Share

Part 1 : Siblings

Daffa terbangun memegangi dadanya yang berdegup kencang. Keringat dingin mengucur deras dari dahi dan seluruh tubuhnya. Napasnya naik turun tidak beraturan seperti lelah berlari kerena dikejar sesuatu dan tercekik.

Ia bermimpi. Mimpi yang selalu sama seperti tujuh tahun yang lalu, ketika untuk pertama kali nadinya berdetak dengan jantung orang lain yang ada dalam tubuhnya.

Menyibak selimut tebalnya, Daffa bangkit untuk mengambil air minum di dapur. Ia menuruni tangga dan melihat jam besar yang ada di ujung ruangan masih menunjukkan pukul dua dinihari.

Waktu untuk semua orang mengistirahatkan tubuh dan pikirannya. Begitu juga semua orang di rumah Daffa yang juga sudah terlelap dalam tidurnya, tidak dengan ayah dan ibu Daffa sedang berlibur ke Italia bersama dengan teman mereka selama satu minggu.

Daffa meneguk banyak-banyak air yang kini sudah berada digelas yang ia genggam.

Ada satu hal yang mengganjal pikiran Daffa.

Shine.

Sejak pulang kerja, ia belum melihat adiknya itu sama sekali dan buru-buru masuk ke kamarnya untuk mandi kemudian tak sengaja ia tertidur karena merasa sangat lelah.

Karena pikirannya belum tenang, Daffa memutuskan untuk melihat Shine sebentar dikamarnya.

Setelah menaruh gelas dengan asal di pantry dapur, Daffa segera menuju kamar gadis itu.

Hal yang pertama ia lihat ketika membuka pintu hanyalah Shine yang sedang meringkuk dalam selimutnya.

Seperti biasa, gadis itu tidak pernah mengunci pintu kamar, kebiasaannya sejak dulu untuk mempermudah Ema dan Brata masuk ke kamar dan mencium dahi Shine ketika gadis itu tidur, termasuk dirinya.

Daffa tersenyum dan kembali ingin menutup pin.....tunggu dulu, ia hampir saja lupa mengecup kening adiknya, semenjak Shine tumbuh menjadi dewasa, Daffa jadi jarang melakukannya.

Dengan pelan Daffa mendekat dan menyibak selimut Shine.

Kosong.

Shine tidak ada dikamarnya. Dengan pintar ia mengganti tubuhnya dengan guling dan bantal, seolah-olah ia sedang tertidur. Beruntung Daffa mengetahui hal itu.

Dengan langkah panjang Daffa naik lagi ke kamar untuk mengecek ponselnya dan melacak keberadaan Shine.

Secara diam-diam Daffa memang sudah memasang alat pelacak di ponsel Shine setelah kerap kali pembantu dan orangtuanya mengatakan jika Shine sering pulang larut dengan alasan belajar kelompok bersama teman-temannya untuk Ujian Nasional.

Ternyata benar kecurigaan Daffa selama ini. Shine memang tidak benar-benar belajar, tetapi ia sering menghabiskan malam bersama teman-temannya di Bar, terbukti dari lokasi Shine yang tergambar jelas diponselnya.

Selama ini Daffa masih diam, karena setiap kali ia pulang ke rumah, Shine selalu sudah berada di rumah. Tapi kali ini Daffa tidak akan diam, Shine sudah pergi melampaui jam malam yang ia dan orangtuanya berikan, bahkan hampir pagi. Tanggung jawab ada ditangan Daffa selama ayah dan ibunya pergi.

Dan Daffa yakin Shine memanfaatkan kesempatan untuk bisa bersenang-senang dengan teman-temannya.

Sungguh kelalaian Daffa dalam mengawasi gadis itu.

Daffa segera memakai jaket tebalnya dan mengambil kunci mobil di atas nakas meja kamar.

Ia buru-buru menaiki mobil dan melaju secepat mungkin mengikuti petunjuk arah yang ada di ponsel yang akan membawanya pada Shine.

Miracle Shine.

Nama lengkap adiknya itu. Nama yang unik dan indah pemberian orang tua kandung Shine.

Gadis itu diambil oleh keluarga mereka sejak tujuh tahun lalu. Sejak kakaknya mendonorkan jantung untuk Daffa.

Setelah itu, Daffa tidak pernah merasakan nyeri pada jantungnya lagi.

Setelah itu juga Daffa mendapatkan seorang adik perempuan yang selalu dapat membuat kepalanya mendadak pusing karena kelakuan gadis kecil itu.

Daffa sangat berterima kasih dan berhutang budi pada Edward, karena kakak Shine itu, ia masih bisa hidup hingga sekarang tanpa rasa sakit yang menderanya lagi. Dan karena itulah Daffa merasa memiliki tanggung jawab, sekarang tugas Daffa menjaga dan melindungi Shine layaknya kakak.

