Share

Part 3 : Start

Singapore, 08:19 PM

Darren terbangun dalam keadaan shirtless di apertemennya, bukan karena dia tidur dengan wanita, Darren tidak pernah membawa wanita manapun ke ranjangnya, termasuk Caroline, kekasih sekaligus calon istrinya.

Dulu memang Darren sering tidur dengan wanita yang dia temui di bar, itupun karena dia terbawa pergaulan dengan anak-anak rekan bisnis ayahnya. Pergaulan yang cukup liar, ke bar sudah jadi aktivitasnya sehari-hari, minum alkohol walau tidak sampai mabuk tapi cukup membuat Darren lepas kendali, one night stand, dia sering melakukan itu. Tetapi semua sudah dia tinggalkan semenjak menjalin hubungan dengan Caroline.

Jika boleh jujur, Caroline sangat pandai dalam urusan ranjang. Dan Darren cukup puas akan hal itu, makanya dia tidak mencari kepuasan di luar sana. Sebelum berhubungan dengan Darren, Caroline sudah pernah menjalin hubungan dengan seorang dokter di rumah sakit dimana dia bekerja selama empat tahun. Lebih lama daripada usia hubungan mereka. Mungkin karena pengalaman itulah Caroline sangat pandai dalam memuaskan pria. Caroline bercerita pada Darren apapun yang terjadi padanya sebelum menjalin hubungan dengan Darren.

Darren tidak peduli apapun masa lalu Caroline, yang Darren tau, Caroline adalah wanita baik-baik dari keluarga baik-baik, yang terpenting dialah wanita yang menjaga Daffa dan menangani Daffa ketika Daffa sakit hingga sekarang Daffa sudah sembuh total. Walaupun dulu Darren sempat sangsi bahwa wanita itu mampu menangani Daffa, tetapi Caroline lah yang paling berjasa dalam pengobatan saudara kembarnya itu dan Caroline mampu membuat Darren merasa nyaman berada disisinya.

Darren melihat jam weker di atas meja samping ranjang.

"Shit." umpatnya sambil mengacak-acak rambut yang sudah berantakan itu, membuat wajahnya yang ditumbuhi bulu-bulu halus di sekitar rahang itu semakin tampan. Hari ini dia sudah berjanji akan mengantar Caroline ke rumah sakit tempatnya bekerja, tapi karena jetlag setelah pulang dari Paris, Darren bangun kesiangan.

Dia mengambil ponselnya dan kembali merebahkan tubuh kekarnya di ranjang king size miliknya, sambil menekan nomor Caroline.

"Selamat pagi sayang." Sapa seseorang lembut di seberang telpon.

"Maafkan aku, pagi ini.."

"Tidak apa-apa sayang, kau pasti lelah, beristirahatlah, aku sudah membuatkan sarapan untukmu, kau tinggal memanaskannya saja."

Darren tersenyum menanggapi tunangannya yang sangat perhatian itu.

"Kau pulang jam berapa?"

"Sore."

"Telpon aku, aku akan menjemputnya."

"Baiklah, aku sibuk sekarang, bangun dan mandilah."

"Baik nyonya Darren."

Terdengar suara Caroline tertawa, Darren kemudian menutup telpon, kembali memeluk bantal dan membalikkan badannya. Dia masih malas keluar dari kamar tidur luasnya itu.

Apartemen Darren sangat luas, dia tinggal sendiri disana, sesekali Caroline datang untuk menginap, tentunya bukan dikamar utama, karena hanya Darren yang boleh menempati kamar itu. Caroline sudah memiliki akses tersendiri untuk masuk apartemen Darren. Selama seminggu tiga kali, ada seorang pembantu datang ke apartemen Darren untuk berberes-beres, Darren hanya menyuruhnya datang tiga kali saja dalam seminggu karena Darren tidak suka privasinya diganggu, lagipula dia jarang sekali tinggal di apertemennya. Dia lebih banyak menghabiskan waktu untuk bekerja di kantor, dan setiap malam pulang, itupun jarang karena biasanya dia akan tidur di kantor.

Apartemen hanya tempat untuk melepas lelah baginya. Terkadang tempat untuk bersantai, menonton film seharian dengan Caroline ketika mereka sama-sama libur.

