"Jadi dia tidak menyentuhmu sama sekali?"
Pertanyaan yang ntah keberapa kali Sophie lontarkan hari ini membuat Shine kesal. Apalagi Sophie akan tertawa sangat keras sesudahnya.
"Hentikan menanyakan hal itu Soph," ucap Jane dikursi belakang sembari menepuk pundak Sophie yang sibuk menyetir mobilnya. Jane menutupi mulutnya dengan jemari. Shine tau bahwa gadis berlesung pipi itu sedang menahan tawa.
Saat ini mereka sedang pergi bersama-sama mengantar Vonie menemui Jim, pria yang sewaktu itu tertangkap bersama mereka di pertandingan tinju liar. Shine berpikir Vonie benar-benar serius menyukai Jim.
Setelah perdebatan yang cukup panjang dengan bodyguard Shine, akhirnya Shine diizinkan pergi dengan para sahabatnya itu sepulang sekolah, hanya saja dengan beberapa syarat, termasuk...
"Mobil mereka tepat di belakang kita," Sophie mengintip dari kaca sambil terus berhati-hati mengemudi.
Ya, syaratnya kedua bodyguard Shine juga harus ikut pergi dengan mereka.
Tiba-tiba Vonie tertawa. "Itu artinya suamimu benar-benar mengkhawatirkanmu Shine, hingga memerintahkan mereka untuk mengikutimu kemanapun kau pergi."
"Kau membuatku geli dengan menyebutnya suamiku Von. Dia bahkan tidak menyentuhku dimalam pertama."
"Setidaknya seharusnya dia menciummu." timpal Jane.
"Aaa.... dia menciumku!" pekik Shine menanggapi ucapan temannya.
"Benarkah?" Vonie yang sejak tadi bersandar manis di kursi mobil tiba-tiba mendekatkan tubuhnya ke depan, tepat di samping Shine yang duduk di kursi depan.
"Iya, disini," jawab Shine lemah, menunjuk keningnya sendiri.
Dan itu sukses membuat ketiga gadis yang bersamanya terbahak.
"Mungkin dia belum mau menyentuhmu karena kau belum lulus Shine, bersabarlah sebulan lagi, begitu kita menyelesaikan ujian kita minggu depan, dan dua minggu kemudian pengumuman kelulusan, kau akan benar-benar resmi menjadi istrinya," hibur Vonie.
"Apa kau sudah tidak sabar untuk 'melakukannya' Shine?" goda Sophie dengan menekankan kata melakukan.
"Me..melakukan apa maksudmu?"
"Wajahmu memerah."
"Tidak mungkin!"
"Dasar mesum." olok Vonie.
Shine tidak memperdulikan ucapan mereka. Ia hanya berpikir mungkin benar, Daffa belum menganggapnya seorang istri karena statusnya memang masih sebagai pelajar. Mana ada pria normal yang akan memperistri seorang pelajar menengah keatas?
Sibuk dengan pikirannya sendiri, mobil Sophie ternyata sudah terparkir manis disebuah parkiran mall yang memang menjadi tempat tujuan mereka, tentunya sebelum menuju ke tempat tujuan utama.
Empat gadis itu berjalan beriringan, tertawa, masih terus menggoda Shine. Sedangkan bodyguard Shine masih setia mengikuti mereka dari belakang.
"Kalian ingat ideku tadi bukan?" bisik Sophie yang sudah merencanakan sesuatu.
"Tentu." jawab ketiganya mantap.
Rencana mereka adalah melarikan dari dari dua pria berbadan besar yang sedari tadi mengikuti mereka.
.
Setelah berhasil mengelabui bodyguard-nya dengan cara menyamar, Shine bersama ketiga temannya kembali pergi dengan mengendarai mobil Sophie, mereka sudah berganti pakaian, melepas jaket, kacamata dan topi masing-masing yang mereka kenakan agar tidak ketahuan.
"Bodyguardmu benar-benar mudah ditipu," ejek Sophie karena keberhasilan mereka.
Shine sudah memakai hotpants dengan atasan yang cukup sexy, begitupun dengan ketiga temannya. Tentu saja tujuan mereka memang bertemu Jim, tapi tempat mereka bertemu adalah bar.
Shine ingin minum untuk mengembalikan mood-nya, beruntung Darren sudah kembali ke Singapura dan orangtuanya sudah mengizinkannya untuk belajar di rumah Sophie. Ya, Shine menggunakan alasan itu.
Ia akan kembali ke rumah sebelum Daffa pulang, jika pria itu mendapat laporan dari bodyguardnya, tenang saja, Shine akan mengatakan jika mereka akan belajar bersama. Shine memang cerdas.
