Share

BAB 8. AKHIRNYA INGAT

~Jovan POV~

Aku menyodorkan ponsel kepadaTasya, memintanya menggantikan ponselku besok. Tasya, dia seseorang yang sangat kupercaya. Dia bekerja bersama kami selama dua belas tahun. Bersamaku enam tahun dan bersama papa enam tahun. 

Ya, Tasya sebelumnya asisten papa kemudian papa menyerahkan kepadaku saat dia tidak aktif lagi bekerja.

Tasya adalah seseorang yang jika diminta semua pekerjaan beres. Kadang dia sudah mengerjakannya sebelum kuminta. Seringkali saat aku mengatakan meminta sesuatu, ternyata sudah beres. Dia seperti bisa membaca pikiranku di masa depan. 

Dia adalah salah satu dari tiga asisten Papa. Salah satunya Papa Jadikan istri. Entah kenapa saat itu Papa mencari asisten muda, ada satu lagi asisten senior yang membimbing  mereka sehingga mereka jadi sangat terampil. 

Tasya selalu berpenampilan sopan, bahkan bisa dibilang terlalu sopan. Tidak pernah satu kali pun dia membiarkan rambutnya terurai. Tasya selalu menggelungnya ke belakang. Style pakaiannya cuma dua, celana panjang atau rok panjang tanpa belahan. Sama sekali tidak sama seperti pekerja lainnya. 

Tasya selalu menggunakan kacamata dengan bingkai terlalu besar di wajahnya. Hampir menutupi tulang pipinya. Tasya selalu terlihat tampil  tanpa make-up. Kecuali saat ada acara besar perusahaan seperti makan makan malam bersama seluruh staf saat malam tahun baru.

Dia sangat jauh berbeda dengan pekerja wanita lainnya, tapi aku tidak mempermasalahkan hal itu.  Aku tidak butuh asisten cantik, pesolek tapi kerjanya tidak becus. Aku rela menukar sepuluh pegawai wanitaku yang lain demi Tasya. 

Malam ini, dia terlihat begitu berbeda. Aku berpikir keras, apa yang membuatnya berbeda? Dia pergi menjauh saat aku berkata tidak memerlukan apa-apa lagi. Aku memandanginya sejenak sambil berpikir. 

Aaaah, aku tau, kacamata. Tasya tidak memakai  kacamata. Dia terlihat sangat cantik tanpa kacamata kebesaran itu. 

Sangaaaaaat cantik!

“Tasya…” aku memanggilnya. 

Dia membalikkan tubuh dan aku memperhatikannya lekat-lekat. 

Tasya hanya menggunakan celana pendek ketat menutupi separuh pahanya, baru kali ini aku melihat paha Tasya. Tank top hitam membalut tubuhnya dengan indah. Separuh dadanya menyembul dari bajunya yang berdada rendah. Sangat kontras tank top hitam itu dengan kulitnya yang kuning langsat, gundukan itu semakin terlihat menarik. 

“Tasya, seberapa penting, sih,  sex buat Lo?” tanyaku tiba-tiba. 

“A-apa, Pak?” Tasya tergagap. Aku memperhatikannya semakin dalam. Wajahnya merona. Aku melangkah mendekatinya, aroma harum sabun dan shampo menguar lembut dari tubuh Tasya. 

“Buka, Tasya!”

“Apa yang dibuka, Pak?” 

~Tasya POV~

“Aaahh,” aku mendesah puas saat air hangat mengaliri tubuh yang lengket dan lelah. Perjalanan meninjau lokasi ini sangat melelahkan, dari bandara ibu kota memerlukan waktu 13 jam. 

Ya Tuhaaan, aku sangat lelah. Kami baru tiba di hotel sejam yang lalu. Setelah merebahkan diri beberapa saat di kasur baru aku mandi. Pinggangku, sakit sekali. Jalanan menuju lokasi hampir mirip track offroad. Setelah ini aku bisa tidur nyenyak, semoga saja bos gila kerja itu tidak menelponku. 

Tapi … rasanya itu mustahil! 

Dia selalu punya alasan menelponku, bahkan saat lebaran sekalipun! 

Dia memang keterlaluan! Tengah malam pun seringkali aku dihubungi. Kesal? Tentu saja, tapi mau bagaimana lagi, menjadi asistennya sama artinya menjual separuh jiwaku kepadanya dengan imbalan gaji perbulan yang kuterima. Doaku panjang sekali, meminta dia pingsan saja karena kelelahan.

Aku memijat kulit kepala. Uuuh! Enak sekali. Bahkan mandi air hangat saja sudah terasa membahagiakan bagiku saking jarangnya aku menerima kesenangan semenjak aku melangkahkan kaki ke gedung kantor PT. Adi Jaya Sakti Group dua belas tahun yang lalu. 

