Albin berjalan pelan bersama temannya keluar dari Havana klub. Mereka saling tertawa. Sesekali saling menggoda dan bercanda. Tawa mereka mengisi lorong parkiran sepeda motor khusus karyawan.
Jovan bersandar pada pilar lorong parkiran. Dia tersenyum manis saat mendengar Albin dan teman-temannya menggosipkan para pelanggan mereka. Dari yang menyebalkan sampai yang baik hati.
Jovan menyusuri jalanan kota menuju rumah Albin. Dia sengaja pulang kerja lebih cepat dari biasanya hari ini. Butuh waktu 90 menit dari kantornya menuju rumah Albin. Jovan tersenyum sambil bersenandung riang mengikuti lagu yang diputarnya melalui music player.Ia mengingat kembali senyuman Albin, kemudian berganti saat wajah gadis itu merengut. Dia sendiri tidak mengerti kenapa suka menjahilinya. Mungkin hidupnya terlalu serius. Jovan juga tidak punya saudara sehingga keinginan bercanda dan menjahilinya tidak pernah tersalurkan. Sepertinya karena itulah dia menjahili Albin.Menjahili pekerjanya di kantor? Tentu saja tidak mungkin, hal itu akan merusak image-nya sebagai pemimpin.Dia tertawa saat mengingat mata Albin berkaca-kaca memakan makanan begitu banyak di atas meja malam tadi. Jovan merasa nyaman saat bersama Albin. Dia merasa senang saat mempermainkann
Jovan menarik pergelangan tangan Albin menuju mobil. Albin berjalan mengukuti langkah kaki Jovan, sementara pikirannya berlarian kesana kemari. Aksi heroik Jovan barusan membuatnya terdiam tak bisa berkata-kata.“Albin, makan, yuk. Lapar nih. Kali ini kamu yang traktir, ya. Beneran kali ini.” Jovan terus melangkah cepat di depan membelah kerumunan manusia.“Albin?” Jovan memalingkan wajahnya melihat ke Albin, “kamu gak mau? Kok diam? Pelit amat, sih!” Jovan menghentikan langkahnya.Jovan merangkul pundak Albin, “Kamu kenapa?” tanya-nya sambil menatap dalam wajah Albin.“Hum..um. Gak papa. Kamu?” tanya Albin gugup. Ritme debaran jantungnya semakin berpacu cepat.“Kan’ kamu liat sendiri aku g
āAAAHHH!ā Jovan dan Albin mendesah keras bersama. Albin dan Jovan sama-sama menjauhkan tubuh mereka dan secara bersamaan pula menyentuh bibir mereka masing-masing. Albin menatap Jovan penuh murka. Bibir dalamnya terasa sangat sakit dan membengkak karena terbentur gigi seri dengan keras. Giginya juga terasa sakit karena merespon benturan. āApa-apan sih?ā Albin berang. Jovan menyapu bibirnya sendiri yang juga terasa sakit. Dia maju beberapa langkah mendekati Albin, āMaaf aku gak sengaja. Abisnya kamu mau pergi gitu aja. Aku udah nungguin dari tadi,ā ucap Jovan menyentuh perlahan bibir Albin yang terlihat sedikit membengkak. āMasih sakit?ā tanya Jovan sambil menatap lekat mata Albin. Dia menyapu bibir Albin dengan ujung jemarinya. Albin terdiam. Dia merasa gugup dan tenggorokannya tiba-tiba tercekat. Ia menelan ludah dengan susah payah. Napas
Albin keluar daricafe, terus berjalan keluar tanpa memalingkan wajahnya untuk menoleh ke belakang. Air mata membasahi kedua pipinya. Dia menyapunya dengan kasar menggunakan lengan. Albin duduk di taman kecil yang terdapat di halamancafe. Dia mengambil ponsel lalu memesan ojekonline. Layar ponselnya basah terkena tetesan air mata. Setelahnya dia memasukkan kembali ponselnya ke dalam tas. Albin terisak kuat, dia menangkupkan kedua tangannya ke wajah. āAku cinta kamu, Jo. Aku cinta kamu,ā ucap Albin lirih di sela isak tangisnya. Albin merasa begitu hancur. Dia berharap Jovan tadi mengatakan cinta kepadanya, karena itu mengajaknya menikah. āSudahlah!ā Albin menyapu air matanya. Albin mengangkat dagunya lalu menegakkan kepalanya. āHidup gue baik-baik aja kok sebelum
