-malasan bermain game.

Pria itu menggaruk tengkuknya yang tidak gatal. “Tidak juga, aku hanya bosan dengan kopi buatan pelayan di rumahmu,” ujarnya berbohong.

Violeta berniat menarik telapak tangannya yang masih di genggam oleh Leonel tetapi merasakan hangatnya kulit pria itu, Violeta mengurungkannya. “Baiklah, ayo kita pergi ke kedai kopi,” katanya.

Leonel melangkah diikuti oleh Violeta menyusuri jalanan kecil di pemakaman. Mereka masih saling menggenggam erat meski sepanjang perjalanan tidak satu pun di antara mereka yang bersuara untuk memecahkan keheningan yang membentang di antara mereka, keduanya baru saja melepaskan genggaman tangan mereka saat hendak memasuki mobil.

“Apa kau masih kedinginan?” tanya Leonel saat mereka berdua telah duduk di kursi penumpang mobil sedan keluaran terbaru yang berharga jutaan Dolar.

“Aku akan baik-baik saja setelah pemanas jok di aktifkan,” jawab Violeta. Wajahnya tampak lebih merona, bibirnya juga terlihat tidak terlalu pucat lagi.

“Baguslah,” gumam Leonel.

“Terima kasih,” ujar Violeta sambil merapikan rambut panjangnya yang di tata lurus. “Omong-omong, bagaimana perusahaanmu? Kau meninggalkannya terlalu lama.”

Leonel tersenyum tipis. “Tidak masalah, Mario mengurus semua.”

“Maksudku, kau telah banyak membantuku beberapa hari ini. Kau tidak perlu iba atau bersimpatik lagi karena sekarang aku benar-benar sendiri,” ucap Violeta dengan nada getir. Ia tidak ingin berhutang apa pun kepada Leonel, apa lagi terlalu dekat dengan pria itu karena urusan mereka sebenarnya telah selesai. Violeta telah mendapatkan apa yang menjadi tujuannya sekarang.

Violeta diam-diam menghela napasnya dalam-dalam lalu mengembuskannya perlahan, rasanya dadanya begitu sesak setiap ia mengingat pahitnya kehidupan, menjadi sebatang kara di usia yang masih terlalu muda. Tuhan memberikan begitu banyak harta untuknya tetapi ia tidak tahu harus bersama siapa menikmati harta miliknya itu.

Dulu, setiap hari setelah bekerja ia selalu kembali ke rumah sakit untuk berbicara dengan kakeknya hingga malam merayap ia baru kembali ke tempat tinggalnya. Bahkan tidak jarang jika ia memutuskan untuk menginap di rumah sakit karena di rumahnya selain pelayan tidak satu pun orang yang bisa ia ajak berbincang. Sekarang, entah sampai kapan, ia hanya akan berbicara dengan pelayan dan pegawai di perusahaan.

“Aku akan kembali setelah ulang tahunmu, aku harus memastikan semua berjalan seperti keinginanmu,” ujar Leonel tegas, tetapi lembut.

Ia menatap Violeta dengan perasaan berkecamuk, bukan masalah bonus yang membuatnya resah karena belum ia dapatkan. Tetapi, Violeta adalah gadis yang tampak rapuh, masih terlalu muda dan jelas begitu polos. Bagaimana mungkin ia akan menjalankan perusahaan Hubert sendirian sementara mungkin di luar sana akan banyak orang yang akan memanfaatkan situasi ini, begitu pemberitahuan resmi nanti di umumkan bahwa penerus perusahaan Hubert adalah seorang gadis muda, Leonel yakin jika situasi tidak akan semudah yang Violeta bayangkan.

Ia telah memegang Glamour Entertainment bertahun-tahun saja masih bisa kecolongan, apalagi Violeta? Leonel tiba-tiba merasa terdorong untuk bertahan di Paris sebentar lagi untuk memastikan jika semuanya berjalan seperti yang Violeta inginkan. Ia tidak ingin siapa pun memanfaatkan Violeta apa lagi sampai menyakitinya, gadis yang menjadi istrinya itu bisa saja berakhir buruk jika tidak ada seorang pun yang menemaninya hingga ia benar-benar bisa merelakan kepergian kakeknya dan mampu memegang kendali penuh atas perusahaan yang akan menjadi tanggung jawabnya. Dan untuk masalah keuangan Glamour Entertainment, ia bisa meminta bantuan William kakaknya, Sidney juga bisa menggantikannya duduk di kursi pimpinan Glamour Entertainment selama ia berada di Paris. Memiliki banyak saudara memang menyenangkan.

Ia melirik Violeta yang tampak menatap jalanan melalaui kaca jendela mobil, gadis itu begitu murung. Leonel diam-diam menggeram. Frustrasi.

Untuk apa aku begitu peduli pada Violeta?

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status