Ibu dan ayah Darren, Ema dan Brata memilih menetap kembali di Indonesia, Brata mengurus perusahaan mereka yang di Indonesia, sedangkan Darren mengurus perusahaan yang ada di Singapura karena sedang maju pesat. Daffa yang sudah menikah pun memilih tinggal di Indonesia, karena dia harus mengurus perusahaan milik istrinya.

Terkadang Daffa akan datang ke Singapura untuk membantunya. Daffa dan Rendy bekerja sama untuk membangun gedung baru perusahaan Rendy yang bekerja sama dengan perusahaan istri Daffa. Lokasinya tidak jauh dari kantor Darren. Jadi mereka akan sering berkunjung ke Singapura.

Darren teringat kembali kejadian empat hari yang lalu, ketika dia diminta temannya, Leo, datang ke Paris.

Tanpa direncanakan, akhirnya dia menemukan gadis itu, setelah tujuh tahun tidak bertemu dan tidak mendapat kabar dari gadis itu, ternyata sangat mudah untuk menemukannya.

Darren memejamkan mata, meremas bantal mengingat kejadian tujuh tahun yang lalu. Kejadian yang membuat hatinya mati dan beku.

"Aku akan membuatmu merasakan rasa sakit yang lebih besar daripada apa yang aku rasakan." gumam Darren membuka matanya.

Yang ada di mata Darren hanyalah tatapan penuh kebencian, tidak ada kelembutan sama sekali disana.

.

Jantung Mikaela berdebar dan keringat dingin keluar dari dahi dan tangannya. Sekarang dia sudah berdiri di gedung salah satu perusahan besar dikotanya.

Antara percaya dan tidak percaya, tadi pagi dia mendapat telpon untuk mengikuti interview di perusahaan itu. Dan sekarang yang Mikaela lihat tidak ada satu orangpun datang kecuali dirinya. Betapa beruntungnya dia, dari sekian ratus orang yang mendaftar untuk posisi sekretaris hanya dia sajalah yang dihubungi oleh pihak perusahaan. Padahal dia hanya iseng saja mengirim surat lamaran itu.

Mikaela masih menunggu di ruang tunggu karena masih belum dipersilahkan untuk bertemu HRD mereka. Berulang kali Mikaela menarik napas panjang, berusaha menenangkan diri dari kegugupannya.

"Aku pasti bisa, aku pasti bisa." Mikaela mencoba menyemangati diri sendiri.

Dia mengingat ucapan temannya yang mengatakan gaji di perusahaan itu sangat besar jika dia berhasil lolos dan diterima bekerja. Hal itu membuatnya lebih bersemangat. Dia dapat mencicil hutangnya pada Rendy.

Tas yang ada ditangannya sekarang adalah salah satunya. Hadiah yang dia terima dari Rendy, tas mahal seharga puluhan juta dengan sepatu yang tak kalah mahalnya, bagaimana bisa Rendy memberinya hadiah semahal itu hanya untuk ulangtahunnya? Dan walau hati Mikaela tidak enak, dia tetap memakainya juga untuk interview hari ini karena terlalu antusias. Mikaela bertanya-tanya, kenapa Rendy selalu tau apa yang Mikaela butuhkan?

"Nona Mikaela."

Seseorang memanggilnya dengan ramah.

"Pak Leo sudah menunggu nona di ruangannya. Mari saya antar." wanita itu tersenyum lembut, membuat Mikaela sedikit tenang.

Akhirnya dia akan bertemu dengan seseorang yang akan mewawancarai nya, ntah apa yang akan dia katakan nanti, baru kali ini Mikaela mengikuti interview di perusahaan besar. Sebelumnya dia hanya bekerja paruh waktu di cafe dan toko buku.

Mikaela berjalan mengikuti wanita yang berjalan dengan anggun di depannya. Mikaela mengikat rambut panjangnya, memakai kemeja cream dengan rok pensil sepanjang lutut, dia sudah membuka mantelnya sejak tadi, udara diluar terasa sangat dingin.

"Silahkan nona."

Wanita itu membukakan pintu salah satu ruangan dan menyuruh Mikaela masuk ke dalam kemudian dia keluar menutup pintu kembali, meninggalkan Mikaela dengan seorang pria yang membelakanginya di ruangan yang sangat mewah dan besar itu.