Tak lama mereka sampai ke tempat tujuan. Buru-buru para gadis itu masuk ke dalam dengan memalsukan identitas seperti biasa, ini adalah keahlian Vonie.
Vonie terlihat melambaikan tangan pada Jim yang sudah menunggu mereka.
Begitu mendekat, Vonie langsung memeluk Jim dan mencium pipinya. Shine saling pandang dengan Jane. Sepertinya sudah terjadi sesuatu diantara Vonie dan Jim yang tidak mereka ketahui.
Jim mengenalkan mereka kepada teman-temannya.
Sophie menarik tangan Vonie untuk mendekat.
"Apa kalian sudah berpacaran?" bisiknya, Vonie hanya tersenyum.
Kemudian mereka duduk dalam satu meja yang sudah dipesan Jim secara privat. Ada dua teman Jim yang duduk bersama mereka.
"Aku sudah pesankan minum." ucap Jim, lalu mengode salah satu pelayan untuk mengantarkan minumannya.
"Sebenarnya ada apa Jim? Kenapa kau menyuruhku datang bersama teman-temanku?" tanya Vonie penasaran.
"Kau bilang kau menyukaiku, tapi kau tidak tau hari ulang tahunku?" jawab Jim dengan kalimat pertanyaan.
"Jadi hari ini ulang tahunmu?" Vonie sedikit terkejut.
Jim mengangguk-angguk, tak lama pelayan datang membawakan beberapa botol wine yang Shine tau bukan wine murahan. Dan Shine tau pembelinya bukan dari kalangan bawah.
Shine tidak sabar untuk menegaknya!
Jim mengocok botol itu sebelum membukanya, sebelum menuangkannya ke gelas.
"Happy Birthday to me!" teriaknya sambil berdiri dan membuka botol. Terlihat wine itu menyembur dengan sempurna dan tanpa banyak bicara, Jim menuangkan ke gelas masing-masing.
"Happy birthday!" ucap temannya yang lain, dan Shine, Vonie, Sophie dan Jane juga mengikuti.
"Bersulang," ajak Jim mengangkat gelasnya tinggi-tinggi.
Shine meminum segelas wine tanpa jeda, membuat Jim terus menatapnya.
Agghh, tenggorokannya seperti terbakar. Tapi ia menyukai itu.
.
Dengan mengendap-endap Shine memasuki halaman rumah, setelah ancamannya kepada satpam berhasil untuk membukakan gerbang.
Tamat riwayatnya jika ayah dan ibu tahu Shine pulang sangat larut, sungguh diluar rencana awal. Apalagi saat ini ayah dan ibunya sedang di rumah. Tadi sore, ia sempat mengirim pesan lagi kepada keduanya, kalau ia masih belajar di rumah Sophie. Sebelumnya ia sudah menanyakan keberadaan Daffa pada ibunya, dan Shine aman, Daffa sedang ada rapat di luar kota.
Sungguh beruntung ia hari ini! Pantas saja ponselnya tidak sibuk berdering karena panggilan Daffa, ternyata karena kakaknya itu sedang ada di luar kota.
Tunggu dulu, maksud Shine suaminya itu. Tapi kenapa Daffa tidak memberitahunya? Bukankah Shine istri Daffa?
Shine menengok arlojinya, sudah pukul sebelas malam dan Shine harap orang tuanya sudah terlelap seperti biasa, dan tentunya juga Daffa, pria itu terbiasa tidur awal.
Perlahan Shine melepas sepatunya begitu menapakkan kaki di teras rumah luasnya agar langkahnya tidak berbunyi. Suasana sudah sepi, Shine menghela napas lega.
Ia merogoh kantong dan mengambil kunci rumah yang sebelumnya sudah ia duplikasi.
"Baru saja aku akan menjemputmu ke rumah Sophie, Shine."
Shine terkejut mendengar suara yang berasal dari arah belakang, sampai ia menjatuhkan kunci tersebut hingga menimbulkan bunyi dikeheningan malam.
Gadis itu membalik tubuhnya pelan dengan takut-takut.
Daffa sudah berdiri dihadapannya dengan senyuman yang amat manis.
"Hmm, kau bau alkohol," endus pria itu mendekatkan tubuhnya ke tubuh Shine.
Shine mundur dan menelan salivanya. Ia tidak dapat berkata-kata apapun lagi.
"Ayah dan ibu sudah tidur setelah aku mengatakan pada mereka untuk menjemputmu," lanjut Daffa mengambil kunci yang terjatuh dan membukakan pintu untuk Shine. "Ayo masuk," ajaknya.
