Jovan menarik pergelangan tangan Albin menuju mobil. Albin berjalan mengukuti langkah kaki Jovan, sementara pikirannya berlarian kesana kemari. Aksi heroik Jovan barusan membuatnya terdiam tak bisa berkata-kata.
“Albin, makan, yuk. Lapar nih. Kali ini kamu yang traktir, ya. Beneran kali ini.” Jovan terus melangkah cepat di depan membelah kerumunan manusia.
“Albin?” Jovan memalingkan wajahnya melihat ke Albin, “kamu gak mau? Kok diam? Pelit amat, sih!” Jovan menghentikan langkahnya.
Jovan merangkul pundak Albin, “Kamu kenapa?” tanya-nya sambil menatap dalam wajah Albin.
“Hum..um. Gak papa. Kamu?” tanya Albin gugup. Ritme debaran jantungnya semakin berpacu cepat.
“Kan’ kamu liat sendiri aku g
“AAAHHH!” Jovan dan Albin mendesah keras bersama. Albin dan Jovan sama-sama menjauhkan tubuh mereka dan secara bersamaan pula menyentuh bibir mereka masing-masing. Albin menatap Jovan penuh murka. Bibir dalamnya terasa sangat sakit dan membengkak karena terbentur gigi seri dengan keras. Giginya juga terasa sakit karena merespon benturan. “Apa-apan sih?” Albin berang. Jovan menyapu bibirnya sendiri yang juga terasa sakit. Dia maju beberapa langkah mendekati Albin, “Maaf aku gak sengaja. Abisnya kamu mau pergi gitu aja. Aku udah nungguin dari tadi,” ucap Jovan menyentuh perlahan bibir Albin yang terlihat sedikit membengkak. “Masih sakit?” tanya Jovan sambil menatap lekat mata Albin. Dia menyapu bibir Albin dengan ujung jemarinya. Albin terdiam. Dia merasa gugup dan tenggorokannya tiba-tiba tercekat. Ia menelan ludah dengan susah payah. Napas
Albin keluar daricafe, terus berjalan keluar tanpa memalingkan wajahnya untuk menoleh ke belakang. Air mata membasahi kedua pipinya. Dia menyapunya dengan kasar menggunakan lengan. Albin duduk di taman kecil yang terdapat di halamancafe. Dia mengambil ponsel lalu memesan ojekonline. Layar ponselnya basah terkena tetesan air mata. Setelahnya dia memasukkan kembali ponselnya ke dalam tas. Albin terisak kuat, dia menangkupkan kedua tangannya ke wajah. “Aku cinta kamu, Jo. Aku cinta kamu,” ucap Albin lirih di sela isak tangisnya. Albin merasa begitu hancur. Dia berharap Jovan tadi mengatakan cinta kepadanya, karena itu mengajaknya menikah. “Sudahlah!” Albin menyapu air matanya. Albin mengangkat dagunya lalu menegakkan kepalanya. “Hidup gue baik-baik aja kok sebelum
ma kamu. Keselamatan kamu terjamin. Mau nikah sama aku?” Albin menundukkan wajah sambil memainkan kuku-kuku jarinya. Dia memejamkan matanya rapat-rapat sambil menarik napas panjang. “Jo, mereka mereka bilang darah Albino berharga mahal. Apa maksudnya? Kenapa mereka maksa aku? Apa salahku? Bukan salahku ‘kan, aku Albino? Andai bisa, aku juga gak mau. Bahkan orang tuaku aja gak mau aku ada.” Albin terisak. “Nooo,” Jovan menggelengkan kepalanya, “gak usah denger mereka. Mereka itu penjahat, Al. Mungkin aja mereka terlibat sindikat perdangangan manusia. Banyak orang-orang seperti itu. Kadang-kadang korban mereka para asisten rumah tangga yang polos dan gak ngerti apa-apa. Udahlah...gak udah dipikirin.” “Aku mau tau kenapa aku dibuang. Apa salahku?” Albin terisak. Tubuhnya terguncang. “Albin, kamu mau cari
Jovan memarkir mobil di depan rumah Albin. Hari ini adalah hari yang dijanjikan dan disepakati bersama antara dirinya dan sang ayah. Dia akan membawa wanita pilihannya untuk dijadikan istri. Rasa gugup memagut erat perasaan Jovan mengingat sikap Albin yang terkadang semaunya. Ia takut gadis itu akan bersikap sama kepada ayahnya. Namun, sepertinya Albin bisa menjaga sikap saat bersama orang lain. Pikiran itu sedikit menghalau kekhawatirannya. Jovan menurunkan kaca mobil lalu tersenyum sambil melambaikan tangan kepada Albin saat melihat gadis itu keluar dari pintu rumah. Perasaannya menghangat ketika melihat Albin tersenyum sambil menganggukan kepala. Jovan tidak tahu kenapa saat melihat Albin dia selalu rasa senang. Saat bersama gadis itu dia merasa nyaman. Albin seperti medan magnet mahadahsyat yang selalu menarik dirinya untuk mendekat. “Udah siap?” tanya Jovan saat bo
