"Makanlah cepat, walau rasanya tidak enak. Tapi, bisa mengganjal lapar. Sekarang kau yang memilih. Mau makan atau tidak,” ujar Alena santai. Namun, tetap ada penekanan dalam kalimat-kalimatnya.
“Aku akan makan semua ini. Rasanya tidak buruk. Masih bisa diterima oleh lidahku. Hmm harus aku akui kau cukup pandai memasak. Ada bakat.”
Alena menyiapkan sarapan yang sederhana. Menu tidak cukup sulit untuk ia buat. Roti panggang serta omelet. Ditambah dengan segelas susu hangat. Dirasanya akan mampu mengisi perut Davae hingga jam makan siang nanti tiba.
Tadi, sekitar 30 menit yang lalu, Alena pun sempat dilanda oleh perasaan kesal. Sebab, tugasnya bertambah yakni membuatkan makanan untuk Davae Hernandez. Kewajiban yang tidak pernah tertulis di dalam kontrak.
Alena terus berperang dengan ego dan juga rasa iba. Pada akhirnya, ia tak ragu memilih kata hati. Alena berpikir tidak ada salahnya melakukan kebaikan. Membantu pria itu.
“Bisa tidak kau jangan lamban makan? Kau hanya punya waktu untuk sarapan selama setengah jam. Kita di sini sudah lebih 10 menit. Apa kau sangat suka menun—“
“Dan bisakah kau jangan berisik? Kau cukup cerewet. Kau banyak omong. Sebelum kau berkomentar, tanyakan dulu kondisiku dulu. Barulah, kau bisa menyebutku lamban.”
Alena mengangguk segera untuk memberi tanggapannya. “Baiklah. Aku akan bertanya dan kau harus menjawab dengan jujur.”
“Jadi, apa alasanmu makan lamban?” tanya Alena dalam nada penasaran kian tinggi.
“Hmm, ada dua alasan yang aku pikirkan. Semuanya bernilai baik dan tentu positif.”
Alena mengerutkan dahi, tanda bahwa tidak memercayai begitu saja jawaban dari Davae. Sangat kontras dengan seringaian pria itu yang bertambah lebar. Dan, secara sengaja ditunjukkan padanya. Jelas, Alena harus curiga serta waspada.
“Kau tidak ingin tahu, Sayang? Kau akan aku beri tahu semuanya dengan detail. Tapi, kau harus mengontrol rasa malu. Ah, dan rona merah nanti di kedua pipimu yang mulus.”
Alena menaikkan salah satu alisnya. Ia kian tak bisa memahami ke arah mana bahasan mereka. Kalimat jawaban lanjutan seorang Davae Hernandez yang terkesan ambigu.
Alena pun bingung juga harus memberikan tanggapan paling bagus seperti apa. Sebab, ia juga tak terlalu penasaran. Menurutnya, pria itu hanya berupa memancing. Jawaban tidak akan penting atau berkaitan dengan uang. Jadi, Alena bisa mengendalikan rasa ingin tahu dan juga ketertarikannya.
“Hei, aku bertanya. Kau malah diam saja.”
Alena menggeleng pelan. “Baiklah, katakan alasan yang membuat kau lamban makan.”
“Jika tidak masuk akal dan rasional. Ataupun lucu. Aku tidak akan terkesima. Kau paham? Aku tahu kau tidak pandai melucu,” imbuh Alena dengan nada peringatan cukup jelas. Terkesan ketus.
Kontras akan senyuman jahil yang sedang dirinya pasang di wajah. Tentu, memang sengaja untuk membuat seorang Davae terheran-heran. Bukanlah perkara sulit baginya.
Terbukti berhasil karena sang atasan meloloskan tawa yang cukup kencang. Namun, tak terdengar sebagai ejekan atas jawabannya tadi. Ia bukan tipikal mudah tersinggung.
“Aku memang kurang bisa melucu. Tapi, aku punya bakat berbisnis yang bagus untuk menghasilkan uang. Bagaimana? Kau suka, Miss Alena?”
Alena mengangguk cepat sembari memperlebar lagi seringaian. “Tentu saja aku suka uangmu.”
“Dan daripada kau beraksi tapi gagal. Kau lebih baik cepat habiskan makananmu. Aku paling tidak suka pria yang malas. Ak—“
“Aku lamban makan karena terpesona oleh kecantikanmu, Sayang. Kau selalu saja bisa menggodaku hanya dengan cara tersenyum. Kau sangat manis dan seksi. Aku jujur.”
“Aku tidak bermaksud untuk merayu ataupun aku ingin menyenangkan hatimu belaka. Paham?”
Alena spontan tersenyum. Tetapi, tak lebar. Bagaimanapun juga, ia harus bisa menjaga harga diri. Tidak mudah terbuai begitu saja dengan rayuan atau godaan Davae. Pria itu hanya berusaha mengujinya. Bukan ketertarikan semata. Ia harus bisa waspada.
“Kau paham tidak, Miss Alena?”
Alena mengangguk cepat. Kini, raut wajah datar sudah dipasangnya. “Aku paham.”