Kepala Shine mengangguk, mengikuti langkah Daffa pelan.
"Duduklah, aku ingin bicara,"
Shine pasrah. Ia mendudukkan dirinya diruang tamu, sedangkan Daffa masuk ntah kemana.
Tak lama kemudian pria itu kembali dengan membawa sekotak ayam goreng favorit Shine yang ia beli di salah satu restoran cepat saji.
Tiba-tiba Shine lapar.
Daffa terlihat menghela napas sambil memandangi ayam itu.
"Tadinya aku ingin memakannya bersamamu, tapi nampaknya kau lebih memilih bersenang-senang dengan beberapa temanmu ya?" ujar Daffa tersenyum.
Shine menggelengkan kepala. "Aku tidak..." ucapannya terhenti mengingat ia tidak memiliki alasan apapun untuk menyangkalnya, tadi ia memang bersenang-senang dengan temannya. Minum wine mahal, meliuk-liukkan tubuhnya dengan gila di lantai bar dengan para temannya, party yang benar-benar menyenangkan.
Daffa membuang ayam-ayam itu ke kantung plastik yang juga ia bawa tadi dan menaruhnya asal dibawah. Shine memandangnya dengan sayang.
Hening sejenak. Terdengar Daffa kembali menghela napas. Pria itu menyilangkan tangannya ke depan dada dan bersandar pada sofa. Kemudian ia memandang Shine dalam.
"Sebenarnya apa yang kau inginkan, Shine?" tanyanya baik-baik.
Shine masih tak menjawab.
"Apa mereka yang mengajakmu melakukan hal-hal itu?"
"Tidak," kali ini Shine menjawab dengan cepat untuk menyelamatkan teman-temannya.
"Lalu, apa kau yang mengajak mereka?"
"Ah, itu.... hmm...."
Daffa memijat keningnya, sedikit kecewa dengan tanggapan Shine yang singkat.
"Kau mabuk, kau pulang larut, memakai pakaian seksi, apa kau pikir itu baik untukmu?"
"......"
"Sampai kapan kau akan melakukan hal seperti ini Shine? Hal yang tidak berguna."
"......"
"Aku hanya memintamu untuk fokus ke sekolahmu. Apakah itu sangat memberatkanmu?"
Shine menggeleng pelan.
"Kalau begitu apa masalahmu sebenarnya?"
Gadis itu bungkam seribu bahasa. Bukannya ia tidak mau menjawab, hanya saja ia tidak tahu harus menjawab apa.
"Baiklah, kalau kau tidak ingin menjawabku, sebelumnya, aku mengatakan ini sebagai kakakmu, sekarang aku akan mengatakan ini sebagai suamimu."
Mendengar kata suami, Shine mendongakkan kepalanya menatap Daffa dengan kening berkerut takut, tangannya resah meremas satu sama lain.
"Jangan ulangi kejadian ini, karena kali ini aku akan tegas padamu, Shine." tukas Daffa sambil menegakkan tubuhnya untuk beranjak pergi.
Shine kembali mengangguk.
Daffa memperhatikannya dengan saksama. Raut wajah Shine tidak terbaca olehnya.
"Jika kau tidak mencintai dirimu sendiri, setidaknya kau harus mencintai ayah dan ibu," ucap Daffa sambil melangkah.
"Aku mencintai mereka kak, aku sangat mencintai mereka."
Perkataan Shine membuat Daffa berhenti.
"Jika kau mencintai mereka, kau tidak akan melakukan hal-hal seperti ini dan kau tidak akan berbohong pada mereka." tukasnya meninggalkan Shine sendiri.
Berbohong. Kata yang sangat tepat, Shine memang sudah membohongi kedua orang tuanya. Ditatapnya punggung Daffa yang semakin menjauh.
Pria itu kembali menengok dan tersenyum. "Ini peringatan terakhirku untukmu Shine," ucap Daffa kemudian benar-benar meninggalkan Shine ke kamarnya.
Iya, ke kamar pribadinya. Walaupun kini mereka telah menikah.
Sementara itu, Daffa mengepalkan tangannya kuat-kuat begitu ia menutup pintu kamar. Ia memejamkan mata, dan menghirup udara dalam-dalam, meredam seluruh emosinya.
Ia harus bersabar dan menjadi kakak yang baik untuk Shine, karena itu adalah janjinya kepada Edward. Ia harus membuat Shine menjadi lebih baik lagi, dan selalu melindunginya, walaupun pada kenyataan Daffa ingin meledak karena tingkah gadis itu, tetapi Daffa menyayanginya.
