Share

BAB 4. BOLEH KUBAWA PULANG?

“Mau pesan minum lagi?” Aku bertanya kepada sekumpulan lelaki di depanku. 

“Udahlah cukup, ntar susah,” seorang lelaki berseloroh kepadaku. 

“Susah kenapa?” Kedua alisku mengkerut. Mereka berempat sering kali datang ke Havana Club. Sepertinya mereka berempat anak orang kaya, wajah mereka masih muda, tapi mereka tak pernah absen datang ke sini saat weekend, apalagi saat ada artis datang, mereka sering kali memesan meja VIP. 

Susah, Al, nanti habis duit gak bisa kawinin kamu. Kamu mau mas kawin kamu bill doang?” Noval berseloroh kepadaku. 

“Boleh, kok. Tapiiii, mempelainya wanitanya botol minuman. Mau?” ucapku.

“Yah, mana bisa. Kencing di botol aja aku gak bisa apa lagi ngawinin botol, Al. Yang ada botolnya yang pecah.” Noval tertawa lepas. 

“Kasih liat dia, kasih liat.” Alex mendorong tubuh Noval. 

“Bener, Al? Mau liat?” Noval menatapku dengan tatapan mata yang sulit kuartikan.

“Apaan, sih? Ya enggak ‘lah, mataku masih suci, eh tapi … boleh deh,’ aku tersenyum licik. 

“Beneran?” Novan menyapu bibirnya menggunakan lengan, “jangan salahkan aku, ya, kalau aku khilaf,” Novan sangat bersemangat. 

“Iya, dia pasti suka, kok,” Aku memalingkan wajah, menyembunyikan senyuman.

“Dia? Dia siapa?” Novan mulai curiga. 

“Itu…” tunjukku kepada seorang pengunjung, mereka serentak melihat ke arahnya. 

“Apa?! Banci itu? Gila lo, ya. Ogah gue … amit-amit tujuh turunan. Astagaaaa, kena cipok dia sekali auto kejang-kejang.” Novan bergidik ngeri. Aku tertawa lepas saat mendengar celotehannya. 

Bekerja di tempat ini seringkali memberikanku rasa bahagia, di tempat ini aku tidak terlihat aneh. Aku justru terlihat modis dengan tampilanku. Aku juga tidak perlu merasakan sakit saat kulitku yang super sensitif terkena matahari. Mama dan Bapak-ku tidak tahu aku bekerja di klub malam, “Maafin Albin, ya Ma, Pa. Yang penting Albin gak merepotkan Mama sama Bapak, gak jadi beban,” aku berkata di dalam hati.

Gina menyentuh lenganku, aku memalingkan wajah ke arahnya, “Al, ada yang nyariin Lo.” ucapnya di telingaku.

“Siapa?” tanyaku kepada Gina. 

“Gak tau.” Gina mengangkat kedua pundaknya. 

“Loh, dia kan customer Lo?” aku melihat ke arah meja yang dimaksud Gina.

“Udah, gak papa. Dia maunya sama Lo. Gue udah pesanin minum tadi,” Gina tersenyum manis kepadaku. 

“Eh, bentar, ya. Aku ke sana dulu,” ucapku kepada Noval dan teman-temannya, aku beranjak pergi menuju seseorang yang katanya mencariku. Sementara Gina, dia memilih duduk di depan meja bartender.

“Hai, Halo, saya Albin,” ucapku sambil tersenyum ramah, “Ya, Lord, dia ganteng bangeeet!” aku berteriak di dalama hati. Tentu saja senyumanku menjadi semakin lebar. 

“Hai, Jovan,” dia menyambut uluran tanganku. Eh tunggu, ini kenapa kok tanganku jadi dingin gini, ya?

“Mas, ada yang bisa saya bantu?” Kata teman saya, Mas cari saya,” tanyaku kepadanya. Dia masih terdiam, bahkan masih menggenggam erat tanganku. Dia memperhatikanku sangat dalam. Pipiku terasa panas. Aaaahh aku malu sekaligus senang.

