Share

09

Happy Reading and Enjoy~



Mengangkat alisnya sebelah, Allard bertanya heran. "Apa yang kau setujui?"



"Menjadi bonekamu," jawab Luna mantap.



Allard mengerjap. Apa gadis ini tau yang di maksud dengan kata 'boneka' di sini? Itu bukan tentang menjadi diam dan penurut saja.



"Oke baiklah, kau yang sudah memilih. Sekarang ikut aku."



Allard berjalan ke satu pintu yang berada di pojok ruangan. Ternyata itu adalah kamar yang bernuansa hitam. Gelap dan dingin. Jantung Luna berdetak dua kali lebih cepat. Ia menatap Allard dengan pandangan bertanya-tanya.



"Kau ingin menjadi bonekaku, bukan?"



Tanpa ragu Luna mengangguk, yang terpenting adalah menikah dengan Allard.



Allard berjalan mendekatinya, menjambak rambutnya kasar lalu mendorongnya ke atas ranjang. "Ini caraku memperlakukan bonekaku. Jangan mundur, kau sendiri yang memilih."



Kali ini Luna melihat wajah Allard semakin dingin. Pria itu berbeda, tidak tersenyum dan tertawa seperti tadi. Pri-pria ini adalah orang yang berbeda. Ada kesempatan, pintu kamarnya masih terbuka.



Luna berlari ke arah pintu dan langkahnya oleng. Allard menjegal kakinya, Luna terjatuh di atas karpet merah yang berada di kamar itu.



"Mau kemana, boneka mungil? Bukankah kau sendiri yang ingin seperti ini, menjadi istriku harus mengorbankan diri."



Allard menyeret kakinya menuju ranjang, lalu membangunkan gadis itu sebelum mendorongnya kasar. Luna memeluk tubuhnya sendiri, matanya menatap ke arah pintu.



"Ak-aku tidak mau menjadi istrimu. Aku ingin pulang! Bi-biarkan aku pergi."



"Sudah terlambat, sayang." Allard berjalan ke arah pintu, menguncinya lalu menyimpan kuncinya di saku celana.



Luna kalap, ia melihat sekeliling dan tidak menemukan apapun yang bisa digunakannya untuk bersembunyi. Saat melihat Allard berjalan mendekat ke arahnya, Luna menjauh. Ia berlari tapi tidak ada jalan dan berakhir di pojok kamar. Air matanya sudah mengalir deras.



Allard sendiri tampak santai, melepas jasnya lalu mencampakkannya ke lantai. Kancing atas kemejanya sudah terbuka. "Kenapa ketakutan seperti itu, kelinci kecil?"



"Ku-kumohon. Aku harus pergi, mom-mommy sudah menunggu di rumah."



"Kau sudah memilih." Allard menarik tubuhnya mendekat. Tidak seperti tadi yang masih di lakukannya dengan lembut. Allard mencium Luna dengan kasar, bahkan tangannya menjambak rambut Luna agar mendongak ke arahnya.



Luna memberontak, ia memukul-mukul tubuh Allard yang tentunya tidak berpengaruh apapun bagi pria itu.



Melepaskan ciumannya juga dengan kasar, Luna merasa bibirnya membengkak. Tangan Allard melayang menampar wajah Luna yang mulus. "Diam dan jangan berontak!" bentaknya kuat.



Luna terhempas ke lantai, rasa anyir memenuhi mulutnya. Ujung bibirnya berdarah, tubuhnya bergetar ketakutan. Ia beringsut mundur sementara kedua matanya mengabur.



Mommy, Luna ketakutan saat ini. Tolong mommy, tolong!



Allard membungkuk. "Kau mungkin tidak kenal siapa diriku yang sebenarnya. Sebelum meminta orang lain untuk menikahimu, sebaiknya kau selidiki terlebih dahulu calonmu."



Ia mencekik Luna dengan kuat. "Katakan siapa yang mengirimmu? Atau ku patahkan leher ini."



"Ti-tidak ada, daddy ingin menikahkanku dengan ... akh ...."



Allard semakin menekan lehernya. Luna merasa inilah akhir hidupnya. Daddy, mommy, ia akan mati saat ini juga. Maafkan kesalahannya yang mati dengan sia-sia tanpa menghasilkan uang. Semoga daddy dan juga mommy berhasil menemukan anak lain yang bisa menggantikannya.



Luna menutup matanya, pandangannya semakin menggelap. Tubuhnya luar biasa lemas. Di saat itulah cekikan pada lehernya terlepas.



