Share

BAB 9 MAS JO YANG BAIK HATI

Jovan menuruni tangga rumahnya sambil menenteng sebuah tas kerja di tangan. Dia mau menikmati sarapan pagi sebelum berangkat ke kantor pagi ini. Tubuhnya sebenarnya masih lelah karena baru kemarin sore tiba dari luar pulau meninjau lokasi lahan yang digarap perusahaannya.Namun, karena banyak hal yang harus dikerjakan dia tetap ke kantor hari ini.  

Ia bersenandung ringan sambil menapaki anak tangga. saat dia melihat lurus ke depan, di ruang makan sudah duduk lelaki tua yang sangat dikenalnya. 

"Papa, sejak kapan datang?" Jovan menarik napas panjang melihat sang ayah sudah menunggunya. 

"Baru aja, paling lima belas menitan," ucap Adi sambil tersenyum melihat putranya mendekat. 

Jovan menarik kursi lalu duduk di atasnya. Dia mengetuk meja beberapa kali dengan pelan. Memastikan meja yang baru dibelinya itu kuat dan tidak rusak jika ayahnya kembali kalap dan membanting meja.

Ia menyesap tehnya sambil melirik kepada Ayahnya, Jovan merasa tidak nyaman saat dipandangi Adi begitu rupa, "Kenapa, Pa?"

"Gak ada apa-apa."

"Dia sudah punya calon suami."

“Dia siapa?"

"Hemmm … pura-pura," seloroh Jovan tersenyum tipis sambil menggelengkan kepala, "Papa kemarin telpon malam-malam suruh cari istri dengan benar itu apa maksudnya? Suruh aku sama si Tasya 'kan?" 

"Kamu sudah tanya dia?"

"Sudah, dia sudah punya calon."

"Sayang sekali, dia sepertinya calon istri yang baik." Adi menyantap bubur oat yang sudah terhidang di meja. 

Jovan menghela napas kasar karena kesal. Meski begitu dia berusaha menekan segala perasaan kemudian membicarakan masalah bisnis bersama sang ayah. 

Setelah satu jam ia pamit ke kantor. Waktu sudah menunjukkan jam 8 pagi, Adi-ayahnya-Jovan pulang ke rumahnya yang baru. 

Jovan memasuki mobil diantar sopir menuju kantornya. Ia memasang earphone bluetooth di telinga lalu memperhatikan tablet-nya. Dia memeriksa pekerjaan sambil membuat panggilan telepon kepada beberapa orang. Perjalanan 90 menit itu tidak terasa baginya karena dia sambil bekerja. 

Seorang security membukakan pintu mobil Jovan. Dia melangkah keluar mobil lalu memasuki lobi kantor. Saat melewati pintu utama yang terbuat dari kaca bening dan tebal ia mengangguk pelan sambil tersenyum melihat Tasya berdiri di sisi pintu sebelah kanan. 

Jovan terus melangkah maju sementara Tasya berjalan di belakangnya berjarak dua langkah. 

"Bacakan," perintah Jovan. 

Tasya menarik napas panjang, "Jam 10 rapat kinerja dengan dewan direksi. Jam 12 makan siang bersama dengan CEO Sinar Wijaya. Jam 2 main golf bersama para pemegang saham. Jam 9 malam bertemu Albin."

"Albin … “ Jovan menghentikan langkahnya secara tiba-tiba. 

"Ya, Pak. Bapak yang minta diaturkan jadwal ketemu Albin hari ini."

"Ya aku yang minta. Pesankan meja VIP di Havana Club."

"Baik, Pak," ucap Tasya mengangguk paham. Mereka berjalan beriringan menuju ruangan kerja Jovan. 

***

Jovan memperhatikan layar komputernya dengan saksama, keningnya mengkerut, terlihat jelas dia sedang berpikir keras. Sesekali dia menggelengkan kepala sambil berdecak kesal. 

Terdengar bunyi telepon memecah kesunyian ruangan Jovan. Dia mengangkatnya. 

"Pak, sudah jam 8, Bapak ada pertemuan dengan Albin di Havana.” Tasya mengingatkan dari ujung telepon. 