Tanteku bekerja sebagai asisten bos-besar, ayahnya-Jovan. Dia mengatakan Pak Adi mencari dua orang asisten baru. Saat itu aku baru lulus kuliah. Ada juga teman kerjaku masuk di hari yang sama, dia juga asisten Pak Adi, namanya Ririn. Tanteku membimbing kami berdua. Dia berpesan kepadaku agar aku selalu menggunakan pakaian tertutup, sementara Ririn, dia berpakaian sesuai keinginannya, dia cantik dan sexy. Sembilan bulan setelah kami bekerja, Pak Adi menikahinya. 

Awalnya aku bingung. Kenapa? Kenapa aku tidak boleh berpakaian seperti yang kumau? Kenapa aku harus seperti emak-emak yang tidak mengerti fashion padahal aku masih muda, dan selera berpakaianku bagus. Lama-kelamaan, aku mengerti, Tanteku menyayangiku hingga. 

Saat aku bekerja bersama Pak Adi, banyak hal yang kulihat dan kudengar, tapi apa pun itu, apa bila tidak menyangkut pekerjaan, kami harus bersikap seolah-olah bagai dinding tembok, tidak mendengar dan tidak melihat. 

Lalu bagaimana ketika aku bekerja bersama anaknya si Jovan? Terasa sedikit lebih baik. Setidaknya dia tidak bersikap sadis kepada wanita, karena dia tidak pernah terlihat bersama wanita mana pun, bisa dikatakan dia terlalu cuek. Sesekali melihat wajah tampannya, sedikit menguraikan ketegangan. 

Aku masih ingin berlama-lama di bawah pancuran air, tapi rasanya samar-samar aku mendengar ponselku berdering. Nada dering itu sangat spesial, hanya untuknya nada dering dengan bunyi seperti itu. Aku segera keluar kamar mandi melilitkan handuk sekedarnya di dada lalu mengambil ponsel. 

“Hmmm, tuh kan bener. Ada aja alasannya menelponku, tapi aku bisa apa? Aku hanya mampu berdecak kesal. 

“Halo, Pak.”

“Iya, Pak saya ke sana.” 

Aku mengenakan pakaian seadanya di atas kasur yang sudah kusiapkan tadi sebelum mandi. Kurapikan rambutku yang basah sekedarnya dengan penjepit rambut. Semua harus dilakukan dengan cepat. Setengah berlari kususuri koridor hotel menuju kamar Pak Jovan di ujung sana. 

Saat aku masuk, dia menyodorkan ponselnya yang retak kepadaku. Dia bilang terkena jatuh. Aku tahu sebenarnya dia pasti mau mendapatkan ponsel baru saat ini juga, tapi dia pasti juga tahu, tidak mungkin membeli ponsel di jam begini. Aku berniat melangkah ke luar kamar saat dia berkata tidak memerlukan hal lain. 

“Tasya,” dia memanggilku, langkahku terhenti. Aku membalikkan tubuh sambil melihat ke arahnya. Dia memandangiku sangat dalam. Kurasa baru kali ini dia melihatku sebagai manusia.

“Seberapa penting, sih, sex buat Lo” 

Aku sangat terkejut dengan pertanyaanya, kupikir aku salah dengar atau dia salah ucap? Mungkin maksudnya seberapa penting pekerjaan untukku, begitu kan?

“Buka Tasya.” Dia mendekatiku. Aku terdiam membeku, tak bergerak. 

“Apanya yang dibuka, Pak?” aku semakin gugup. Apa maunya kini, aku tidak berani menduga-duga. Setelah menanyakan masalah sex dia tiba-tiba menyuruhku membuka yang entah apa. 

Dia semakin mendekat. Aku semakin gugup. Aroma sabun maskulin menguar lembut dari tubuhnya, aku yakin dia pun baru mandi sama sepertiku. 

Aku masih terdiam. Dia berdiri tepat di depanku tidak ada jarak di antara kami. 

Aku menundukkan wajah, tidak berani menatapnya. Dadanya tepat di depan wajahku, aroma wangi tubuhnya semakin tercium dan semakin menggetarkan tubuhku. 

Detak jantungku iramanya berubah rancu tidak beraturan. Jovan mengangkat lengan. Aku memejamkan mata rapat-rapat. Dia mau memelukku. Aku yakin itu. Pasti!

Aku merasakan sentuhan di belakang kepalaku. Dadaku  bertalu semakin cepat. Napasku sesak dan cepat. Aku hampir  blackout karena jantungku terlalu cepat memompa. Tubuhku lemas dan gemetar.  

“Lo cantik,” puji Pak Jovan tiba-tiba. 

Aku terkejut dan penasaran. Apa yang terjadi? 

Kubuka mata pelan-pelan. 

Ternyata dia melepaskan penjepit rambutku, hingga rambutku yang basah dan panjang jatuh tergerai menutupi sebagian dadaku. 

“A-apa, Pak? Hemmm… maksud saya terima kasih.” Aku memandanginya dengan gugup. Dia tersenyum manis sekali. 