“Mas, saya gak punya telinga runcing, jadi tenang aja saya bukan peri dari negeri dongeng, and i don’t have any magic at all,” ucapku sambil tertawa. Dia tertawa mendengar perkataanku. Saat dia tertawa kedua matanya hilang. 

“Duduk, Albin,” dia tersenyum lebar kepadaku. Aku mengangguk pelan sambil memperhatikannya dalam keremangan cahaya. Dia memiliki kontur wajah yang tegas, seakan menyiratkan dia seorang pekerja keras. Rambut style terbaru, dengan potongan klimis di bagian bawahnya, mengesplor tengkuk dan lehernya dengan sempurna. 

Hidung mancung dan lancip di ujungnya membuat ketampanannya semakin terlihat sempurna. Alisnya cukup tebal dan melengkung, dia juga memiliki bibir yang indah, terlihat hangat dan bersahabat saat dia tersenyum.

Pandanganku turun dari leher ke bagian dadanya, kemeja biru pucat yang dia kenakan terlihat ketat dilapisi jas rompi slim fit berwarna abu-abu membentuk dada bidangnya dengan indah, celana dengan warna senada, sangat pas dan terlihat bagus di tubuhnya.

Aroma woody bercampur citrus menguar lembut dari tubuhnya menyapa indra penciumanku. Menggodaku untuk menghirup napas panjang lagi dan lagi, membuatku merasakan sesuatu yang tidak biasa. Dadaku berdebar cepat tak beraturan. 

“Ada yang aneh?” dia mengangkat kedua alis saat mendapatiku memperhatikannya terlalu dalam sambil menyesap minuman yang tersedia di meja. 

“Oh … gak kok,” aku tersenyum malu, “saya lupa, siapa tadi nama Mas?” aku bertanya ulang. 

“Jovan,” jawabnya pendek. 

“Ok, Mas Jovan, ada apa Mas manggil saya?” tanyaku sopan. 

“Santai aja, gak usah terlalu kaku, gak usah panggil Mas juga, Jovan aja.” 

“Ok Mas Jo.” 

“Gak usah pakai Mas,” ucapnya, dia mengedarkan pandangannya ke sekeliling.

“Ok, Jo. Ada yang bisa kubantu?” 

“Albin, apa minuman terenak di sini?” Jovan memandangku dengan lekat, “kamu sukanya apa?” 

“Banyak, bartender kami menciptakan banyak menu cocktail terbaru.” Aku bicara sambil tersenyum manis lalu menarik napas panjang, siap-siap menyebutkan rentetan menu minuman yang tersedia 

“Apa yang kamu suka?” Aku yakin kamu sudah mencoba banyak minuman ‘kan, tolong pesankan untukku juga.” 

Aku terkejut, “Well, aku suka minuman triple sec,” sahutku. 

“Kamu suka yang manis dan ada rasa rasa jeruknya, ya?” tanya Jovan. 

“Ya.” Aku mengangguk. 

Jovan menaikkan tangannya tinggi-tinggi  menyalakan pemantik. Beberapa saat kemudian seorang waiter datang. Aku memesan minumanku. Jovan juga memesan minumannya, tapi dia lebih memilih whiskey.

Tidak lama kemudian minuman kami datang, aku meminumnya perlahan sambil berbincang bersamanya. Saat habis, dia kembali memesannya lagi dan lagi. Aku lupa sudah berapa banyak yang kuminum. Tiap gelas minuman yang dibeli Jovan adalah penghasilan tambahan buatku, sepuluh persen dari harga minuman adalah milikku, jadi … kenapa tidak?

Jovan terus menawariku minum meski aku berkata sudah tidak sanggup lagi. Dia hanya tersenyum sambil menuangkan minuman ke dalam gelas, hingga dia berbuat sesuatu yang kembali menarik minatku.

Jovan POV.

Albin terlihat memperhatikanku sangat dalam, “Ada yang aneh?” tanyaku. Aku tau dia mengagumiku, setidaknya dia terlihat begitu. Aku menyesap minumanku.