“Kau jangan banyak alasan lagi, cepatlah habiskan makananmu. Supaya kita tidak terlambat sampai di kantor nanti. Aku tahu kau adalah bos utama, tapi kau jangan seenaknya dengan jam kerjamu.”
Davae terkekeh kembali. Kepalanya pun langsung diangguk-anggukan, ingin menunjukkan bahwa ia akan menuruti ucapan Alena. Mata mereka masih saling bersitatap satu sama lain. Tak akan pernah berlaku rasa bosa memandangi wajah wanita itu.
“Senyumanmu mencurigakan, Mr. Fanderz. Kau sedang memikirkanku bukan? Mengaku saja.”
Tawa Davae secar refleks mengeras. Dan, kembali mengangguk. Seringaian diperlebar. “Benar, Miss Alena. Aku memikirkanmu dan cara bercinta yang terbaik bisa kita berdua lakukan. Menurutmu apa yang bagus?” godanya dengan nada mesra.
Biasanya, Davae akan sedikit malas menyambut hari baru karena mengingat sejumlah laporan yang di kantor harus dituntaskan sampai malam.Namun, pagi ini sangat berbeda. Ia tidak terbebani dengan pikiran tentang pekerjaan. Hanya diisi oleh sosok Alena. Mulai dari senyuman manis hingga tubuh wanita itu yang seksi. Membuatnya ingin terus saja berimajinasi. Tetapi, berusaha untuk dikontrolnya.Dan, daripada harus berkhayal menerus dan juga menciptakan fantasi semakin liar, Davae memilih menikmati pemandangan manis yang nyata tengah tersaji di hadapannya berkaitan dengan Alena. Wanita itu tengah memasak, memunggunginya.Barang satu menit pun, tak mampu ia mengalihkan fokus dari Alena. Walaupun, hanya bagian belakang tubuh wanita itu dapat diabadikan. Namun, sudah dapat membangkitkan gairahnya.Terutama, bokong dan pinggang ramping Alena yang ingin sekali ia peluk secara erat. Merebahkan kepala juga di salah satu bahu putih wanita itu.Pastinya akan sangatlah
Berangkat dari apartemen mewah sang atasan saat waktu menunjukkan jam sembilan pagi bersama dengan mengendarai mobilsportmahal dari Davae Hernandez menuju ke kantor pria itu.Mereka berdua hanya membutuhkan 30 menit untuk menempuh jarak. Tidak ada hambatan berarti terjadi, misalkan saja kemacetan yang panjang. New York cukup bisa diajaknya bersahabat pagi ini. Alena tentu berharap hingga nanti malam, kendaraan tidak padat di jalan.“Bagaimana menurutmu, Miss Alena?”Alena segera mengalihkan pandangan dari julangan gedung besar dan berarsitektur modern, berlantai hampir dua puluhan yang baru saja dimasuki oleh kendaraan mewah kemudikan sang atasan. Ia pun menebak bahwa mereka akan menuju ke basement guna memarkirkan mobilsportDavae.Sebagai tanggapan atas pertanyaan diajukan oleh pria itu yang sudah mampu dimengerti maksudnya, kepala dianggukan dengan mantap. “Penilaianku?”“Aku semakin yakin kau
Sungguh, sisa waktu selama empat jam lagi bagi Davae sangatlah lama. Ia telah melakukan beragam aktivitas. Ya, termasuk menyibukkan dirinya memeriksa beberapa laporan dan dokumen berkaitan dengan proyek-proyekmallakan dibangun. Namun, tak secara penuh konsentrasi bisa diperoleh seperti hari-hari sebelumnya.Tetap saja, masih ada perhatian yang diberi kepada Alena. Hasratnya semakin membara setiap memandangi lama wajah cantik dan tubuh seksi wanita itu. Terlebih, di bagian dada yang tambah menggoda. Bahkan, tanpa mampu dicegah pikiran kotor nan sensual muncul di dalamnya. Tercipta akibat gairah besar yang tidak kunjung bisa ia salurkan secepatnya. Membuat siksaan kian besar. Belum terpikirkan cara untuk mengatasi."Mr. Davae…,"Bahkan, alunan suara lembut milik Alena tergiang di telinga karena seluruh pikiran yang dikuasai oleh wanita itu. Davae pun masih terus ingin mengontrol dirinya agar tidak terus terbayang akan sosok Alena dan hal-h
Alena langsung menutup mulut dengan tangan kanan, sedangkan satunya lagi masih memegang leher Davae Hernandez. Ia bukanlah benar-benar terkejut akan apa sudah dilontarkan. Hanya ingin menunjukkan akting kecil, tetap dalam rangka menggoda sang atasan."Kau ingin apa tadi, Miss Alena?'Alena menggeleng cepat. Mulutnya masih ditutup rapat. Bukan tak memiliki jawaban. Tetapi, sedang dipikirkan ulang. Tidak ingin sampai menjadi umpan yang bagus untuk Davae dan menjebak balik dirinya. Harus ia susun kalimat-kalimat balasannya dengan detail. Tentu mengandung godaan juga."Aku tidak paham kau bicara apa tadi, Miss Alena. Apakah kau bisa menjelaskan?"Alena mengangkat kedua ujung bibirnya. Ia lalu menggeleng. "Kenapa kau meminta aku untuk menjelaskan? Kau sudah tahu persis apa yang aku maksudkan. Jangan bohong.""Hahaha. Aku tidak berbohong. Iya, memang aku sudah paham. Tapi, bisa saja persepsimu dan aku berbeda. Jadi, perlu penjelasan."Alena terkek