Mikaela terkagum-kagum, ruangan HRD saja bisa semewah ini.

Dengan langkah yang pasti, dan meningkatkan percaya dirinya Mikaela melangkah mendekati pria itu.

"Permisi pak." Sapa Mikaela.

Pria itu menengok. Memperhatikan penampilan Mikaela dari ujung kakinya hingga ujung kepalanya, membuat Mikaela sedikit risih ditatap seperti itu.

Pria itu menyeringai. "Leo, namaku Leo. Mereka biasa memanggilku Mr. Leo."

"Baik, pak Mr. Leo."

"Pak atau Mister?"

"Mr. Leo."

Mikaela menunduk, pria itu berjalan dan duduk di kursi kebesarannya. "Duduklah."

Mendengar pria itu mempersilakannya duduk, Mikaela segera duduk di kursi tepat di depan pria itu.

Dia melirik ke atas meja dan mendapati tulisan 'CEO' tertulis besar di papan kaca mewah. Ternyata Mikaela berhadapan langsung dengan CEO perusahaan itu. Jantung Mikaela makin berdebar.

"Santai saja, tidak usah gugup."

"Terima kasih Mr. Leo."

"Jadi kenapa kau melamar di perusahaan ku?"

"Sebelumnya terimakasih sudah memberi kesempatan untukku, aku ingin mendapat pekerjaan dan memperbaiki kehidupanku, jadi aku melamar di perusahaan anda, karena perusahaan anda sangat hebat."

"Kau pintar sekali memuji."

Mikaela tersenyum.

"Tapi lebih baik jika kau mengatakan karena pemilik perusahaan ini sangat tampan dan aku ingin memilikinya." Ucap Leo menggoda.

Mikaela harus bersabar menghadapi pria kaya, tampan yang sangat percaya diri itu.

"Maaf Mr. Leo, aku sama sekali tidak punya pikiran seperti itu."

"Senyummu sangat indah."

"Terima kasih."

"Baiklah, karena senyummu sangat menawan, kau aku terima bekerja."

Apa? Semudah itu untuk masuk perusahaan sebesar ini? Mikaela hampir tidak percaya dengan apa yang diucapkan pria itu, bahkan dia belum diwawancara sama sekali, hanya satu pertanyaan dan sebuah senyuman berhasil membuat Mikaela diterima bekerja? Dia tidak bermimpi bukan?

"Apa anda serius?" tanya Mikaela tidak percaya.

"Aku memang suka bercanda, tapi kali ini aku serius, kau diterima bekerja."

Mikaela hampir melompat kegirangan, jika dia tidak berhadapan dengan CEO ini, pasti dia sudah melompat-lompat seperti anak kecil.

"Tapi, kau tidak akan bekerja di perusahaan ini."

Senyum Mikaela pudar. "Maksud anda?"

"Sebenarnya aku hanya mencarikan sekretaris untuk temanku, karena dia mendengar banyak lulusan hebat disini, jadi dia memintaku untuk mencari salah satu gadis hebat itu."

"Anda belum melihat hasil kerjaku, bagaimana anda bisa tau aku akan bekerja dengan sangat baik?"

"Dari senyumanmu dan tatapan matamu."

"Anda bercanda"

Mr. Leo tertawa. "Kau tidak tau siapa aku? Kau pikir sebelum aku memanggilmu aku tidak mencari tau dulu tentangmu?"

"Maksud anda?"

"Aku sudah tau kau adalah lulusan terbaik tahun ini, dan aku sudah memilihmu, jadi bersyukurlah."

"Apa ini bukan mimpi?"

"Tentu saja bukan, nilaimu yang paling baik diantara pelamar lainnya."

Tentu saja Leo hanya berbohong. Dia memilih Mikaela karena janjinya pada Darren, dan tentu saja dengan beribu alasan agar Mikaela tidak mencurigainya.

"Terima kasih Mr. Leo, jadi dimana saya harus bekerja?"

"Kau akan bekerja di Singapura, karena perusahaannya ada disana."

Tidak. Singapura adalah negara yang paling tidak ingin Mikaela kunjungi. Ada Darren disana. Lagipula Singapura sangat jauh, dia tidak mungkin meninggalkan bi Salma sendirian disini.

