Share

BAB 7. TASYA

Jovan memperhatikan presentasi dari direktur keuangan perusahaan. Mereka semua menatap ke LED screen besar di ruang meeting. Perusahaan kayu lapisnya semakin terancam karena kayu semakin sulit didapat. Bahkan mereka memiliki rencana mengurangi pegawai demi menyesuaikan keuangan perusahaan yang semakin sulit.

Adi Jaya Sakti-ayahnya Jovan dan beberapa investor mendengarkan rapat dengan saksama. Tidak lama setelah itu Jovan memberikan presentasi untuk mengambil proyek pembukaan lahan yang akan dilakukan perusahan sawit, mereka bisa memberikan separuh harga untuk membuka lahan itu, tapi semua kayu yang ditebang menjadi milik PT. Adi Jaya Sakti. Para pemegang saham setuju dengan solusi itu. Rapat berlangsung lancar meski terjadi perdebatan ringan. 

Jovan merapikan beberapa dokumen dibantu sekretarisnya. Hari yang sibuk dan melelahkan baginya. Ia hampir tidak tidur kecuali beberapa jam saja. Dia baru sampai ke rumah jam 4:15 pagi setelah mengantarkan Albin pulang ke rumah.  

Hari berlalu pekan berganti, Jovan sangat sibuk mengatur proyek baru yang perusahaannya kerjakan. Ia memastikan semua berjalan baik. Pegawai sudah dikirim ke lokasi, alat berat sudah dikirim, semua menyita waktu dan pikirannya. Dia selalu pulang di atas jam 9 malam, saat pulang pun dia masih bekerja di rumah. 

Jovan sangat sibuk hingga dia lupa seorang gadis sudah menunggunya selama seminggu setiap malam.  Hingga gadis itu pun melupakannya dan tidak pernah lagi berharap akan kedatangannya. 

~Tiga pekan setelah pertemuan Albin dan Jovan~

Jovan memperhatikan hamparan pepohonan lebat. Saat ini ia berada di tengah hutan belantara di luar pulau untuk meninjau langsung lahan yang akan mereka garap. Dia dan beberapa bawahannya termasuk personal asistennya harus berjalan kaki menuju camp terdekat karena medan tidak bisa lagi ditempuh mengendarai mobil. Meski begitu ia senang semua berjalan baik, rasa lelahnya belasan jam dalam perjalanan terbayarkan. 

Jovan kembali ke hotel dengan kelas terbaik. Dia merebahkan tubuhnya yang lelah di kasur sambil memijat pelipisnya yang terasa berdenyut kuat. Ia lelah dan juga bosan. 

Ia mengambil ponsel dan melihat jam. Waktu sudah menunjukkan pukul 00.15. Jovan meletakkan kembali ponselnya kemudian berusaha memejamkan matanya. Rasa kantuk menyerangnya. 

Drrtt … Drrrtt!!!

Ponsel Jovan tak henti-hentinya bergetar. Meski malas, dia tetap berusaha membuka mata, “Papa” namanya itu tertera di layar ponselnya. 

“Halo,” jawab Jovan dengan malas dan suara parau. 

“Gimana semua lancar?” 

“Iya, Pa semua lancar. Kita harus pertimbangkan untuk beralih ke bisnis sawit, Pa.” 

“Iya, sepertinya juga begitu. Aku ingin mewariskan perkebunan sawit untuk cucuku nanti.” 

“Pa…” Jovan mendesah gusar.

“Gimana, sudah ada? Kamu sudah menemukan calon menantuku?”

“Astaga, Papa…”

“Ini sudah hampir enam minggu, Jovan.” 

“Pa, kenapa aku cari istri dikejar deadline seperti ini?”

“Biar kamu berusaha lebih keras!”

“Haruskah aku juga kerja lembur mencari istri?” dada Jovan menyesak, “Aku terus lembur untuk perusahaan. Kapan mau cari istri, Pa?”

“Papa yang carikan.” 

“Pa, aku capek. Boleh aku istirahat?” 

“Enam minggu lagi Jovan.” 

“Astagaaaaa, Papa…! Gak anak, gak karyawan Papa tekan.” 

“Kadang orang lebih kreatif saat di bawah tekanan.” 

“Papa… cari istri bukan dengan kreatifitas.” 

“Kamu gak niat, kalau niat pasti bisa.” 

“Ya ampuuuun!” Jovan ingin menangis rasanya. 

“Ya udah kamu istirahat, ingat enam minggu lagi Jovan!” 

“Iya… Pa. Iya! Gak usah diingetin terus. Itu namanya Papa bukan nyuruh istirahat, tapi nyuruh cepat mati. Ampun deh.”

“Ya udah.” Adi memutuskan panggilannya. 

“Iiiiihhhh,” Jovan menggenggam ponselnya kuat-kuat dengan perasaan gemas dan kesal. 

BRAAAK!!!

Jovan melemparkan ponselnya ke dinding sekuat tenaga saking kesalnya. 

Setelah beberapa saat dia mengambil ponsel itu. Seluruh layarnya retak. Jovan mendesah kasar, untung saja ponselnya masih berfungsi dengan baik. Ingin rasanya dia kembali melemparkannya puluhan kali, tapi dia ingat, dia butuh ponsel itu, setidaknya sebelum dia membeli yang baru. 

Jovan menekan menu kontak di ponselnya, lalu membuat panggilan, “Tasya, ke kamar Lo ke kamar gue bentar.” Dia bicara kepada asistennya. 

“Ok,” ucap seorang wanita di ujung sana. 

Jovan menunggu beberapa menit, tidak lama setelahnya dia mendengar denting bel ditekan. Ia membuka pintu dan mempersilahkan Tasya masuk. 

“Ada apa, Pak?” tanya Tasya. 

“Ponsel gue rusak.” Jovan menyodorkan ponselnya. 

“Kenapa ini, Pak?” 

“Jatuh. Besok beliin gue ponsel baru. Salinkan semua datanya.”

“Tipe yang sama, Pak?” 

“Iya.” 

“Siap, Pak. Ada lagi, Pak?” 

“Gak ada.” 

“Saya balik ke kamar, Pak,” ucap Tasya. Jovan mengangguk pelan. 

“Tasya…” panggil Jovan pelan. 

“Ya, Pak.” Tasya menghentikan langkah. Dia membalikkan tubuh lalu memandangi Jovan sambil menanti apa yang akan dikatakan bosnya.. 

“Tasya, umur Lo berapa?” tanya Jovan sambil memperhatikan Tasya lekat-lekat. Dia mengernyitkan keningnya. Dia merasa ada yang lain dari asistennya. 

“Saya sensitif kalau ditanya umur. Emangnya kenapa, Pak?

“Sensitif mana sama kalau kita ngomongin soal gaji Lo dipotong karena Lo jawab pertanyaan gue berbelit-belit?” 

“Tiga puluh tiga, Pak.” jawab Tasya cepat, “kenapa Pak?” Bos reseeee!” Tasya menjerit di dalam hati. 

“Seberapa penting, sih, sex buat Lo?” 

“A-apa, Pak?” Tasya sangat terkejut. Hampir dia tersedak air liurnya. 

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status