ma kamu. Keselamatan kamu terjamin. Mau nikah sama aku?ā Albin menundukkan wajah sambil memainkan kuku-kuku jarinya. Dia memejamkan matanya rapat-rapat sambil menarik napas panjang. āJo, mereka mereka bilang darah Albino berharga mahal. Apa maksudnya? Kenapa mereka maksa aku? Apa salahku? Bukan salahku ākan, aku Albino? Andai bisa, aku juga gak mau. Bahkan orang tuaku aja gak mau aku ada.ā Albin terisak. āNooo,ā Jovan menggelengkan kepalanya, āgak usah denger mereka. Mereka itu penjahat, Al. Mungkin aja mereka terlibat sindikat perdangangan manusia. Banyak orang-orang seperti itu. Kadang-kadang korban mereka para asisten rumah tangga yang polos dan gak ngerti apa-apa. Udahlah...gak udah dipikirin.ā āAku mau tau kenapa aku dibuang. Apa salahku?ā Albin terisak. Tubuhnya terguncang. āAlbin, kamu mau cari
Jovan memarkir mobil di depan rumah Albin. Hari ini adalah hari yang dijanjikan dan disepakati bersama antara dirinya dan sang ayah. Dia akan membawa wanita pilihannya untuk dijadikan istri. Rasa gugup memagut erat perasaan Jovan mengingat sikap Albin yang terkadang semaunya. Ia takut gadis itu akan bersikap sama kepada ayahnya. Namun, sepertinya Albin bisa menjaga sikap saat bersama orang lain. Pikiran itu sedikit menghalau kekhawatirannya. Jovan menurunkan kaca mobil lalu tersenyum sambil melambaikan tangan kepada Albin saat melihat gadis itu keluar dari pintu rumah. Perasaannya menghangat ketika melihat Albin tersenyum sambil menganggukan kepala. Jovan tidak tahu kenapa saat melihat Albin dia selalu rasa senang. Saat bersama gadis itu dia merasa nyaman. Albin seperti medan magnet mahadahsyat yang selalu menarik dirinya untuk mendekat. āUdah siap?ā tanya Jovan saat bo
Adi memperhatikan perdebatan antara Jovan dan Albin. Senyuman tipis tersemat di bibirnya. āJadi Jovan cerita begitu sama kamu?ā tanya Adi lagi. āIya, Om. Itu bos juga songong banget, enak aja main pecat. Lagian, napa urusan dia punya menantu atau gak segala Jovan yang harus urus?ā Nada bicara Albin terdengar kesal. āMampus gue!ā Jovan memijat keningnya. Dia mendesah kesal dan frustasi. Andai Albin punya tombol On/Off pasti Jovan menekannya saat ini juga sebanyak ratusan kali. āKamu tau bos-nya Jovan siapa?ā tanya Adi sangat bersemangat. Dia tersenyum sambil melipat tangan di dada. āYa, Lord!ā Jovan berteriak di dalam hati. āAlbin kamu lapar? Pa, ayuk makan. Lapar, nih!ā Jovan menyela pembicaraan mereka. āNah itu masalahnya, Om. Saya gak tau bos Jovan itu yang mana. Andai saya tauā¦.ā kata Albi
Jovan menghadiri pesta ulang tahun teman Adi seperti yang diperintahkan sang ayah. Sesekali dia berbincang dengan para tamu undangan. Hiruk pikuk manusia di tempat itu tidak membuat Jovan senang. Pikirannya terus melanglang buana memikirkan Albin dan Ayahnya. Apa sebenarnya maksud sang ayah? Jovan memikirkan kemungkinan terburuk, ayahnya dan Albin adu mulut. Albin ditolak. Ayahnya akan kembali memaksa menjodohkan dirinya. Memikirkan hal itu membuat Jovan gelisah. Dia tidak ingin gadis lain, tapi jika sang ayah tetap memaksa dia bisa apa? Jovan gelisah. Dia berkali-kali mengirim pesan kepada Albin, tetapi masih belum mendapatkan balasan. {Albin, Papa ngomong apa? Nanti cerita, ya.} {Kalau udah baik ke rumah kasih tau} {Albin! kamu di mana sih?} {Albin, lo kemana? Kok mau-maunya di