***



Ketika membuka kedua matanya, pemandangan yang terlihat pertama kali adalah, gelap. Apa sekarang ia berada di akhirat? Tadi Allard menyekiknya hingga mati.


Mengingat nama Allard membuatnya ketakutan. Membunuh karyawan di tangga darurat saja merupakan hal yang biasa bagi pria itu, maka tidak heran gadis lemah seperti Luna berakhir di tangannya. Luna merasa sekujur tubuhnya menggigil, apa di akhirat sedingin ini?



"Kau sudah sadar?"



Suara bariton yang menyapa telinganya membuat Luna terlonjak, ia beringsut mundur meski tidak tau dari mana suara itu berasal. Suara itu milik Allard, berarti ia belum mati. Matanya memperhatikan sekitar, nuansa gelap ini menghalangi pandangannya. Luna takut.



Ranjangnya bergerak, ada yang naik. Luna semakin mundur hingga punggungnya menyentuh kepala ranjang, menarik selimut hingga menutupi kepalanya. Tubuhnya bergetar.



Satu tangan kokoh menarik selimutnya dengan kasar, membuat Luna menjerit histeris. Ia beringsut mundur dengan tergesa-gesa. Menatap takut ke arah Allard yang berwajah dingin.



"Aku bukan mata-mata!" teriaknya kuat, bahkan sekarang dirinya sudah terisak.



"Semua penjahat akan mengatakan hal yang sama. Apalagi jika berada di posisimu, tersudut."



Allard memegang kedua bahunya kasar, mendekatkan wajah Luna pada wajahnya. Luna tidak bisa melihat Allard dengan jelas, kegelapan ini menyiksanya.



Ada yang merambat, tangan Allard semakin menurun hingga mencapai titik sensitif Luna. Menekan di sana, lalu memutuskan untuk memeriksa dengan satu jari telunjuknya.



Luna menjerit ketakutan, tangannya memukul-mukul tuhuh yang berada di hadapannya.



"Sst, diamlah. Kau akan menyakiti dirimu sendiri jika nekat memberontak."



"A-aku tidak mau! Mommy! Daddy!"



"Tidak ada yang mendengarmu, kau tidak  bisa keluar dari sini selamanya. Tapi aku akan mempertimbangkan untuk mengeluarkanmu jika kau menurut."



Luna merasa oksigennya menipis, ia terengah-engah untuk menghirup udara. "Kau pembohong! Kau bilang akan menikahiku jika aku berhasil menciummu, kau juga bilang akan menikahiku jika aku menjadi bonekamu!"



Allard tertawa sinis. "Beginilah caraku memperlakukan bonekaku, gadis kecil. Boneka ada untuk di mainkan."



Benda tajam menggiris pipinya, Luna menjerit kesakitan. Bau darah langsung tercium, ia merasa ada yang mengalir dari pipinya. Allard mendekat, menjulurkan lidahnya untuk menghisap darah yang mengalir di pipi Luna.



"Bahkan darahmu juga manis. Aku tidak bisa membayangkan bagaimana rasanya jantung ini." Tangan Allard terarah pada dadanya.



P-psikopat. Lelaki ini ... pembunuh. Psikopat gila. Tubuh Luna semakin bergetar. Allard kembali menjilati darah yang mengalir dari pipinya.



"Bo-boneka ada untuk di sayang. A-ku menjadi bo-bonekamu, maka sayangi aku."



Allard terbahak, tawanya kejam. Jika saja ruangan ini terang, mungkin Luna bisa melihat bagaimana netra abu itu berkilat.



"Ini caraku menyayangi benda yang ku suka, jadi ...."



Dagunya di cengkram, satu ciuman mendarat dengan kasar. "Terima saja nasibmu."



"Nikahi aku!" Luna menjarit sembari terisak ketika ciuman itu terlepas.



"Nikahi aku, aku bersedia menjadi bonekamu. Seumur hidup, cukup bantu saja keluargaku. Ji-jika aku mata-mata seperti yang kau katakan, maka kau boleh ... boleh membunuh ku saat itu juga."



Senyum miring terukir di bibir Allard. "Menarik," gumamnya.



"Tapi ku pikir kematian tidak cukup, jadi jangan berharap mati dengan mudah. Kau akan tau akibatnya apabila menipuku. Oke, baiklah, lehermu masih berwarna merah dan kemungkinan akan membiru. Sampai warna itu hilang kau tinggal denganku untuk beberapa hari. Aku akan mengirimkan uang pada keluargamu dan mengatakan kau baik-baik saja."



Bersambung...


Komen (1)
goodnovel comment avatar
Nur Afifah
allard sakit jiwa, ngilu aq bacanya
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status