Jovan melihat ke arloji di pergelangan tangan, waktu memang sudah menunjukkan jam 8 malam, "Ok, terima kasih, Tasya."

Tasya sedikit terkejut, Jovan tidak pernah mengucapkan kata terima kasih sebelumnya hanya karena dia mengingatkan agenda acara harian yang harus dikerjakannya. 

"Sama-sama, Pak. Kita pergi sekarang?" 

"Lo gak ikut. Pulang aja." Jovan berdiri dari kursi.

"Baik, Pak. Selamat malam." Tasya bersorak di dalam hati. Biasanya dia selalu ikut Jovan ke mana pun dia pergi. Tasya yakin, kali ini pasti bukan masalah pekerjaan. 

***

Jovan POV

Aku menuju Havana diantarkan sopir. Saat memasuki area parkiran dadaku berdebar tak beraturan. Sudah lewat sebulan yang lalu aku bertemu dengannya. Aku lupa karena saking padatnya pekerjaan. Aaaah, entah apa yang dia pikirkan tentang aku. 

Sesampainya di Havana  aku meminta sopirku agar pulang naik taxi online setelah memintanya memarkir mobil di basement. Kulangkahkan kaki menuju lift, terbayang dalam ingatanku mengejarnya malam itu. Aku tersenyum teringat bagaimana cara dia tersenyum.

Kumasuki pintu Havana setelah membayar tiket. Segera saja aku disambut musik yang keras dan menghentak. Seorang wanita mendekatiku, aku sudah bisa membaca namanya dari jauh, nama yang menyala dalam gelap, “Dhea”, dia seseorang yang belum kukenal. Baguslah. 

“Selamat malam, saya Dhea.” Wanita itu menyurungkan tangan sambil tersenyum manis.

“Selamat malam.” Aku menyambut uluran tangannya. 

“Sudah aja meja?” tanya Dhea. 

“Sudah.”

“Atas nama siapa?”

“Jovan.” 

“Baik, silahkan tunggu, saya cek dulu,” ucap Dhea sambil tersenyum. Dia melangkah keluar. Sepertinya dia menuju meja loket. Entahlah, aku cuma menebak-nebak. Pintunya tertutup saat dia keluar. 

Tidak lama kemudian dia kembali dan berjalan ke arahku, “Mas tadi beli tiket?” 

“Iya.” 

“Sini tiketnya, saya minta uangnya balik. Harusnya Mas gak perlu beli tiket. ‘Kan sudah pesan meja.” Dhea pergi keluar lalu datang lagi dan memberikan sejumlah uang kepadaku.

“Mari, Mas, room 107.” Dhea membuka tangan.

 Kami melangkah ke sayap kiri club. Berjejer meja dan kursi yang hanya disekat separuhnya agar bisa melihat penampilan para pemain band di atas panggung. 

Aku berjalan di belakang Dhea. Dadaku berdebar lebih cepat saat dari tempatku berjalan, aku melihat seorang gadis berambut putih. Dia benar-benar terlihat berbeda dan bersinar di antara teman-temannya. Kulit dan rambutnya sangat kontras dengan keremangan cahaya di dalam sini. Dia seperti setitik cahaya terang dalam kegelapan. 

Sampai juga langkah kakiku mendekati mejanya.  Dia sedang asik tertawa dan tersenyum bersama dua orang lelaki. Aku menahan napas, sesaat jantungku berdebar lebih cepat. Sial! perasaan apa ini? Saat aku rapat dengan calon investor pun rasanya tidak seperti ini. 

Aku menatapnya dalam-dalam, di saat yang sama Albin mengarahkan pandangannya kepadaku.

 Aku menelan ludah gugup. Dia tersenyum lebar, cantiiiik sekali. Aku tersenyum lebih lebar. Dia berdiri. Aku mempercepat langkah saat melihat dia berdiri menyambutku. 

“Heeeiiii,” serunya riang. 

Dia merangkul. 

Sayangnya bukan aku. Dia merangkul Dhea.