Lagipula, Ibu dan Ayahnya sangat menyayangi Shine dengan tulus. Darren pun kerap memanjakan gadis itu, begitupun Daffa.

Shine harus hidup bahagia, tapi tidak dengan seperti ini caranya.

Ia tidak suka Shine terjerumus ke dalam pergaulan negatif di usianya yang masih 18 tahun yang sebentar lagi akan menjalani ujian. Daffa ingin gadis itu fokus pada sekolahnya saja.

Tak lama Daffa sampai ke tempat yang dituju karena jalanan tengah malam cukup renggang. Daffa memarkirkan mobilnya asal. Kemudian dengan buru-buru masuk ke dalam bar yang dimaksud.

Di lantai dansa, ia dapat melihat Shine sedang berliuk-liukan tubuhnya bersama dengan beberapa gadis sebayanya. Walau mereka jauh dari kerumunan lelaki, tetap saja Daffa tidak suka melihatnya.

Ia mendekat, kemudian menarik tangan Shine.

"Kau bau alkohol, kau mabuk?" tanyanya mengendus Shine.

"Ah kakak. Kenapa kau ada disini? Tidak, aku tidak mabuk."

Shine tersenyum, kemudian bergelayut manja pada Daffa dan menggoyangkan pinggulnya, seolah mengajak Daffa berdansa.

Daffa menurunkan tangan Shine yang ada di lehernya. "Kau minum alkohol?"

"Aku tidak minum alkohol kak, aku hanya mencicipinya, sedikit." ujar Shine menjentikkan ibu jari dan jari tengahnya membuat tanda sedikit. Ucapan Shine sudah tidak seperti gadis yang waras.

Daffa tau Shine sedang mabuk. Ia segera menarik Shine untuk keluar dari tempat itu. Tidak peduli pandangan para teman-teman Shine padanya.

Ia membawa Shine pulang ke rumah mereka.

.

"Aku adalah sang putri, lalalala, aku bebas ingin kemanapun aku pergi, lalala...."

Sepanjang perjalanan Shine hanya bernyanyi tak jelas, juga ketika Daffa mencoba memapahnya dari mobil ke dalam kamar, karena cara berjalan Shine yang sudah sempoyongan tak seimbang.

Daffa sedikit kesusahan mengatur Shine. Gadis itu menggoyangkan tangan dan kakinya seolah-olah sedang menari.

"Shine, berhentilah." pinta Daffa mencoba bersabar. Ia selalu bersabar jika menyangkut Shine.

"Hey kak, kenapa kau menjemputku pulang? Aku masih ingin menari."

Daffa hanya menghela napas. "Ini sudah malam Shine, dan hampir pagi, besok kau harus bersekolah." ucapnya lembut.

"Kau tidak ingin menari denganku kak, ayo menari. Kau sangat kaku." ejek Shine sambil tertawa. Ia tidak sadar apa yang tengah ia ucapkan.

Dengan perlahan Daffa mendudukkan Shine ke ranjang kamar Shine dan melepas sepatu gadis itu, ia mengangkat kaki Shine dan meletakkan kepala Shine di bantal, agar shine dapat tidur dengan nyenyak, walau masih menggunakan pakaian yang lengkap dengan rok mini yang ketat.

Daffa mencoba menutupnya dengan selimut.

Shine masih menyanyi-nyanyi tidak jelas, sedangkan Daffa memilih keluar dari kamar Shine untuk membiarkan gadis itu tidur.

.

"Kau sudah bangun?"

Shine melengos mendengar suara Daffa yang sudah duduk manis dimeja makan dan memakan sarapannya.

"Apa kau yang menjemputku semalam kak?" tanya Shine tanpa menunjukkan perasaan bersalah.

"Ya, dan kau mabuk." jawab Daffa. Ia menuangkan segelas air dan memberikannya pada Shine. "Minum ini, kepalamu pasti sangat sakit."

Dengan mencebikkan mulutnya Shine mengambil gelas itu kemudian menegaknya hingga habis.

"Kenapa kau belum pergi kak? Biasanya pagi-pagi sekali kau sudah ke kantor?" Shine mulai memakan rotinya.

"Aku akan mengantarmu ke sekolah."

"Apa? No. Tidak kak, Sophie akan menjemputku." tolak Shine karena sudah punya janji dengan temannya yang akan menjemput.

"Aku tidak suka kau pergi ke bar, lalu mabuk Shine." tegas Daffa.

Shine memutar bola matanya malas. "Kak, aku bukan anak kecil lagi. Itu sudah biasa untukku dan teman-temanku."

"Aku tetap tidak suka. Akan aku laporkan ini pada ayah dan ibu kalau kau tetap melakukannya, bahkan pada Darren." ancam Daffa.

"Tapi--"

"Lakukan semaumu setelah kau lulus Shine. Untuk saat ini bertingkahlah seperti gadis yang baik seusiamu." Daffa tersenyum, kemudian ia mengelus kepala Shine.