Alena baru bisa menuntaskan seluruh pekerjaannya pukul satu lebih dini hari. Tentu, sudah dilakukannya pemeriksaan berulang untuk memastikan semua telah benar dikerjakannya. Ia tidak ingin melakukan kesalahan yang dapat menimbulkan kerugian bagi perusahaan Davae. Bagaimana pun tugas diberi kepadanya harus memberi hasil maksimal.Walaupun rasa kantuk terus bertambah, Alena tidak segera tidur. Ia terlebih dahulu memilih mandi agar badannya segar. Selain, hendak memanjakan diri selama setengah jam dengan berendam air hangat. Pikiran dapat kembali rileks, pusing berkurang. Ia yakin akan bisa tidur nyenyak dan lelap."Hai, Sayang. Kau lama sekali di dalam. Apa saja yang kau lakukan? Aku boleh tahu?""Ternyata kau mandi cukup lama. Aromamu harum, Sayang. Apa bagian rencanamu untuk merayuku? Hmm, kau sudah sangat berhasil, Miss Alena. Cepat ke sini!"Alena spontan melangkah mundur, bahkan hendak menutup pintu kamar mandi yang baru dibukanya karena terkejut oleh
Walau hanya tidur selama empat jam saja, Alena bangun dengan tubuh segar. Tidak mengantuk. Ia bahkan terjaga lebih awal. Suasana hatinya juga bagus. Cukup baik dalam memulai harinya.Karena memiliki banyak waktu sebelum berangkat ke kantor bersama Davae, diputuskan memasak sarapan untuk pria itu. Makanan yang sederhana. Resep diperoleh dari situs chef terkenal New York.Tentang hasil akhirspagettibuatannya, yakin jika akan layak untuk disantap sang atasan. Walaupun masih tidak bisa mengalahkan makanan-makanan mewah yang disajikan restoran mahal langganan pria itu. Tetapi, tak akan membuat sakit perut.Setelah selesai, segera dibawanya ke ruang kerja Davae. Sengaja dilakukan, ingin memberi sedikit kejutan. Berharap pria itu akan senang dengan apa yang dilakukannya. Yakin respons Davae positif."Mr. Davae...," panggil Alena dengan nada lembut, walau suara keluar pelan saja.Dan, saat sang atasan menolehkan kepala ke arahnya, senyuman sema
Sungguh, sedari tadi dirinya sudah sangat ingin sekali tertawa. Namun, ditahan-tahan. Berupaya disamarkan dengan senyum yang semakin lebar saja di wajah. Tidak mampu melakukan hal lain, apalagi mengeluarkan gelakan karena terus menyaksikan ekspresi tegang Alena yang belum berkurang.Tentu, sudah diketahui dan juga disadari penyebab wanita itu menunjukkan raut yang demikian tidak lain akibat pertemuan dengan ibunya. Walaupun, Alena belum mengatakan secara langsung. Akan tetapi, ia yakin akan tebakan dan dugaannya. Tinggal diberikan pembuktian dengan lebih nyata."Davae...,"Alis kanan langsung dinaikkan ke atas dan mengangguk, selepas sang ibu memanggil. Dilebarkan seringaiannya. "Ya, Mom.""Berapa lama kalian berdua sudah menjadi sepasang kekasih? Kenapa kau tidak berikan kabar bagus ini kepada Mom dan Dad secara cepat. Apakah alasannya, Sayang?"Davae langsung berhenti menenggak wine. Ia kemudian menaruh cepat gelas sedang dipegangnya di atas meja
"Davae kau di mana? Aku sudah datang. Kau bisa mengajakku langsung ke ruang rapat? Aku lupa dengan ruangannya dan ada di lantai berapa."Alena yang tengah membaca koran dengan duduk sedikit santai di atas kursi, langsung saja diangkat tubuhnya karena mendengar suara seseorang melontarkan kalimat tanya bersamaan dengan pintu ruang kerja Davae yang dibuka dari arah luar. Alena jelas merasa terkaget, tetapi berusaha cepat dienyahkan. Dan, menunjukkan secepat mungkin sikap sopannya."Selamat pagi." Alena menyapa ramah. "Mr. Davae Hernandez sedang pergi sebentar ke lantai dua untuk bertemu manajer umum," jelasnya dalam nada suara yang semakin dilembutkan."Tidak akan lama. Mungkin bisa ditunggu. Aku akan memanggil Mr. Hernandez kem--""Wow, kau cantik. Siapakah kau Nona? Nama kau? Dan, apakah tugasmu di sini. Apa kau adalah sekretaris baru dari Davae? Tidak mungkin kau hanya pegawai yang biasa saja baginya.”“Namaku adalah Alena Feyord Lewis