Setelah malam itu, Shine mengikuti semua keinginan Daffa. Tidak berkeliaran setelah pulang sekolah selama menjelang ujian, tidak bermain-main setiap hari bersama teman-temannya dan belajar dengan giat.Ya... tentu saja itu karena Daffa selalu mengawasinya dengan sangat ketat.Bayangkan saja, Daffa mengantar jemput Shine ke sekolah dengan tepat waktu, memastikan Shine masuk ke dalam kelasnya dan menjemput Shine di depan pintu kelas, hingga beberapa temannya terus-menerus menanyai nomor ponsel Daffa, karena pria itu sangat mencuri perhatian.Shine bisa gila!Tapi gila yang dirasakan Shine terbayar sudah. Kini, ia sedang tertawa sambil berteriak-teriak memeluk teman-temannya yang baru saja melihat papan pengumuman kelulusan, dan mereka s
Setelah seminggu penuh Shine mempersiapkan pernikahan impiannya, tentu saja dengan bantuan para sahabat serta Ema dan Brata, karena Daffa terlalu sibuk bekerja, ia hanya mengiyakan apapun permintaan dan konsep yang Shine inginkan, akhirnya hari yang ditunggu-tunggu gadis itu tiba.Hari pernikahannya.Shine mengenakan gaun putih gading menjuntai bak princess, gaun rancangan perdana Sophie khusus untuknya, dan hanya dikerjakan dalam satu Minggu setelah Daffa menawarkan sebuah pesta pernikahan malam itu.Dengan tatanan messy hair masih ala-ala putri kerajaan Shine nampak terlihat sangat cantik. Sedikit anak rambut nakalnya menjuntai dari pinggiran leher Shine."Kau sangat luar biasa Shine," puji Jane menatap sahabatnya
Shine melangkah keluar kamar mandi dengan hati yang berdebar. Tangannya kuat memegang kimono mandinya karena ia tidak memakai sehelai benangpun di dalam kimono itu.Dilihatnya Daffa berdiri di depan cermin, tengah sibuk memakai jam tangan."Ah, kau sudah selesai?" tanya pria itu menyadari keberadaan Shine."Ya." Shine memperhatikan Daffa, suaminya itu memakai t-shirtmaroonpolos dan memakai celana
"Jadi dia tidak pernah menyentuhmu sampai sekarang Shine?" tanya Sophie setelah selesai mendengarkan curahan hati Shine.Shine mengangguk tak teratur kemudian kembali meminum birnya.Jane merebut gelas Shine."Sudah sebulan lebih, sejak pesta itu, dan kau masih perawan hingga saat ini?" Sophie tertawa geli, ia terlihat mengejek."Pasti karna dadamu yang rata itu, Shine,"
"Kau sudah sampai, sayang?"Daffa memeluk Ema erat begitu melihat wanita paruh baya itu menyambutnya."Ibu akan pergi?" tanya Daffa melihat pakaian Ema yang sangat rapi. Ia melepaskan pelukannya."Ya, kami akan pergi makan malam bersama, undangan rekan bisnis ayahmu."Daffa celingukan. "Dimana ayah?"
Setelah baru saja mendarat, Daffa membuka ponselnya ketika sudah duduk dalam mobil yang menjemputnya. Ia memijat-mijat dahi karena kelelahan. Ada dua panggilan tak terjawab dari Shine siang tadi, sebelum penerbangan. Daffa terburu-buru untuk sampai ke bandara kerena sedikit terlambat, jadi ia tak sempat mengangkat telpon Shine. Dan ketika di dalam pesawat ia segera menon-aktifkan ponselnya.Daffa menekan nomer Shine untuk balik menghubunginya.Sampai dering terakhir tidak ada jawaban dari seberang, ia kembali memasukkan ponselnya ke dalam saku.
"Kau ternyata sangat pintar memberiku kejutan kak, dan selera humormu memang sangat baik. Aku pulang.""Shine ..."Daffa menarik lengan Shine ketika ia berbalik, hingga gadis itu kembali menghadap ke arahnya."Kau bercanda kan, kak?" tanya Shine menatap Daffa lekat-lekat. "Kau ingin kita tinggal di apartemen yang hanya seluas ruang keluarga kita ini?" lanjutnya sedikit geram.
"Lain kali, jangan menyentuhku dengan tiba-tiba, Shine," ucap Daffa tanpa memandang Shine.Pria itu buru-buru pergi meninggalkan Shine yang mematung, bukan ke meja makan, tetapi ke dalam kamar mereka, satu-satunya ruangan yang ada dalam apartemennya kecuali kamar mandi.Di dalam Daffa memegangi dadanya yang berdebar kencang setelah menutup dan mengunci pintu.Keringat dingin keluar dari dahinya.