Share

7 - Godaan Menjadi

"Makanlah cepat, walau rasanya tidak enak. Tapi, bisa mengganjal lapar. Sekarang kau yang memilih. Mau makan atau tidak,” ujar Alena santai. Namun, tetap ada penekanan dalam kalimat-kalimatnya.

“Aku akan makan semua ini. Rasanya tidak buruk. Masih bisa diterima oleh lidahku. Hmm harus aku akui kau cukup pandai memasak. Ada bakat.”

Alena menyiapkan sarapan yang sederhana. Menu tidak cukup sulit untuk ia buat. Roti panggang serta omelet. Ditambah dengan segelas susu hangat. Dirasanya akan mampu mengisi perut Davae hingga jam makan siang nanti tiba.

Tadi, sekitar 30 menit yang lalu, Alena pun sempat dilanda oleh perasaan kesal. Sebab, tugasnya bertambah yakni membuatkan makanan untuk Davae Hernandez. Kewajiban yang tidak pernah tertulis di dalam kontrak.

Alena terus berperang dengan ego dan juga rasa iba. Pada akhirnya, ia tak ragu memilih kata hati. Alena berpikir tidak ada salahnya melakukan kebaikan. Membantu pria itu.

“Bisa tidak kau jangan lamban makan? Kau hanya punya waktu untuk sarapan selama setengah jam. Kita di sini sudah lebih 10 menit. Apa kau sangat suka menun—“

“Dan bisakah kau jangan berisik? Kau cukup cerewet. Kau banyak omong. Sebelum kau berkomentar, tanyakan dulu kondisiku dulu. Barulah, kau bisa menyebutku lamban.”

Alena mengangguk segera untuk memberi tanggapannya. “Baiklah. Aku akan bertanya dan kau harus menjawab dengan jujur.”

“Jadi, apa alasanmu makan lamban?” tanya Alena dalam nada penasaran kian tinggi.

“Hmm, ada dua alasan yang aku pikirkan. Semuanya bernilai baik dan tentu positif.”

Alena mengerutkan dahi, tanda bahwa tidak memercayai begitu saja jawaban dari Davae. Sangat kontras dengan seringaian pria itu yang bertambah lebar. Dan, secara sengaja ditunjukkan padanya. Jelas, Alena harus curiga serta waspada.

“Kau tidak ingin tahu, Sayang? Kau akan aku beri tahu semuanya dengan detail. Tapi, kau harus mengontrol rasa malu. Ah, dan rona merah nanti di kedua pipimu yang mulus.”

Alena menaikkan salah satu alisnya. Ia kian tak bisa memahami ke arah mana bahasan mereka. Kalimat jawaban lanjutan seorang Davae Hernandez yang terkesan ambigu.

Alena pun bingung juga harus memberikan tanggapan paling bagus seperti apa. Sebab, ia juga tak terlalu penasaran. Menurutnya, pria itu hanya berupa memancing. Jawaban tidak akan penting atau berkaitan dengan uang. Jadi, Alena bisa mengendalikan rasa ingin tahu dan juga ketertarikannya.

“Hei, aku bertanya. Kau malah diam saja.”

Alena menggeleng pelan. “Baiklah, katakan alasan yang membuat kau lamban makan.”

“Jika tidak masuk akal dan rasional. Ataupun lucu. Aku tidak akan terkesima. Kau paham? Aku tahu kau tidak pandai melucu,” imbuh Alena dengan nada peringatan cukup jelas. Terkesan ketus.

Kontras akan senyuman jahil yang sedang dirinya pasang di wajah. Tentu, memang sengaja untuk membuat seorang Davae terheran-heran. Bukanlah perkara sulit baginya.

Terbukti berhasil karena sang atasan meloloskan tawa yang cukup kencang. Namun, tak terdengar sebagai ejekan atas jawabannya tadi. Ia bukan tipikal mudah tersinggung.

“Aku memang kurang bisa melucu. Tapi, aku punya bakat berbisnis yang bagus untuk menghasilkan uang. Bagaimana? Kau suka, Miss Alena?”

Alena mengangguk cepat sembari memperlebar lagi seringaian. “Tentu saja aku suka uangmu.”

“Dan daripada kau beraksi tapi gagal. Kau lebih baik cepat habiskan makananmu. Aku paling tidak suka pria yang malas. Ak—“

“Aku lamban makan karena terpesona oleh kecantikanmu, Sayang. Kau selalu saja bisa menggodaku hanya dengan cara tersenyum. Kau sangat manis dan seksi. Aku jujur.”

“Aku tidak bermaksud untuk merayu ataupun aku ingin menyenangkan hatimu belaka. Paham?”

Alena spontan tersenyum. Tetapi, tak lebar. Bagaimanapun juga, ia harus bisa menjaga harga diri. Tidak mudah terbuai begitu saja dengan rayuan atau godaan Davae. Pria itu hanya berusaha mengujinya. Bukan ketertarikan semata. Ia harus bisa waspada.

“Kau paham tidak, Miss Alena?”

Alena mengangguk cepat. Kini, raut wajah datar sudah dipasangnya. “Aku paham.”

“Kau jangan banyak alasan lagi, cepatlah habiskan makananmu. Supaya kita tidak terlambat sampai di kantor nanti. Aku tahu kau adalah bos utama, tapi kau jangan seenaknya dengan jam kerjamu.”

Davae terkekeh kembali. Kepalanya pun langsung diangguk-anggukan, ingin menunjukkan bahwa ia akan menuruti ucapan Alena. Mata mereka masih saling bersitatap satu sama lain. Tak akan pernah berlaku rasa bosa memandangi wajah wanita itu.

“Senyumanmu mencurigakan, Mr. Fanderz. Kau sedang memikirkanku bukan? Mengaku saja.”

Tawa Davae secar refleks mengeras. Dan, kembali mengangguk. Seringaian diperlebar. “Benar, Miss Alena. Aku memikirkanmu dan cara bercinta yang terbaik bisa kita berdua lakukan. Menurutmu apa yang bagus?” godanya dengan nada mesra.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status