“Gak kok, Mas,” ucapnya tersipu malu.

Aku melihatnya tersipu. Aku tidak bisa menahan senyumanku. Dia  manis. Albin kembali menanyakan namaku. Wajar saja dia lupa, setiap hari dia bertemu banyak orang baru. Berbeda denganku, aku bisa membaca namanya kapan saja, apalagi dia punya nama yang unik, gampang diingat.

Aku melihat ke sekeliling, teman-temannya duduk di meja lain minum bersama pelanggan lain. “Ok, berarti aku bisa mengajaknya minum bersamaku.”

Aku menanyakan minuman kesukaannya. Kami minum dengan ceria, gelas kami berdenting beberapa kali.

“Albin, sudah berapa lama kamu kerja di sini?” tanyaku di telinganya. 

“Sudah setahun.” Ucapnya. Dia merogoh saku lalu menyalakan rokok kemudian menyesapnya dalam-dalam. Aku menyentuh ujung rambutnya yang berwarna putih. Tentu saja dia tidak melihatnya. Aku yakin warna rambutnya asli saat aku melihat kulitnya seputih salju. 

“Albin, kamu boleh dibawa pulang?” tanyaku kepadanya.

Aku memperhatikan matanya yang berwarna biru mengerjap beberapa kali saat mendengar pertanyaanku. “Gilaaaa dia cantik banget!”

Aku menikmati tiap inci wajahnya. Siapa pun yang melihat Albin pasti mengakui betapa cantiknya dia, tapi selain itu ada sesuatu yang menarik dari dalam dirinya. 

“Aku bukan boneka,” sahut Albin tertawa gelak, “aku gak boleh dibawa pulang.” ucapnya dengan nada ceria. Saat melihat Albin, sejenak aku lupa dengan semua masalahku. Keceriaannya menular. Aku tau dia sudah mulai mabuk, dia jadi lebih sering tertawa gelak. Aku suka sekali melihatnya tertawa. 

“Albin, mari main,” aku kembali menyalakan pemantik memanggil waiter.

“Main apa?” tanya Albin sambil tersenyum. Aku kembali menyentuh rambutnya yang putih dan ikal. Dia unik dan lucu. 

“Jankenpon.”

“Apa itu?” 

“Gunting, batu kertas,” ucapku. Seorang waiter datang, aku meminta minuman lagi satu botol beserta kentang goreng dan keripik kentang.

“Yang kalah minum, gimana?” 

“OK.” Albin mengangguk dengan cepat. 

Permainan itu pun dimulai, dia kalah beberapa kali, tapi Albin meminumnya dengan senang hati sambil tertawa. Setelah beberapa lama, dia meletakkan kepalanya di bahuku. Sepertinya dia mulai mabuk berat, tapi minuman kami masih tersisa. Aku tidak bisa menghabiskannya karena aku harus menyetir. 

“Albin,” panggilku sambil melepaskan tanganku dari lingkaran tangannya.

 Albin mengangangkat wajah, dia melihat ke arahku. Aku menuangkan minuman ke dalam gelas.

“Ayo minum lagi, sedikit lagi.”

“Gak bisa, aku sudah gak sanggup lagi,” Albin menggelengkan kepala. 

“Albin, lihat ini.” Aku mengambil uang 100 $ US lalu meletakkan di atas bibir gelas, “Kalau kamu minum, kamu boleh ambil uang ini.” Mata Albin terbuka lebar saat melihatnya, aku tersenyum. 

“OK,” sahut Albin cepat. Dia menarik napas panjang lalu mereguk isinya hingga habis.

Sayang uang 100 $? Jika dihitung tentu saja uang itu lebih banyak nilainya daripada minuman sisa kami, tapi tidak masalah, aku ingin membawa Albin pulang. 

Aku melakukannya lagi dan lagi hingga 500 $ berada di dalam genggaman Albin, dan saat  gelas yang terakhir dia habiskan isinya, Albin tersedak, beberapa detik setelahnya, dia hampir terjatuh ke belakang, aku menahannya, menariknya ke dalam pelukanku. 

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status