Dan seketika tidak ada bantahan dari Shine. Dia paling lemah jika Daffa sudah membelai rambutnya. Apalagi jika Daffa sudah mengancam akan melaporkan pada Ema dan Brata apa yang ia lakukan, walau selama ini Daffa selalu menutupi tingkah laku buruknya.

Lebih parahnya lagi jika nanti Daffa akan mengadukannya kepada Darren. Kakaknya yang satu itu akan bertindak lebih kejam padanya.

Pernah dulu, sewaktu ia membolos sekolah karena ada janji dengan seorang pria. Darren menemukannya dan membanting ponsel mahal keluaran terbarunya itu hingga hancur. Shine menangis sejadi-jadinya, karena usianya ia masih benar-benar labil kala itu, dan sampai di rumah, Darren memarahinya habis-habisan dan mengatakan tidak akan memberi uang jajan serta ponsel baru untuk Shine. Beruntung ada Daffa yang menenangkan dan membelikannya ponsel baru.

Shine masih beruntung Darren tidak menetap satu rumah dengannya, hanya sesekali saja pulang ke Indonesia. Tapi walau bagaimanapun galaknya Darren, sebenarnya ia selalu memberikan apapun yang Shine mau, dan Shine benar-benar menyayanginya. Menyayangi kedua kakaknya.

"Cepat habiskan makanmu Shine." ujar Daffa melihat arloji ditangannya.

"Baiklah kak."

.

Mobil yang dikendarai Daffa berhenti tepat di depan gerbang sekolah. Disana teman-teman Shine sudah menantinya.

Shine tau apa tujuan mereka, begitu Shine mengatakan kalau mereka tidak perlu menjemputnya karena ia akan diantar oleh Daffa, teman-temannya itu justru bersemangat bahkan sampai menunggunya di depan gerbang.

Shine turun dari mobil diikuti Daffa.

Teman-temannya dengan bersamaan melambaikan tangan pada Shine, tetapi tidak dengan mata mereka yang menatap Daffa.

Pria itu balas melambaikan tangan dengan senyuman yang membuat siapapun meleleh melihatnya.

Shine hanya melongo ketika melihat teman-temannya makin bersemangat melambaikan tangan.

"Cepat pergi kak, atau kau akan membuat mereka seperti orang gila."

Daffa terkekeh, kembali mengacak rambut Shine dan memutar arah untuk masuk ke kemudinya. Tak lama, mobil itu meninggalkan Shine.

Shine berjalan mendekati teman-temannya yang antusias menyambutnya.

"Kau lihat tadi? Dia tersenyum padaku." ucap Sophie.

"Tidak, dia tersenyum padaku." Jane tak mau kalah.

"Kenapa kau punya kakak setampan itu Shine, aku benar-benar iri padamu." rengek Vonie. "Tapi kak Darren tetap favoritku." lanjutnya.

"Hentikan imaginasimu, Kak Darren akan bertunangan sebentar lagi." Shine menarik kesal teman-temannya untuk berjalan ke kelas.

"Benarkah? Dengan dokter cantik itu?"

"Ya tentu saja, kau bukan tandingannya Vonie." Shine tersenyum meremehkan.

"Kalau begitu aku dengan kak Daffa saja." ujar Vonie yang kemudian dihadiahi jitakan dari Sophie dan Jane.

"Dia milikku." balas Sophie.

Shine hanya tertawa melihat tingkah mereka yang memperebutkan Daffa. Tentu saja Daffa idaman. Dia benar-benar seperti malaikat.

"Pria dewasa memang mempesona ya." tambah Sophie masih belum bisa mengalihkan pembicaraan ke topik lain.

Tidak bisa dipungkiri bahwa diam-diam Shine juga mengidolakan Daffa. Suatu saat jika ia menikah, ia ingin menikah dengan pria seperti Daffa atau Darren. Daffa selalu melindunginya, memberi apapun yang Shine minta tanpa harus menunggu lama. Ia selalu memanjakan Shine, memperlakukan Shine seperti seorang Puteri raja. Benar-benar pria yang sulit dicari.

Sampai sekarang pun Shine masih terheran-heran kenapa ada keluarga yang sangat baik padanya. Padahal Shine tau, ia bukanlah anak kandung, atau saudara kandung mereka. Tapi Shine bahagia memiliki keluarga seperti keluarga Brata.

Shine merasa sangat beruntung.

Tapi tetap saja bagi Shine kedua kakaknya tetap sangat menyebalkan jika sudah mulai mengatur-atur apa yang Shine perbuat.

"Bolehkan pulang sekolah kami melihat-lihat perusahaanmu Shine? Sudah lama juga kau tidak menengoknya bukan?" tanya Jane dengan cengirannya yang mencurigakan, diikuti kedua temannya dengan mata berbinar-binar.

Shine hanya memutar bola matanya malas. Ia jelas tau apa yang ada dipikiran teman-temannya itu. Tentu saja untuk bertemu Daffa.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status