Ughh…! Ternyata dia menyapa temannya, bukan aku. Bahkan dia tak melihat ke arahku sedikit pun. Aku berjalan melewati mereka berdua yang saling merangkul dan saling berbisik, “Aku cari sendiri,” ucapku kepada Dhea. 

“Jangan.”

“Gak papa.” Aku meninggalkannya menjauh.

Sekilas aku sempat memperhatikan tempat Albin duduk. Di depannya tidak ada gelas. Sepertinya Albin tidak menemani mereka minum. 

Room 107 ‘kan tadi dia bilang? Aku sedikit ragu. Sepertinya iya, 107. Aku segera masuk dan duduk . Aku memilih duduk di sofa yang bisa melihat langsung ke arah Albin duduk. 

Aku melihat Albin dan Dhea duduk kembali di meja itu, mereka asik berbincang. Tidak lama seorang wanita masuk ke dalam room-ku, “Gina” aku membaca namanya. 

“Selamat malam, sudah pesan minum?” tanya Gina sambil tersenyum menyurungkan tangan.

“Belum. Aku lagi nunggu teman,” sahutku sambil menjabat tangannya. Dia memandangiku lekat-lekat. Sepertinya dia berusaha mengenaliku dalam minimnya pencahayaan. Aku tersenyum tipis, apa dia mengingatku? 

“Dengan, Mas siapa?” tanyanya kepadaku. 

“Albin masuk hari ini?” Aku mengalihkan perhatiannya. 

“Oh temennya Albin?” 

“Hemm...hem,” aku mengangguk,” dia masuk kerja hari ini?” 

“Ya, dia masuk. Mau saya panggilkan?’

“Ya tolong.”

“Mau pesan minum dulu sambil menunggu Albin?” Gina menawarkanku. Aku ingat mereka harus mengeluarkan minuman sebanyak-banyaknya ‘kan? Jadi  wajar saja Gina berusaha menawariku. 

“Martini dua.” 

“OK.” Gina menyalakan pemantik tinggi-tinggi. Hanya dalam hitungan menit seorang waiter memasuki room--ku. Gina mengatakan pesananku di samping telinga waiter itu. 

“Saya panggilkan Albin,” ucap Gina di telingaku. 

“Ok,” jawabku sambil mengangguk pelan. 

Gina keluar dari room-ku dan tepat di saat yang sama Albin berdiri dari mejanya. Dia berjalan dari satu meja ke meja lain menyapa pelanggan. Aku segera  mengejar Gina lalu menarik tangannya dengan kuat. 

“Gina, gak usah.” 

“Ya? Gak usah? Apa yang gak usah?” Gina menatapku heran. 

“Albin, gak usah panggil dia.” 

“Mas mau Viar lain?” 

“Gak, aku nunggu teman. Nanti gampang ‘lah kalau mau panggil” 

“Oh, Ok.” Gina mengangguk paham. Aku mengangguk kepadanya sambil tersenyum. 

Aku kembali ke room-ku memperhatikan Albin dari kejauhan. Dia cantik. Senyuman selalu mengembang dari bibirnya. Sesekali Albin tertawa gelak. Tidak lama kemudian dia menyalakan pemantik, seorang waiter mendekat. Dia pasti memintakan pesanan mereka. 

Albin pasti berkeliling menyapa semua pelanggan dan dia pasti sampai ke mejaku jika tidak ada viar-nya. 

Setelah waiter itu pergi dia kembali berbincang dengan mereka. Aaaaaah aku iri melihat keceriaan yang dibawakan Albin untuk mereka. Para lelaki itu tertawa gelak sambil memandanginya, aku tau arti pandangan itu, mereka menyukainya. 

Tidak lama kemudian Albin menadahkan tangan. Seorang lelaki merogoh saku untuk mengambil dompet. Dia meletakkan sesuatu ke tangan Albin. 

Aku tertawa pelan melihatnya, “Albin … Albin, kamu memang suka uang ternyata.” 

 Tapi … siapa yang tidak suka? Aku juga suka. Aku tertawa bersamaan dengan Abin saat di tersenyum senang melihat uang itu. Albin mengucapkan terima kasih dengan wajah berbinar. Aku bisa membaca bibirnya saat mengucapkan itu. Dia memasukkan uang itu ke dalam saku.  