“Tasya, Lo belum jawab. Seberapa penting sex buat Lo?”

Sial! Pertanyaan apa itu?! Aku bingung mau menjawab apa, “Maksudnya, Pak?” 

Sorry, pertanyaan gue pasti bikin Lo gak nyaman, tapi kita sudah kenal lama ‘kan? Gue harap Lo gak salah paham.” 

“Gimana gak salah paham coba? Ujug-ujug ditanya masalah sex. Di dalam kamar hotel, tengah malam, berduaan pula! Ini apa maksudnya?! Perempuan mana yang gak salah paham?” Aku mencoba mengumpulkan kesadaranku yang tiba-tiba menguap karena pertanyaan anehnya.

“Maaf, Pak saya kurang paham dengan maksud pertanyaan, Bapak.” 

Dia berdecak kesal sambil membuang wajah. Terlihat dari  raut wajahnya, jelas sekali dia tidak suka mendengar berusaha memperjelas maksud dari pertanyaan anehnya. 

 “Penting, Pak,” Jawabku segera saat melihat ketidaksukaan di wajahnya. Sepertinya nanti gajiku benar-benar dipotong kalau begini kejadiannya,  “Gimana saya mau punya anak kalau gak berhubungan sex.” 

“Lo mau punya anak?”

“Ya mau lah, Pak. Tapi nanti kalau udah nikah.” 

“Lo mau nikah?”

“Ya mau lah! Siapa yang gak mau nikah?” Mungkin elo bos yang gak mau. Gerutuku di dalam hati. 

“Sudah ada calon?”

“Udah, Pak.” Kenapa, sih? Aneh banget ni, bos. Apa kesambet di hutan waktu ke lokasi tadi, ya? Aku terus bertanya-tanya akan sikap anehnya.  

“Siapa?” Dia mendelik kepadaku

“Nanti kalau saya kawinan, Bapak datang, ya. Nanti bisa kenalan sama suami saya. Memangnya kenapa, Pak?” 

“Gak papa, tanya aja.” Dia memandangku dengan tatapan yang sulit kuartikan. Entah apa yang ada di dalam pikirannya. 

“Bapak gak mau menikah?”

“Mau.” 

“Udah ada calon?” 

“Dia udah punya calon suami.”

“Heh?! Siapa, Pak?” 

“Elo, Tas!” 

“A-apa Pak?!” 

“Iya, Elo," ucapnya tanpa ragu.

Aku menelan ludah beberapa kali sambil mengerjapkan mata berulang kali. Aku terdiam membisu.

 Ogaaaaaah gueeee! 

Gak mauuu!!!

Amit-amit! Ntar yang ada disuruh kerja 24 jam dan tujuh hari seminggu. 

“Saya sudah punya calon suami, Pak," ucapku susah payah.

Dia tertawa gelak, sepertinya ketakutan di wajahku terlihat jelas. Dia tertawa hingga terpingkal-pingkal. 

“Ya, udah balik ke kamar sana. Besok pagi-pagi kita balik ‘kan?” katanya sambil menatapku sangat dalam. Senyuman Rumit bin Aneh tersemat di bibirnya. 

“Iya, Pak.” Aku segera pergi dari kejadian horor itu. Tidak tau apa maksud pertanyaannya, apakah dia bercanda atau serius? Bahkan saat dia bercanda pun sudah sangat menakutkan bagiku. 

****

Jovan duduk di lounge hotel sambil menikmati alunan musik lembut. Dia menyesap wine-nya perlahan. Rasa manisnya memberikan ketenangan tersendiri baginya. Ia  ingin tidur nyenyak setelah ini, sedikit wine Jovan pikir bisa mengantarkan tidurnya jadi lebih cepat. 

Ia berdiri dari kursi. Waktu sudah menunjukkan pukul 1:45 dini hari. Dia bermaksud kembali ke kamarnya. Saat dia melewati lobi hotel, ketika itu juga siluet tubuh seseorang menarik perhatiannya. 

Seorang wanita berambut putih dan panjang terlihat memasuki lorong menuju toilet wanita. Jovan mengejarnya, “Albin!" dia memanggilnya dengan keras. Wanita itu tetap tidak menoleh. 

Jovan berlari semakin kencang, dia menarik pergelangan tangan wanita itu, “Albin!” panggilnya dengan napas terengah-engah. 

Wanita itu memalingkan wajah.

 “Maaf saya salah orang,” ucap Jovan sambil tersenyum malu. Wanita itu mengangguk dan meninggalkannya. Jovan memandangi punggung wanita itu hingga menghilang dari balik pintu toilet.

Jovan mengambil ponselnya yang retak, dia mengirim pesan kepada Tasya dan sekretarisnya untuk mengingatkannya menemui Albin besok malam jam 9. 

Comments (2)
goodnovel comment avatar
Snow Sparkle
woooow! it's good
goodnovel comment avatar
Snow Sparkle
aku mau tes gimana caranya kolom komentar ini bekerja
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status