"Maaf Mr. Leo, aku sangat senang anda memilihku, tetapi dengan kerendahan hati sepertinya aku menolak tawaran anda."

"Why?"

"Aku tidak bisa pergi kesana, aku punya seseorang disini."

"Kekasih?"

"Bukan, tapi orang yang sangat berharga untukku, dia yang mengasuhku sejak kecil."

"Ah, kalau begitu bawa saja dia ikut bersamamu."

"Tidak mungkin, aku tidak cukup kaya untuk itu. Aku sudah bersyukur tinggal di apertemen kecilku bersamanya. Maafkan aku, mungkin aku belum cocok untuk bekerja disana."

Mikaela bangkit dari kursinya, ingin berpamitan dan pergi dari ruangan itu.

"Aku akan siapkan apertemen untukmu dan pengasuhmu, tiket penerbangan dan makan aku akan berikan selain dari gajimu."

"Sorry?"

"Dan kau akan mendapatkan gaji dua kali lipat. Apa kau bersedia?"

Mikaela ragu, mendapat tawaran sebaik itu mana mungkin ia dapat menolaknya. Apertemen gratis, makan sudah ditanggung dan gaji dua kali lipat. Hanya orang bodoh saja yang akan menolaknya. Demi kehidupan yang lebih layak, demi bi Salma, Mikaela akhirnya menerima tawaran itu.

"Baiklah, aku bersedia. Jadi kapan aku mulai berkerja?"

Leo tersenyum seperti memenangkan sebuah taruhan. "Persiapkan dirimu, kau akan berangkat besok, aku yang akan menemanimu kesana."

"Besok? Apakah itu tidak terlalu mendadak?"

"Waktu adalah uang, jadi jangan buang-buang waktumu nona."

.

Ponsel Darren berdering di saku jasnya, dia sedang berada di ruangan kerja miliknya yang didominasi warna hitam dan cream. Ruangan super luas dengan sofa, lemari es, meja kebanggaannya yang besar, lemari berjejer rapi dan sebuah ruangan kamar tidur khusus yang dibangun Darren ketika dia lembur atau merasa lelah. Kantor sudah seperti rumah keduanya.

Darren mengangkat telpon itu.

"Bagaimana?" Tidak berbasa basi Darren langsung menanyakan hal yang dia tunggu-tunggu ketika tau bahwa Leo lah yang menelponnya.

"Wow, sabar, kau tidak ingin menanyakan kabarku terlebih dahulu?"

Darren mengeram, membuat Leo terkekeh.

"Baiklah, baiklah, dia sangat cantik."

"Aku tidak menanyakan hal itu."

"Dan juga sexy, kau tau tubuhnya sangat--"

"Leo." Panggil Darren dengan penekanan. Leo makin terkekeh.

"Dia menyetujuinya."

"Apa?"

"Kau pura-pura tuli heh? Dia menyetujuinya."

Darren menyeringai penuh kemenangan. Akhirnya apa yang dia inginkan akan terlaksana. Membuat Mikaela sengsara, permainan yang cukup menarik.

"Awalnya dia tidak mau, tapi aku mengatakan akan memfasilitasinya dengan apertemen, makan, dan gaji dua kali lipat."

"......"

"Apa kau tidak keberatan?"

"......"

"Hei tuan Darren, apa kau mendengarkanku?"

"Iya, aku dengar."

"Apa kau tidak keberatan dengan apa yang aku janjikan padanya?"

"Tentu saja tidak. Terima kasih Mr. Leo, kembalilah bekerja atau perusahaanmu akan bangkrut."

Leo tertawa. "Jadi itu doamu padaku setelah aku membantumu?"

"Itu bukan doa, itu hanya saran."

"Saran yang bagus. Aku akan mengantarkannya padamu besok."

"Kau sudah mengatakan padanya dimana dia akan bekerja."

"Belum, besok akan aku katakan."

"Tidak perlu, aku yang akan memberi dia kejutan." Darren tersenyum sinis membayangkan apa yang akan terjadi besok.

"Baiklah, aku harus meeting sekarang. See you soon in Singapore."

Darren memutuskan telponnya.

Bahkan jika harus membayarnya seratus kali lipat pun Darren tidak akan keberatan, jika itu bisa membuat gadis itu menderita di hadapannya.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status