Albin kembali melangkah, dia berjalan ke arahku. Setiap langkahnya membuat jantungku berdebar lebih kencang. Dia semakin dekat dan aku semakin gugup. 

Kuambil minumanku, memaksa cairan itu masuk melewati tenggorokan. Aku berusaha  meminumnya hingga habis. 

“Hai … selamat malam.” Albin bicara suara yang nyaring. 

Uhuk...uhuk…!!! 

Aku memukul dada berkali-kali. 

Aku tersedak! 

Aroma dan rasa alkohol terasa menyengat menyerang tenggorokan dan kepalaku. Aku terlalu gugup dan panik. Ini reaksi yang aneh. Baru pertama kali aku merasakan hal ini di dalam hidupku. 

Albin berlari ke arahku. Dia segera membuka tutup air mineral yang tersedia di meja lalu memberikannya kepadaku.

 Hidungku basah. Minuman itu keluar dari tenggorokan lalu melewati saluran hidung saat aku tersedak. Aku mengambil air yang diberikan Albin untuk menghilangkan rasa alkohol yang terasa sangat sengak di tenggorokan. Beberapa saat kemudian aku membaik.

“Gak papa?” tanya Albin kepadaku. Iris birunya menatapku sangat dalam. 

“Udah gak papa,” ucapku sambil mengangguk lemah. 

“Maaf, ya. Pasti karena kaget denger suara saya, ya Mas?” 

“Enggak kok, emang suara kamu kenapa?” 

“Teman-teman saya bilang kaya’ kambing kejepit,” ucap Albin menatapku dengan wajah yang terlihat lucu. 

Sumpah! Tawaku hampir saja lepas tak terkendali, tapi melihat wajah cemasnya aku jadi kasihan. Menertawakannya padahal dia khawatir kepadaku. Aku ragu dia masih menunjukkan wajah itu jika dia tau siapa aku. 

“Enggak kok, pasti telinga teman kamu yang konslet.” 

“Ah … Mas bisa aja.” Dia tersenyum manis sekali, “Albin,” katanya sambil menyurungkan tangan. 

“Udah tau,” ucapku sekenanya. 

“Heh? Kok tau?” 

“Ini,” aku menunjuk namanya, “aku sudah pernah ke sini. Jovan,” aku menyambut uluran tangannya. 

“Jo … siapa?” mata Albin membulat. 

“Jovan,” ulangku. 

Albin mengambil pemantik di saku blazer-nya, dia menyalakan senter yang terdapat di pemantik itu lalu mengarahkannya ke wajahku.

“Albin! Apa-an ‘sih? Silau tau!” aku menutupi mata menggunakan tangan. Albin memandangiku lekat-lekat. Keningnya mengkerut. 

“Maaf, saya kira Mas Jo yang lain.” 

“Aku memang Jo yang itu.”

“A-apa?” Albin terkejut. 

“Iya, aku Jo yang itu. Jo yang baik hati yang sudah mengantarkanmu pulang sebulan yang lalu.” 

~Albin POV~

Apa?! Dia bilang apa?! Jo yang baik hati? Kutu kupret ini bilang apa?! Dasar kampret tukang tipu! 

Aaarrrggghhh! betapa inginnya aku mengatakan semua sumpah serapah di hatiku. Sayang, aku masih mau terima gaji. Aku kalem …. aku harus kalem. Tarik napas dalam dulu.

Ufff…. 

Tarik napas … buang napas … tarik napas ... buang napas ….. kalau bisa, aku mau buang sial sekalian. 

Aku kalem. Aku gak boleh bar-bar meski kerjanya di bar. 

“Ok, Mas Jo yang baik hati dan tidak sombong, kok bohongin saya?” Aku menekan suaraku sebisa mungkin agar tidak terdengar seperti singa yang mengamuk. 

“Jangan panggil Mas,” dia menatap wajahku lekat

sekate-kate ini orang, “Ok Jo yang baik hati kenapa lo nipu gue?!” 

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status