Adi memperhatikan perdebatan antara Jovan dan Albin. Senyuman tipis tersemat di bibirnya. “Jadi Jovan cerita begitu sama kamu?” tanya Adi lagi. “Iya, Om. Itu bos juga songong banget, enak aja main pecat. Lagian, napa urusan dia punya menantu atau gak segala Jovan yang harus urus?” Nada bicara Albin terdengar kesal. “Mampus gue!” Jovan memijat keningnya. Dia mendesah kesal dan frustasi. Andai Albin punya tombol On/Off pasti Jovan menekannya saat ini juga sebanyak ratusan kali. “Kamu tau bos-nya Jovan siapa?” tanya Adi sangat bersemangat. Dia tersenyum sambil melipat tangan di dada. “Ya, Lord!” Jovan berteriak di dalam hati. “Albin kamu lapar? Pa, ayuk makan. Lapar, nih!” Jovan menyela pembicaraan mereka. “Nah itu masalahnya, Om. Saya gak tau bos Jovan itu yang mana. Andai saya tau….” kata Albi
Jovan menghadiri pesta ulang tahun teman Adi seperti yang diperintahkan sang ayah. Sesekali dia berbincang dengan para tamu undangan. Hiruk pikuk manusia di tempat itu tidak membuat Jovan senang. Pikirannya terus melanglang buana memikirkan Albin dan Ayahnya. Apa sebenarnya maksud sang ayah? Jovan memikirkan kemungkinan terburuk, ayahnya dan Albin adu mulut. Albin ditolak. Ayahnya akan kembali memaksa menjodohkan dirinya. Memikirkan hal itu membuat Jovan gelisah. Dia tidak ingin gadis lain, tapi jika sang ayah tetap memaksa dia bisa apa? Jovan gelisah. Dia berkali-kali mengirim pesan kepada Albin, tetapi masih belum mendapatkan balasan. {Albin, Papa ngomong apa? Nanti cerita, ya.} {Kalau udah baik ke rumah kasih tau} {Albin! kamu di mana sih?} {Albin, lo kemana? Kok mau-maunya di
Albin memeriksa ponsel sambil menghela napas panjang dan berat. Sudah lima hari sejak dia dan Jovan bertemu di depan Indomaret dan mereka berpisah dalam keadaan tidak akur. Semenjak malam itu Jovan tidak pernah lagi menghubungi dirinya. Dia merindukan Jovan. Ia berharap lelaki itu menghubunginya dan meminta maaf karena sudah berkata kasar. Gadis itu tersenyum hambar. Berbagai macam perasaan berkecamuk di dalam dadanya. Rindu, kecewa, cinta, takut kehilangan, semuanya membaur dan meramu menjadi racun di dalam hati membuat dirinya gelisah dan tidak berdaya. Di tempat lain … Jovan memeriksa ponsel. Siapa tahu ada panggilan tidak terjawab atau pesan ‘terselip’ dari Albin, tertimbun diantara banyaknya pesan yang diterimanya. Lelaki itu menyandarkan tubuhnya yang lelah di sandaran kursi mobil. Raut kecewa tergambar jelas di wajahnya yang tampan. Hela napasnya
Albin memejamkan mata rapat-rapat. Rasa aneh dan unik saat Jovan mengecup lehernya inci demi inci mau tidak mau membuat Albin menggeliat sambil merentangkan leher lebih lebar. “JOVAN, STOP!” perintah Albin dengan nada lebih keras. Jovan tidak peduli. Dia terus menjelajahi leher Albin dengan kecupan. Sesekali indra perasanya mencecep halusnya kulit leher Albin. “Hmm … Jovan!” Albin menggeram. Logikanya menolak keras semua ini, tapi tubuhnya menginginkan Jovan lagi dan lagi. Jovan menyusupkan kedua tangannya ke bawah bokong Albin. Meremas lalu menekan tubuh gadis itu lebih rapat lagi ke tubuhnya. Albin bisa merasakan sesuatu mengeras di bawah sana, di balik celana Jovan. “Tidak .. tidak! Tidak seperti ini!” seru Albin nyaring. Dia menjambak rambut Jovan sekuat tenaga. “Aaaah sakiiit!” teriak Jovan sambil menahan tanga